Soloensis

Antara Sekaten, Pasar Klewer, dan Kepasrahan

Sekaten Solo sudah dimulai. Tradisi Sekaten yang ditandai dengan keluarnya Gamelan Sekaten masih menjadi magnet masyarakat untuk berbondong-bondong menyaksikan perayaan tradisi legendaris itu. Satu tahun yang lalu, tradisi dibunyikannya Gamelan Sekaten terasa istimewa. Tradisi dibunyikannya Gamelan Sekaten atau Ungeling Gongso Sekaten pertama kali waktu itu bersamaan dengan peristiwa tragis terbakarnya pasar kebanggaan warga Solo, Pasar Klewer. Pasar tekstil terbesar di Indonesia tersebut terbakar beberapa jam setelah Gamelan Sekaten dibunyikan pertama kalinya. Meski tak mempunyai dokumen foto mengenai peristiwa naas itu, tapi saya mencoba mengabadikan moment penting sepanjang sejarah pasar yang dulunya bernama Slompretan itu dengan sebuah catatan kecil. Tanggal kejadian memang berbeda, dan belum genap satu tahun sebagai penanda sebuah ‘peringatan’. Tapi, saya mencoba mengambil esensi : Antara Sekaten, Pasar Klewer, dan Kepasrahan
—- o —-
Langkah kaki saya sengaja saya percepat saat mendekati area Masjid Agung dan arena Sekaten Solo. Arus lalu lintas yang kacau disertai padatnya jalanan membuat saya harus ekstra gesit menerobos rombongan pengunjung dan berani beradu senggol dengan banyaknya orang. Tak hanya itu, mobil pemadam kebakaran yang tak berhenti melaju dengan sirine tiada putus membuat kerumunan orang bubar seketika dari jalanan sekitar masjid dan merangsek menuju pinggiran jalan. “Betapa ruwetnya jalanan ini”, keluhku.

Tujuan saya hanya satu: Masjid Agung Solo. Bau semerbak bunga kantil yang menusuk hidung seolah menyambutku, sesaat setelah saya memasuki gapura besar peninggalan PB X itu. Tapi bebauan segar khas Sekaten itu tiba-tiba berubah seketika dan bercampur dengan bau gosong khas kebakaran. Asap hitam pekat yang membumbung tinggi menutupi mustaka masjid dan meninggalkan gelap seperti mendung yang menggantung. Pasar Klewer (memang) kebakaran!!

Jujur, saya akui merinding bercampur sedih ketika melihat dengan mata kepala sendiri kebakaran hebat yang melalap habis Pasar Klewer sejak semalam. Siang itu, banyak orang yang menutup hidungnya dengan masker lantaran asap yang menyesakkan dada. Terlihat pula, kerumunan orang yang sengaja melihat lebih dekat area kebakaran dari gerbang selatan masjid. Meski gerbang tertutup rapat, tapi tak menghalangi antusiasme mereka ‘meratapi’ Pasar Klewer yang semakin hangus. Tangan-tangan pun tak ketinggalan berlomba mengabadikan peristiwa itu dengan handphone masing-masing. Sementara, para petugas pemadam kebakaran berjibaku bertaruh nyawa memadamkan kobaran api yang masih menyala.

Tiba-tiba saya teringat peristiwa kebakaran yang melanda Pasar Gedhe Harjonegoro beberapa tahun silam. Peristiwanya mungkin hampir sama. Dua pasar kebanggan Wong Solo itu hangus dan habis dilalap si jago merah yang mengganas. Wong Solo patut bersedih. Dengan peristiwa itu pula, Wong Solo pun serentak (tersadar) mengungkapkan keprihatinannya lewat media social. Banyak yang memposting gambar kebakaran, banyak pula yang bikin status di BBM, FB, bahkan twitter yang beberapa diantaranya memakai hashtag #pray for #klewer #solo. Itu semua adalah bentuk kecintaan mereka pada kotanya sendiri, Solo.

Peristiwa kebakaran yang bertepatan dengan diselenggarakannya tradisi Sekaten itu memang ‘istimewa’ menurut saya. Tepat beberapa waktu setelah Gamelan Sekaten dibunyikan untuk pertama kalinya. Saya tak ingin mengaitkan peristiwa apapun dengan hal-hal yang (kurang) irrasional. Saya hanya mencoba meninggalkan catatan atau tulisan dan sekedar mengabadikan dua moment penting yang terjadi bersamaan itu dalam rangkaian kata yang entah bermakna atau tidak.

Sekaten sendiri bagi saya adalah kontemplasi ala Jawa dalam mengikrarkan atau menguatkan kembali syahadat (bagi Muslim). Entah kenapa, tradisi Sekaten itu benar-benar membuat saya ingat akan penciptaan dan tujuan hidup manusia. Sesuai tradisi, Sekaten yang ditandai dengan ditabuhnya dua gamelan itu adalah perlambang kehidupan manusia akan unsur dualisme yang berjalan sesuai titah Gusti Alloh. Dua perangkat gamelan melambangkan Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul yang mengingatkan akan kekuasaan Tuhan dan kebenaran Rasul-Nya. Gendhing Sekaten pun juga demikian, Gendhing Rambu yang berasal dari kata Robbuna berarti Allah Pangeranku mengingatkan bahwa hanya Allah tujuan kita. Sedangkan Gending Rangkung yang berasal dari kata Roukhun berarti jiwa yang agung seperti keteladanan Baginda Rasul SAW.

Bunyi gamelan terkadang dibunyikan pelan dan lambat, kemudian berubah menjadi kencang bertempo cepat, dan pada akhirnya kembali tenang dan berhenti. Mengisyaratkan, bahwa kehidupan anak cucu Adam demikian adanya. Terkadang tenang dan damai, tapi adakalanya cobaan berat sesekali mampir dalam setiap kehidupannya. Hingga pada klimaksnya, apapun cobaan itu akan berakhir pada kepasrahan atau semeleh dan berhenti pada satu tujuan, Gusti Alloh.

Sekaten yang penuh makna filosofi dipoles begitu anggun dan halus oleh para penyebar Islam kala itu. Bahkan makanan yang dijual di area Sekaten pun tak luput dari pemaknaan dan perlambang. Ganten atau kinang yang terdiri dari lima komponen melambangkan rukun Islam. Lebih dalam lagi, kinang yang begitu ‘magis’ itu merupakan lambang pula dari kehidupan manusia, adakalanya terasa manis, pahit, asam, sepet, dan tak karuan. Sepahit dan semanis apapun itu harus tetap dikunyah dan dijalani. Begitu pula kehidupan.

Ndog amal atau telur asin mengisyaratkan manusia untuk senantiasa beramal. Ndog asin yang terdiri dari 3 lapis juga melambangkan proses kehidupan manusia dari lahir, kemudian hidup, dan akhirnya mati. Pecut atau cambuk mengisyaratkan pengendali hawa nafsu manusia. Gasing atau gangsingan bermakna hidup memang tak selamanya berputar, ada kalanya harus ingat atau eling kepada Gusti Ingkang Akaryo Jagad sebelum berhenti berputar (mati).

Peristiwa terbakarnya Pasar Klewer yang bersamaan dengan digelarnya Sekaten setidaknya mengingatkan kita kembali akan kekuasaan Gusti Alloh. Terlepas dari semua spekulasi yang berkembang. Inilah kehidupan yang senantiasa berputar, seperti berputarnya gangsingan Sekaten. Mau tak mau, suka atau tak suka, percaya atau tak percaya, ini semua adalah cobaan dari Gusti Allah yang singgah dalam kehidupan dan harus kita jalani. Beginikah kepahitan ‘kinang’ dalam kehidupan? Bisa juga merupakan cambuk untuk kita, seperti makna pecut Sekaten. Atau bisa jadi, peristiwa itu adalah klimaks ujian kehidupan yang mengharuskan kita untuk semeleh pasrah tawakkal kepada Gusti Alloh, seperti semeleh-nya Gamelan Sekaten ketika berhenti.

—-

Gamelan Sekaten masih berbunyi ketika langkah kaki saya perlahan meninggalkan halaman Masjid Agung. Rintik gerimis yang kini berganti hujan mulai membasahi tanah. Aroma sedapnya berbaur mesra dengan harumnya bunga kantil di sepanjang jalanan masjid. “Oh begitu agungnya suara samar-samar gamelan itu dari kejauhan”, gumamku.

Saya hanya berharap, semoga ujian itu cepat berlalu dan segera berganti dengan pitulungan Gusti Allah SWT. Semoga….

Minggu, 28 Desember 2014

Apakah tulisan ini membantu ?

berhidayat

suka dolan dan menikmati segalanya

View all posts

Add comment