Soloensis

Masalah Sejati Jurnalisme Kita Bukan Medianya

Menarik sekali polemik yang muncul di media sosial setelah jurnalis senior Kompas, Bre Redana, menulis esai pendek tentang keresahannya ihwal media massa cetak yang menuju senjakala seiring kian berkembangnya media online.

Ada beberapa tanggapan yang saya baca. Tanggapan-tanggapan itu ada yang ditulis di blog, ada yang ditulis sebagai status di Facebook, ada pula yang sekadar komentar terhadap tulisan di blog atau status di Facebook. Intinya: sangat menarik.

Ada keresahan tentang “akan segera matinya” media cetak dan digantikan oleh media online. Ada optimisme bahwa media cetak (koran, majalah, tabloid) akan tetap bertahan selama masih ada pembacanya. Ada keyakinan bahwa zaman memang selalu berubah sehingga media juga berubah seturut perkembangan zaman.

Jurnalis senior Farid Gaban dalam sebuah tanggapan di Facebook menulis bahwa jurnalisme itu ilmu yang kekal, yang berubah adalah medianya. Dulu jurnalis mengetik dengan mesin ketik manual, kemudian beralih menggunakan personal computer, lalu memilih laptop atau netbook, dan kini banyak yang menggunakan smartphone. Begitu pula media jurnalisme. Pasti berubah seturut perkembangan zaman.

Menurut saya, yang layak dipermasalahkan lebih lanjut berdasar keresahan yang dikemukakan Bre Redana ihwal senjakala media cetak itu adalah persoalan kronis di jurnalisme kita (maksud saya ya jurnalisme di negeri kita tercinta ini). Masalah utama jurnalisme kita bukan medianya. Masalah utama jurnalisme kita adalah profesionalisme jurnalis, kesejahteraan jurnalis, dan suap.

Apa pun media jurnalismenya tiga masalah itu yang sampai saat ini masih menghantui jurnalisme kita dan menjadi ancaman yang kian serius ketika jurnalisme kita kian “menjadi industri”. Apakah ketika media cetak kita berjaya berpuluh-puluh tahun membuktikan jurnalis dan jurnalisme di negeri ini–secara umum–telah berada di puncak prestasi?

Menurut saya kok tidak. Jurnalisme media cetak kita (maksud saya di negeri kita Indonesia ini) memang melahirkan banyak jurnalis dan media yang berdedikasi tinggi, berintegritas tinggi, menjamin kesejahteraan jurnalis, dan memerhatikan secara serius profesionalisme jurnalis.

Pada saat bersamaan, jurnalisme cetak kita juga melahirkan (jauh lebih banyak) jurnalis abal-abal, jurnalis yang paham profesionalisme jurnalis tetapi mengabaikan kode etik dan kredo jurnalisme demi keuntungan pribadi, serta melahirkan jurnalis pemeras. Pendek kata, melahirkan kaum–yang jamak disebut–bodreks.

Jurnalisme media cetak kita juga belum selesai dengan urusan kesejahteraan jurnalis. Berapa banyak sih perusahaan koran, majalah, atau tabloid yang menggaji jurnalis sesuai standar kebutuhan hidup layak seorang jurnalis?

Silakan cek di situs Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Di sana ada survei tentang upah layak jurnalis yang dilakukan tiap tahun dan ternyata sangat, sangat, sangat sedikit perusahaan media cetak yang menggaji jurnalis sesuai standar upah layak yang dirumuskan AJI itu.

Ihwal suap? Ini sangat terkait dengan profesionalisme jurnalis dan kesejahteraan jurnalis pula. AJI sangat ketat dalam urusan suap ini. Anggota AJI terancam sanksi dipecat dari status anggota AJI bila menerima suap. Berapa banyak perusahaan pers (media cetak) yang ketat menjaga jurnalis-jurnalis agar tak terayu suap? Sangat, sangat, sangat sedikit. Sebagian besar toleran bahkan sangat toleran terhadap suap.

Ihwal profesionalisme jurnalis? Dewan Pers sejak dua tahun lalu menginisiasi uji kompetensi jurnalis yang diharapkan menjadi tolok ukur menilai profesionalisme jurnalis. Sistem ini didukung semua organisasi profesi jurnalis, termasuk AJI.

Silakan cek di situs Dewan Pers berapa banyak jurnalis di Indonesia yang telah ikut dan lulus uji kompetensi. Berdasar pengetahuan empiris saya, jurnalis-jurnalis yang lulus uji kompetensi itu belum tentu “profesional penuh”. La wong lulus uji kompetensi tapi mau menerima suap, eh suel, kok. Jurnalis “profesional” begitu itu banyak jumlahnya.

Dalam konteks yang lebih luas lagi, berapa sih jurnalis dan media cetak kita yang menghasilkan karya jurnalisme investigatif yang dilakukan demi kepentingan umum atau menghasilkan liputan mendalam dan menyajikannya dengan tulisan “bertutur” yang indah, enak dibaca, dan menyenangkan?

Berapa banyak jurnalis kita yang “punya nafsu berkobar-kobar” untuk selalu membaca (buku), menambah pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan mencerdikpandaikan dirinya sendiri?

Itulah, itulah, itulah…. profesionalisme jurnalis, kesejahteraan jurnalis, dan suap itu “hantu gentayangan” yang sampai kini masih jadi masalah serius di jurnalisme kita.

Dalam keadaan demikian ini, zaman kemudian berubah, Internet menjadi bagian integral kehidupan kita, media sosial jadi “kebutuhan sehari-hari”. Kini everyone is the message, setiap orang bisa memproduksi pesan, warta, kabar, informasi. Itu karena Internet, karena media sosial, karena teknologi komunikasi dan informasi.

Perkembangan dahsyat ini terjadi kala masyarakat bangsa kita sebenarnya masih sekadar jadi konsumen teknologi (komunikasi dan informasi). Kelatahan menjadi salah satu gejala yang lumrah. Tak bermedia sosial dibilang kurang pergaulan, ketinggalan zaman. Tak punya smartphone yang terkoneksi Internet setiap saat disebut cupu.

Perilaku konsumen ya jamaknya cuma menikmati. Jurnalisme yang manjing di teknologi berbasis Internet ini adalah jurnalisme yang sebelumnya eksis di media cetak itu. Artinya tiga masalah “hantu” itu juga dibawa ke sana. Berapa banyak media online menggaji jurnalis sesuai upah layak jurnalis?

Berapa banyak jurnalis media online yang memahami kredo jurnalisme dan punya keterampilan jurnalisme tinggi? Ya sama saja kondisinya dengan di era kejayaan media cetak itu. Sangat, sangat, sangat sedikit.

Apakah media cetak segera musnah? Menurut saya ini bukan persoalan penting. Di beberapa negara yang lebih maju dan lebih modern–termasuk tradisi jurnalisme dan audiensnya–ada koran atau majalah yang tutup, mati, dan kemudian beralih ke platform online. Ini ya jelas hal lumrah. La wong pembacanya kemudian beralih semua ke platform online ya tentu saya media cetaknya tak ada yang membaca, kalau mau terus hidup ya harus beralih ke platform online pula.

Di Indonesia? He…he…he…, selama pembaca koran, majalah, dan tabloid ada dan signifikan dari perhitungan ekonomis perusahaan koran, majalah, dan tabloid ya akan tetap ada. Nanti kalau “konsumen” teknologi komunikasi dan informasi di negeri kita ini sudah kian cerdas, optimalisasi platform online sebagai media jurnalisme itu menjadi keniscayaan….

Yang dibutuhkan peradaban kita adalah jurnalisme berkualitas tinggi. Kawan saya, seorang jurnalis di Koran Suarana Merdeka, Wisnu Sancaka, mengatakan jurnalisme itu ya “urip”, jurnalisme itu ya “kehidupan”, karena semua manusia butuh informasi, butuh kabar, butuh berita.

Hanya jurnalisme berkualitas tinggi, berstandar keterampilan dan etik yang tinggi, yang bisa mendorong peradaban bangsa kita menjadi kian baik. Platformnya tak perlu dipersoalkan. Yang penting tiga masalah “hantu” jurnalisme kita itu segera diselesaikan. Bayarlah jurnalis dengan upah yang sesuai kebutuhan hidup layak jurnalis, ambil saja standar yang dirumuskan AJI; tingkatkan terus profesionalisme jurnalis (secara pribadi maupun fasilitas perusahaan pers); dan hilangan suap dari masyarakat jurnalis kita.

Ichwan Prasetyo

Jurnalis Solopos

Anggota AJI Kota Solo

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment