Soloensis

HARGAI PERBEDAAN, CIPTAKAN KESELARASAN

1713970608520

Pernikahan merupakan sesuatu yang unik. Ikatan yang didamba banyak orang, utamanya mereka yang sudah dewasa. Melihat teman-temannya menikah, banyak yang tiba-tiba juga ingin menikah. Entah sudah siap secara fisik, mental, dan finansial atau memang hanya sekedar ingin-ingin saja. Pernikahan bukan hanya menikahkan dua orang atau dua individu yang saling mencintai, tetapi menikahkan dua keluarga bahkan keluarga besar. Kata orang, pernikahan adalah ibadah terpanjang. Perbedaan sikap, sifat, perilaku, latar belakang keluarga dan prinsip hidup sering kali menjadi sekat yang menjulang. Namun semua tergantung pribadi masing-masing dalam mewujudkan rumah tangga yang ideal dan harmonis. Tentu didasari dengan pondasi yang kokoh yaitu rasa saling memiliki, menghargai, dan menghormati segala perbedaan yang ada dengan menurukan ego agar keselarasan dan kedamaian selalu terjaga.

Pengalamaan pribadi saya tentang keberagaman yaitu ketika kami berjuang menciptakan keselarasan berumah tangga, keluarga, dan lingkungan sekitar.

Usia 24 tahun saya dikenalkan dengan laki-laki bernama Ila, dengan latar belakang pendidikan S.Pd.I. Hubungan dan komunikasi kami mengalir begitu saja. Berusaha mengenali pribadinya bahkan sampai perspektif budaya keagamaannya adalah sebuah proses pendekatan luar biasa untuk menuju misi yang sama.  Saya berpikir, “kok kelihatannya background agama keluarganya kental ya?.”

“Kalau iya saya mau apa?.”

“Apa saya takut tidak diterima keluarga besarnya, atau saya takut tidak bisa mengikuti tradisinya?.” Pertanyaan yang terus saja terlintas.

Walaupun kita sama-sama Islam, tapi saya dibesarkan lingkungan sekitar NU. Sedangkan Ia kental dengan Muhammadiyah. Perbedaan kami sepele, tapi membuat takut.

November 2018 kami menikah. Kedua keluarga tidak mempermasalahkan soal aliran yang beda arah. Saya tinggal di Sukoharjo ikut suami. Rumah yang kami tempati agak jauh dari mertua. Lingkungan kami dekat dengan pondok, suasananya terasa lebih religius. Meskipun secara penampilan tetap biasa, misal pakai jilbab juga ukuran standar karena memang bukan basic pondok.

Saya mencoba berdaptasi dengan lingkungan yang baru. Setiap minggu pagi, kami sekeluarga menghadiri pengajian “ahad pagi” di masjid Agung Baiturrahmah Sukoharjo. Pengajian tersebut tentu yang menyelenggaran Muhammadiyah. Saya mengikuti dengan baik karena yang diajarkan sama baiknya dengan NU. Pernah di bulan ramadhan saya merasakan hal yang berbeda pada saat sholat tarawih. Sama-sama 11 rekaat, tapi terasa lama sekali. Surat yang dibaca bukan surat pendek, melainkan ayat-ayat yang sangat panjang. Saya belum terbiasa diimami oleh orang pondok, dengan bacaan panjang dan mahroj yang jelas. Saya masih kaget, karena setiap sholat bawaanya ingin cepat selesai. Masih terbiasa dengan tarawih yang bacaannya pendek dan cepat. Saya tetap mengikutinya walaupun kadang mengeluh takut kentut dan keburu mengantuk.

Tradisi kelahiran bayi juga berbeda dengan lingkungan saya yang NU. Ditempat suami umumnya Aqiqah saja, tidak ada tradisi Barzanji sambut bayi lahir. Apalagi acara nikahan tidak mungkin ada hiburan seperti campursari, ‘woyo-woyo’ dangdut, dan lainnya karena lingkungannya tidak memungkinkan untuk diadakan hiburan tersebut. Setiap ada tradisi yang saya anggap berbeda dan ‘nyleneh’, langsung saya protes dan suami hanya ketawa saja sambil menjelaskan tradisi kampungnya.

Usai melahirkan kami memutuskan pindah ke Klaten. Disini suami merasakan bagaimana dulu ketika saya beradaptasi di lingkungannya. Tahlilan selama Tujuh hari setelah orang meninggal dunia menjadi tradisi NU. Suami juga ikut Tahlilan, walaupun awalnya terpaksa tapi alasannya untuk menjaga kerukunan lingkungan sekitar. Dengan cepat dapat menyesuaikan tradisi kampung, misalnya acara ‘Bayen’ juga ikut dalam tradisi Barzanji sambut bayi lahir. Saat sadranan (bersih desa) juga hadir, tarub, yekar leluhur, bahkan ikut kenduri. Setiap saya tanya “jan-jane alirane apa ta Pak?.” Jawabnya “saiki MuhammadiNu”. Ya… Muhammadiyah Nu kalimat candaannya.

Ramadhan kami selalu unik, awal puasa tidak pernah kompak. Suami puasa lebih awal ikut Muhammadiyah, dan puasa saya sehari setelahnya sesuai ketetapan pemerintah.

Lebaran 2023 adalah momen terindah bagi kami, luasnya hati membuat segala perbedaan tak berarti. Suami sudah selesai puasa ramadhan di hari Rabu. Seharusnya hari Kamis Ia sudah melaksanakan sholat Ied. Namun suami memutuskan untuk sholat Ied di hari Jumat, alasannya menunggu saya dan keluarga agar bisa lebaran bersama. Hari kamis saya diajak lebaran ke Sukoharjo posisi masih puasa. Keluarga di sana sangat menghormati, dengan tidak diajak makan. Malah mereka mendukung prinsip kami.

Pejalanan kami, mungkin seperti rel yang menggulirkan kereta. Searah, sejalan, seiring dan berdampingan, namun tak pernah bertemu dalam satu titik.

Pada akhirnya kami sampai pada stasiun yang sama, karena tujuan kami sama. Bahkan Tuhan kami pun sama. Nu dan Muhammadiyah menjadi wadah pembelajaran yang sangat penting bagi rumah tangga, keluarga besar dan lingkungan kami untuk menciptakan keselarasan dalam keberagaman. Keadaan apapun akan terasa nyaman bila kita jalani dengan perasaan saling menjaga, menyayangi, menghargai, dan menghormati.

    Apakah tulisan ini membantu ?