Soloensis

Pioneer, dalam menulis lebih profesional

Menulis itu bukan perkara yang mudah bagi para pemula. Namun tanpa adanya sebuah usaha, dorongan dan pengakuan, umumnya para calon penulis akan cepat putus asa atau nglokro, sehingga segala ide kreatifitasnya hanya sebatas angan dan cita-cita. Karena bagi mereka, menulis itu sulit, menyebalkan dan membuat frustrasi.

Demikian halnya dengan pikiran saya waktu belum mendapatkan pengakuan sebagai penulis oleh orang lain apalagi media. Namun semangat menulis tetap harus ada dan menggelora, meski hanya sebatas menulis catatan harian. Awal yang penting untuk mengkondisikan rajin menulis (mencatat) hal-hal yang penting dalam hidup. Sebelum berani dan mau menulis untuk kepentingan orang lain dan kepentingan masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk dipublikasikan lewat media.

Untuk mengolah pikiran, perasaan dan menjadi ide yang konstruktif tetap rajin menulis. Meski sebenarnya segala bentuk pelatihan penulisan (jurnalistik) sudah pernah diikuti sejak SMA ataupun Perguruan Tinggi (mahasiswa) sebagai upaya menambah referensi menjadi penulis yang baik. Namun kemauan menulis dan dibaca oleh orang lain memang butuh keberanian. Apalagi menulis yang lebih professional dengan segala konsekuensinya.

Nah disinilah sebuah tantangan, keberanian dan menurut saya juga bisa dikatakan keberuntungan saat periode tahun 2003 SOLOPOS membuka sub rubrik Dialektika. Sebuah rubrik yang diperuntukan kepada guru untuk menulis ide dan gagasannya seputar pendidikan. Tema sudah ditentukan oleh pihak redaksi dan biasanya terbit setiap hari jumat.

SOLOPOS bukan hal asing bagi saya. Sebagai salah satu Koran yang menjadi langganan sekolah tempat mengajar. Tentu tidak pernah lepas dari perhatian saya untuk selalu membaca seputar berita aktual yang disajikan dan perkembangan pendidikan yang sedang terjadi. SOLOPOS sudah menjadi bagian referensi bacaan sehari hari, meski juga sudah berlangganan.

Maka tidak heran berbagai rubrik lama maupun baru yang mana setiap pembaca dari berbagai kalangan diperbolehkan menulis. Berusaha dipelajari dan dimaknai kira kira bagaimana kiat kiat agar mampu “menembus” sehingga dapat ikut “pamer” keterkenalan di publik Solo Raya. Cukup lama untuk belajar dengan membaca setiap artikel yang dimuat.

Maka sub Rubrik Dialektika, mungkin menjadi jawaban dan keberanian saya menulis gagasan/ opini seputar pendidikan sejalan dengan tema yang ditawarkan. Tema “Menyoal sistem full day school di skolah dasar,” merupakan kiprah pertama dengan judul tulisan “jangan hanya mengejar profit,” dan terpublikasikan tanggal 23 Oktober 2003.

Begitu tulisan berupa artikel pertama termuat di SOLOPOS, hari itu seantero tempat sekolah mengajar langsung heboh. Ucapan silih berganti diberikan oleh rekan guru, maklum koran SOLOPOS selalu tergeletak di atas meja ruang guru dan menjadi “rebutan”membaca para guru dan karyawan. Ruang guru heboh, karena mungkin untuk pertama kali Koran SOLOPOS, membuka rubrik artikel dengan memberi ruang foto identitas diri, dan satu warganya nampang disitu.

Peristiwa inilah yang menurut penulis, SOLOPOS pioneer, mendorong, menyemangati untuk menjadi penulis lebih professional. Karena sejak dimuat, saya menjadi lebih rajin membaca dan ikut mengamati kejadian-kejadian sosial, pendidikan, politik dan budaya. Mencari referensi ketika ingin memberikan komentar atau gagasan mengenai berbagai peristiwa yang ada.

Pioner memang layak saya canangkan untuk SOLOPOS. Sebuah perintisan (awal mula) keberanian saya untuk menulis yang lebih professional. Tidak lepas dari sebuah tantangan dan penerimaan saya dari awak redaksi SOLOPOS waktu itu.
Apalagi tidak lama kemudian, penulis mendapatkan telepon dan pemberitahuan di tempat mengajar, perihal pemuatan tulisan di sub rubrik Dialektika. Disamping itu ada pesan lain yang membuat terharu dan semakin menumbuhkan semangat “ apakah honor tulisan mau diambil sendiri, lewat wesel pos atau rekening bank.”

Demi sebuah penghargaan kepada SOLOPOS maka saya jawab, tulisan akan diambil sendiri. Meluncur menuju Gedung Griya SOLOPOS, saya diterima dengan baik petugas resepsionis dan diminta ke ruang redaksi. Waktu itu bertemu dengan Sekretaris Redaksi, Chandra Prabantoro segera honor Rp. 75.000 cair yang diambil di bagian keuangan. Luar biasa senang dan terharu saat itu.

Dari situ, penulis merasa dekat dengan SOLOPOS, dan berjanji akan selalu mengisi sub rubrik Dialektika. Sebagai pionir (perintis) jalan untuk bisa “mengamuk” lewat tulisan, hampir tiap bulan mampu mengisi sub rubrik ini sampai dihentikan oleh pihak redaksi dengan alasan yang tidak diketahui oleh saya.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya ,mengucapkan banyak terimakasih kepada SOLOPOS. Yang menjadi pendorong/penyemangat awal untuk mampu menjadi penulis yang lebih baik. Bagi saya SOLOPOS tetap pionir penulisan. Bisa menulis dan diterima serta dipublikasikan oleh SOLOPOS luar biasa bangga dan mengharukan.

Seperti yang pernah dikatakan salah satu rekan penulis yang intens menulis di SOLOPOS dan berbagai media cetak lain kepada saya. “Mas rasane tulisan dimuat di SOLOPOS rasa nya berbeda dengan tulisan yang dimuat di media nasional manapun,” itulah kata kolumnis setia SOLOPOS yang menjadi dosen salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta.

Mengapa sebab, karena hampir semua warga Solo Raya berlangganan dan membaca Koran daerahnya SOLOPOS. Termasuk para tetangganya. Jadi sekali pionir tetap pionir dan tidak tergantikan. Bravo SOLOPOS agar mampu memberi spirit dan kesempatan kepada para penulis pemula. Supaya selalu dekat dihati dan memberi inspirasi. Semoga!

#soloensis

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment