Soloensis

Solopos dan Semangat Ruang Demokrasi

Oleh: Junaidi Khab*
Solopos merupakan media yang pertama kali saya kenal dari searching di Google. Di Google saya cari media yang kemungkinan besar hidup di setiap daerah. Salah satunya yaitu di Solo Jawa Tengah. Akhirnya saya menemukan Solopos online. Untuk memastikan ruang publik di Solopos, saya menanyakan pada teman-teman, misalkan Mutimmatun Nadhifah yang kuliah di IAIN Surakarta, Solo. Sebagaimana ceritanya, di Solopos bukan hanya menyajikan berita-berita terkini, tapi juga menyajikan rubrik opini dan mimbar mahasiswa yang dikhususkan bagi mahasiswa yang memiliki ide kreatif dan cerdas yang di-publish setiap hari Selasa.

Kata Mutim, setiap hari Ahad ada rubrik sastra yang diisi oleh para penulis kreatif. Seperti rubrik cerpen, puisi, esai, dan resensi atau ulasan buku. Namun, yang paling saya suka dari Solopos, media ini dengan konsisten memberikan ruang bagi mahasiswa. Sehingga, pada kolom opini yang tergolong harus berupa tulisan ide berkelas berat dengan analisis kuat tak menjadi persoalan bagi mahasiswa yang ingin mengutarakan gagasannya, baik dengan ulasan analitik atau sederhana. Yang penting idenya bagus dan membangun, itu sepertinya yang diprioritaskan oleh Solopos.

Setelah saya tahu tentang rubrik apa saja yang disediakan oleh Solopos bagi para pembaca, maka saya mencoba untuk menuangkan ide atau gagasan menjadi tulisan di tingkat mahasiswa karena pada saat itu saya masih berstatus mahasiswa. Kemudian saya mengirimnya ke Solopos. Ternyata benar, tulisan saya dimuat di Solopos tentang prinsip penulisan buku dan tugas kuliah yang tak jauh berbeda. Saya sangat merasa bangga, karena ide yang saya narasikan dalam bentuk tulisan masih ada yang menghargai. Bahkan ditanggapi oleh Tri Hariyanti – Mahasiswi Universitas Muhammadiyah – Solo. Pada Selasa Legi, 7 Januari 2014 tulisan saya dimuat di Solopos dengan judul Budaya Literer untuk Melawan Penjajahan.

Kemudian, saya tahu tulisan dimuat kadang dari media online Solopos. Kadang juga dari teman-teman di Jawa Tengah. Kadang juga tanya pada mbak Mutim, tapi jarang memberikan informasi, katanya sibuk dengan kuliah. Ya sudah, saya cari e-paper Solopos di internet untuk memastikan tulisan saya. Satu hal lagi yang membuat saya senang, tulisan saya yang dimuat ternyata mendapat honorarium yang dikirim vie wesel pos ke kampus. Akhirnya saya sedikit banyak dikenal di kampus.

Satu alasan saya mengirim tulisan ke Solopos, yaitu karena di media ini ada rubrik mahasiswa yang mudah diisi oleh siapa pun dari kalangan mahasiswa. Media-media lain tidak seperti Solopos. Mereka tidak menyediakan ruang untuk mahasiswa dalam mengkreasikan idenya. Jadi, setiap ada gagasan khususnya yang berkaitan dengan dunia kampus dan mahasiswa saya menuliskannya sebaik mungkin. Kemudian saya kirim ke Solopos. Selain itu, Solopos satu-satunya media yang menyediakan ruang bagi mahasiswa secara baik dan komprehensif. Memang ada sebagian media yang menyediakan rubrik bagi mahasiswa, tapi tidak konsisten dan temanya pun ditentukan. Sehingga mahasiswa seperti tertekan untuk membuat artikel.

Saya pikir, Solopos masih memberikan ruang demokrasi bagi para pembaca. Selain memang ada kolom surat untuk pembaca, ruang bagi mahasiswa ini merupakan cermin dari bentuk sistem demokrasi yang diimpikan oleh masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Jika rubrik bagi mahasiswa ditiadakan, kemungkinan besar mahasiswa yang memiliki ide cemerlang sulit untuk mengekspresikan gagasannya. Sehingga, pemuda yang terdiri banyak mahasiswa tidak memiliki ruang sebagai agen perubahan di media. Maka dari itu, Solopos perlu diacungi jempol dengan kekonsistenannya tetap memberikan ruang bagi mahasiswa.

Bagi saya yang berada di Surabaya untuk mengakses Solopos versi cetaknya sangat kesulitan. Padahal, informasinya sangat saya butuhkan karena berita sekitar Jawa Tengah pasti dimuat di dalamnya. Saya selalu ingin membaca rubrik berita terkini Jawa Tengah, opini, dan rubrik untuk mahasiswa. Sehingga, dengan intens saya selalu membuka internet dan membaca Solopos melalui media online-nya. Sebenarnya, saya merasa masih kurang maksimal. Tapi, tidak ada cara lain selain membaca versi online-nya. Dengan membaca Solopos, wawasan saya bertambah luas. Selain membaca media-media yang ada di sekitar Surabaya dan umumnya Jawa Timur, saya juga bisa membaca media Jawa Tengah dengan berita yang lebih membuka pikiran lebih luas.

Meskipun Solopos memiliki jarak yang sangat jauh dengan tempat tinggal saya di Surabaya, namun membaca sajian artikel dan beritanya seakan menjadi candu bagi saya. Saya merasa sangat sedih ketika versi e-paper Solopos tidak update. Saya merasa sangat sedih ketika link e-paper Solopos tidak bisa saya buka, alias versi e-paper-nya sudah tidak di-update lagi. Satu-satunya cara hanya membaca berita online-nya.

* Menulis banyak artikel berupa esai, cerpen, resensi, opini, dan berita.

Apakah tulisan ini membantu ?

JunaidiKhab

Suka membaca, menulis, diskusi, dan main gitar. Hidup bersih dan tepat waktu.

View all posts

4 comments