Soloensis

Sejarah Kampung Kauman

Sejarah Kampung Kauman
Kauman, Surakarta – Daerah Kauman, yang begitu dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Jawa, sebagai nama kampung yang terletak di tengah-tengah kota, berdekatan dengan Masjid Agung dan Alun-alun Keraton atau Alun-alun Kabupaten. Hampir di setiap Kabupaten atau Kotamadya di Propinsi Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur terdapat nama Kampung Kauman.
Namun Kampung Kauman yang ada di Kota Surakarta,memiliki cerita tersendiri, yang sejarah kelahirannya mempunyai kisah yang panjang. Nama Kauman memiliki keterkaitan dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta. Berdiri seumur dengan di bangunnya Masjid Agung Surakarta oleh PB III th 1757 M. Masjid ini dibangun oleh raja sebagai bentuk kewajiban raja dalam memimpin rakyatnya dimana raja sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah, yang berarti raja selain menjadi pemimpin negara raja juga sebagai pemimpin agama agar rakyat dapat hidup damai dan sejahtera.
Tanah disekitar masjid ini oleh keraton hanya boleh ditempati oleh rakyat yang beragama Islam. Dijelaskan oleh Musyawaroh dalam tulisannya yang berjudul Deskripsi tata fisik rumah Pengusaha Batik di Kauman Surakarta bahwa Masjid Agung dan sekitarnya, tanahnya adalah milik keraton yang disebut Bumi Pamijen Keraton atau Domein Keraton Surakarta (DKS). Sedangkan Kauman disebut bumi mutihan atau bumi pamethakan,yaitu wilayah yang hanya boleh dihuni oleh rakyat (kawulo dalem) yang beragama Islam.
Bapak Muhammad Soim menjelaskan tentaang lahirnya Kampung Kauman “Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan adanya penempatan abdi dalem pamethakan yang bertugas dalam bidang keagamaan dan kemasjidan yaitu Kanjeng Kyai Penghulu Mohammad Thohar hadiningrat, yang bermukim di sekitar masjid Agung. Penghulu membawahi tanah disekitar masjid yang warganya terdiri dari abdi dalem pamethakan dan ulama sebagai pembantu/mewakili tugas Penghulu apabila Penghulu berhalangan.Tanah yang beliau tempati adalah pemberian dari Sunan PB III dengan status tanah anggaduh. Yang berarti hanya berhak menempati atau nglungguhi dan tidak punya hak milik. Oleh keraton, tanah yang ditempati penghulu dan para abdi dalem mutihan tersebut diberi nama Perkauman, artinya tanah tempat tinggal para kaum,dan menjadi Kauman.”
Bapak Soim juga menambahkan, “Kampung Kauman dikenal juga sebagai kampung santri. Keberadaannyapun dikehendaki oleh raja sebagai tempat domisili para abdi dalem pamethakan dan sebagai pusat dakwah/syiar Islam. Kampung Kauman mempunyai hukum/aturan khusus yang ditetapkan oleh raja. Bagi para buruh dan Pangindhung yang tinggal di tanah Pakauman Surakarta untuk tidak berbuat maksiat dan membunyikan gamelan pada saat hajatan.Peraturan ini dikeluarkan oleh Paku Buwana VII yang ditujukan kepada Penghulu sebagai orang yang dipercaya untuk melaksanakan hukum Islam di Kauman.
Keberadaan Kauman dari sejak awal memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan keraton, yang sejak awal memang telah menempatkan Kauman dalam sebuah bingkai sistem sosial.Keraton sebagai muara dari sistem sosial,dan Kauman adalah salah satu sub sistemnya.Realitas pemenuhan kebutuhan sehari-haripun juga menjadi salah satu bagian yang disediakan oleh pihak keraton. Pada mulanya penduduk Kauman hanya bermata pencaharian sebagai abdi dalem ulama saja. Akan tetapi kemudian berkembang juga menjadi pengusaha batik, profesi rangkap ini berhasil mengangkat perekonomian masyarakat Kauman.
Berbeda dengan Bapak Mohammad Soim, Bapak Gunawan Setiawan juga menjelaskan tentang mata pencaharian abdi dalem pamethakan di Kauman. “Para abdi dalem pamethakan di Kaumanpun juga melakukan aktifitas yang sifatnya produktif.Batik adalah alternatif yang paling memungkinkan bagi mereka. Dengan pola pembagian kerja yang menempatkan para suami pada tempat-tempat publik dalam bentuk mengajar/memberi materi agama. Sementara para istri mengisi waktunya dengan memproduksi batik, yang ilmunya diperoleh lewat media pembelajaran antara sesama kerabat yang pada awalnya memang berasal dari kerabat kebangsawanan keraton. Dan pada perkembangannya ketrampilan tersebut secara intensif dikembangkan oleh para kaum perempuan istri abdi dalem pamethakan tersebut.”
Bapak Gunawan Setiawan juga menambahkan, “Batik yang berkembang di Kauman, bukanlah sekedar batik sebagai barang dagangan atau produk industri. Tetapi batik Kauman adalah batik Pakem yang bercita rasa seni sangat tinggi.Batik pakem adalah motif batik klasik yang mempunyai makna filosofi pada setiap motifnya,pemakaiannyapun harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan dengan syarat-syarat tertentu. Contoh batik pakem adalah Motif Parang, yang pada saat itu konon hanya boleh dipakai oleh Raja.Motif Truntum diciptakan oleh Ratu Kencono Beruk permaisuri PB II di Kartasura. Pada awal abad 20, perkembangan batik Kauman tidak hanya menampilkan motif-motif klasik saja, tetapi telah memasuki era modifikasi yang bersifat kontemporer. Tetapi hal ini tidak menjadikan nilai seninya berkurang,justru karya-karya mereka menjadi semakin bervariasi,yang pada akhirnya menjadikan ciri khas dari batik Kauman.”
Kita dapat menyimpulkan bahwa Kauman adalah salah satu kampung tua di kota Surakarta, dimana keberadaanya tak lepas dari kebijakan keraton. Inilah yang menjadikan Kauman mempunyai karakteristik tersendiri,sebagai tempat tinggal abdi dalem pamethakan. Kauman sebagai kampung para Santri dan Priyayi (pejabat kerajaan). Dan Batik adalah sumber ekonomi utama yang menjadikan Kauman secara fisik terlihat sebagai kampung elit pada masa itu. Pada awalnya, Batik Kauman dikenal sebagai batik pakem yang khusus digunakan oleh bangsawan keraton dan dibuat oleh para istri abdi dalem pamethakan. Dalam perkembangan selanjutnya batik menjadi industri yang sangat dominan di Kauman. Meskipun hidup dalam lingkungan yang sangat religius, itulah Kauman, kampung yang dihuni para Santri, Priyayi, Pengusaha, dan Seniman.

Penulis : Ruvida Musdyasari (161211002)

    Apakah tulisan ini membantu ?

    ruvida musdyasari

    Mahasiswa IAIN SKA

    View all posts

    Add comment