Soloensis

Kumi dan Pesawat Kertas

pink-paper-planes-cloudy-sky_23-2147793146
Gambar : freepik

2012

‘Thuk, thuk, thuk’ kuketuk lantai retak tempat pesawatku jatuh.

“Halooo, Sherina ya?” Bibir mungilku menyunggingkan senyum saat Sherina membuka pintu untukku.

Senang rasanya hatiku bertemu idolaku, senang ala seorang kecil berumur belum genap 8 tahun.

“Kumiii, ingat Bunda bilang apa. Tidak boleh mengetuk-ngetuk lantai. Lantainya jadi tambah retak tuh! Ayo sini bantuin Bunda pilih kain.”

Geli rasanya mendengar namaku sendiri yang sering jadi bahan candaan teman-teman. Kulitku yang cokelat -bahkan bisa dibilang gelap-, rambut keritingku, badanku yang kekar hampir seperti seorang pria, mataku yang bulat membuatku tak pantas menyandang nama Kumi (kata mereka), katanya seperti nama orang Korea atau Jepang atau apalah aku tak tau. Dea dan genk nya apalagi. Sering mengejek karena fisikku ini. Walaupun mereka tau nama panjangku, Kumitir Hapsari adalah nama pemberian dari ayahku yang dulu seorang penabuh gamelan. Karena semakin tergilasnya zaman, ayahku memutuskan untuk punya sampingan pekerjaan lain menjadi seorang pedagang celengan tanah.

——-

“Pesawat! Asyiiik ayok main lagi!” Pulang sekolah langsung saja kumainkan pesawatku. Tak peduli ada Gemintang, adikku yang baru berumur 4 tahun.

Tiba-tiba. Brekkkk!

Pesawat kertas berukuran tak lebih dari ukuran tangaku diduduki Gemi sesaat dia berlari menghampiriku.

Gemiiiiii!!!!!

Gemi hanya tertawa melihatku melotot. Mataku merah. Serasa ada kayu mengganjal tenggorokanku saat melihat pesawatku sudah tak berbentuk. Lima detik kutahan tangisku. Tapi akhirnya tangisku pecah.

Berlebihan? Memang. Aku tak punya teman. Temanku hanya pesawat kertasku yang bisa mengajakku keliling ke tempat impian bertemu idolaku. Mainan lain pun aku tak punya. Ayahku yang hanya pedagang celengan tanah dan bundaku seorang buruh kain tak mampu membelikanku mainan mahal.

“Sherinaaa…. Bunda, aku mau ketemu Sherina. Bunda mana pesawatku?”

“Kumi, kamu gak boleh seperti itu. Semua yang Allah tetapkan sudahlah yang terbaik. Kalau pesawat kesayanganmu rusak itu mungkin rangkaian cerita dari Allah yang terbaik untukmu. Bersyukur hanya pesawatmu yang rusak. Untung Gemi atau Bunda tidak rusak. Ya kan?”

Aku hanya tertegun. Bundaku memang sangaaat bijaksana. Walaupun usiaku masih 8 tahun. Rasanya aku paham dengan setiap kata yang Bunda katakan.

—–

2024

Suara jam dinding rasanya begitu jelas di telingaku. Ah sudah pukul 01.00. Kenapa mata ini sulit terpejam?

Sudah beberapa hari terakhir ini aku sulit tidur. Teringat pesawat kertasku 12 tahun yang lalu rusak diduduki Gemi. Walaupun sekarang aku bahkan bisa membuat pesawat sendiri dengan ilmu yang aku dapatkan dari kuliahku ini. Tapi…. hanya pesawat itu yang mampu menghibur dan menjadi temanku.

Tilulit tilulit

(Handphone ku berdering)

“Assalamualaikum, halo Bunda. Ah Bunda tau saja aku belum tidur.”

“Waalaikumussalam. Kenapa lagi Kumi? Pesawat?”

“Iya. Tak bisa melupakannya. Dia temanku Bunda.”

“Kamu sudah kuliah. Masiih saja memikirkan mainan kecilmu. Suka berkhayal.”

“Astaga Bunda. Aku tidak berkhayal Bunda. Aku benar-benar dapat pergi ke rumah Sherina kala itu menaiki pesawat itu.”

“Ngaco kamu!”

“Bahkan aku bisa ke Amerika melihat Niagara menumpahkan berkubik airnya. Indah sekali.”

“Lalu sebentar lagi kau akan bilang dengan pesawat itu kamu bisa mengajak Ayah Bunda ke Mekkah?”

“Ayah dan Bunda pengin ke sana?”

“Tentulah. Meskipun Ayahmu sekarang sakit-sakitan. Bunda masih bisa mengelilingi ka’bah bersama ayahmu. Tapi dengan kursi roda bukan dengan pesawat kertasmu.”

Hahaha. Tawa Bunda menggelegar di ujung sana. Aku tau Bunda menyembunyikan kesedihan dibalik tawanya. Bunda tau aku sering dijauhi teman. Bunda juga tak pernah sedikit pun mengeluh padaku. Apalagi sekarang kami sudah berjauhan. Hanya Gemi dan ayah penghiburnya.

“Ah Bunda kenapa ikutan meledekku.”

“Kamu lucu soalnya.”

“Percuma Kumi cerita, Bunda tidak percaya.”

“Sudahlah. Sekarang segera tidur.. Jangan lupa berdoa. InsyaAllah tidurmu nyenyak.”

“Iya Bunda cantiiik.”

“Sudah ya. Ayahmu juga baru saja tidur. Takut suara Bunda membangunkan Ayah.”

“Assalamualaikum sayang.”

“Waalaikumussalam Bunda. Mimpi indah Bunda.”

—-

Nama Kumi dan rambut keritingku masih saja kadang menjadi bahan candaan teman-teman kuliahku. Sampai pada suatu malam saat aku hendak pulang ke kos, aku melihat Dea. Ya, Dea teman masa kecilku yang sekarang menjadi temanku kuliah. Kulihat dia menuntun motornya dan dikelilingi oleh dua orang lelaki. Jalan daerah situ memang gelap dan sepi. Perasaanku tidak enak, ban motor Dea terlihat kempes. Dea juga seperti tak nyaman dengan dua laki-laki yang kurasa memang bukan temannya.

Sigap aku gas motorku menghampirinya.

“Dea!” Aku memanggilnya.

Seketika dua laki-laki itu kaget melihatku.

Tubuhku yang kekar menaiki motor bebekku, kebetulan aku memang tomboy sehingga tak pernah memanjangkan rambutku. Jadi saat aku menggunakan helm, aku terlihat seperti seorang pria.

Dea langsung menyahutku dan memang terlihat ketakutan.

“Siapa kalian?!” Tanyaku kepada dua orang laki-laki asing itu.

Sontak mereka tidak menggubris dan langsung pergi meninggalkan kami begitu saja.

“Yak ampun Kumi makasih banyak. Tadi mereka sudah berniat jahat denganku. Sialnya ban motorku bocor di tengah jalan sepi ini.”

“Ah, syukurlah senang dengarnya De. Ayo kubantu!”

——–

Paginya Dea menghampiriku. Dia membawa sesuatu.

“Kumi, maaf ya selama ini aku selalu mengejekmu. Aku merasa paling cantik dan terlalu sombong dengan pemberian Tuhan ini.”

Terlintas lagi di kepalaku bagaimana dia sering mengejek dan mengajak teman-temannya menjauhiku.

“Sekarang aku sudah sadar, bahwa semua ciptaan Tuhan itu baik. Kalau saja kamu kemarin tidak datang menghampiriku pasti nasibku sudah buruk. Hehe” Ucap Dea dengan senyum canggungnya

“Sebagai permintaan maafku, ini aku bawakan kado kecil dan beberapa makanan untukmu. Semoga kamu suka ya, Kumi”

Sambil mengulurkan tangan dia meminta maaf padaku dan memelukku.

“Sama-sama Dea. Aku tahu memang fisikku tidak secantik wanita-wanita lain seumuranku. Tapi, semoga menjadi pengalamanmu bahwa semua manusia terlahir dengan keunikannya sendiri. Bundaku selalu mengatakan, Tuhan menciptakan seseorang tentu sudah dengan porsi terbaik dari yang menusia pikirkan.”

“Iya Kumi aku janji tak akan mengulanginya lagi dan membuang jauh kesombonganku. Aku sudah terlalu jauh merendahkan orang lain. Oh, iya coba kamu buka kado kecil ini!”

Saat kubuka, sumringah aku melihatnya.

“Waaah, lucu sekali!”

Dea ternyata memberikan kesukaanku. Pesawat. Miniatur pesawat berwarna kuning terang dengan garis putih terlihat manis.

“Aku tau kamu sangat suka pesawat kan Kumi? Semoga suka ya..”

“Ah, ternyata kamu tau juga De kesukaanku. Makasih Dea.” Ucapku haru

“Mulai sekarang kita berteman ya, Kumi”

“Tentu!”

“Yuk, ngobrol lagi di kantin dengan yang lain, Kumi!”

“Ayok!”

Sandita Nityas Arfiana

SMPN 10 SKA

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment