Soloensis

Irak Bisa, Masak Kita Tidak?

Indonesia bukan hanya Irfan Bachdim. Mungkin itulah kalimat penghibur yang cocok untuk kita– pendukung Timnas Indonesia– saat ini. Selebihnya kita hanya bisa berdoa dan berharap ada keajaiban di Piala AFF 2016 yang mulai digelar di Filipina, Sabtu (19/11). Di laga pembuka Indonesia bakal menghadapi tim favorit juara, Thailand. Setelah itu Evan Dimas dkk. dijamu tuan rumah Filipina, yang kini telah menjelma menjadi kekuatan baru di Asia Tenggara.

Ya, harus diakui Irfan Bachdim adalah andalan Tim Garuda. Ia pemain yang kelihatan paling siap menghadapi kejuaraan resmi dua tahunan ini setelah Indonesia vakum lebih dari satu tahun akibat sanksi FIFA. Langkahnya bergabung dengan klub Jepang, Consadole Sapporo, sangat tepat. Meski hanya bermain di tim pelapis klub anggota Divisi II Liga Jepang tersebut, rutinitas latihan membuat sentuhan bolanya tidak hilang.

Kebugarannya juga terjamin. Terbukti dalam tiga uji coba melawan Malaysia, Myanmar dan Vietnam Irfan tampil sangat energik, penuh determinasi. Ia juga pemain yang visioner. Kerja samanya dengan Boaz Solossa di lini depan terlihat sangat padu kendati belum lama berlatih bersama. Dan yang paling menjanjikan, Irfan selalu mencetak gol di tiga kali uji coba yang ia jalani.

Kehilangan Irfan jelas kerugian besar. Tapi publik tidak perlu menghujat Hansamu Yama Pranata yang menjadi sebab Irfan cedera. Saya yakin Hansamu tidak ada kesengajaan mencederai seniornya itu. Jangan lupa pula, Hansamu adalah pahlawan Indonesia saat Timnas U19 juara Piala AFF 2013. Ia adalah seorang pemain profesional.

Seperti kalimat pembuka tulisan ini, Indonesia bukan hanya Irfan Bachdim. Sepak bola bukan permainan satu orang. Sepak bola adalah kerja sama kolektif sebelas pemain di lapangan. Di luar itu ada tim pelatih, manajer dan satu lagi yang tidak kalah penting: suporter.

Untuk urusan dukung mendukung, suporter kita tidak usah diragukan lagi. Jangankan hanya di Filipina, uji coba Timnas U19 ke Spanyol saja ditonton ratusan pendukung Merah Putih. Hampir bisa dipastikan, di mana pun Tim Garuda bermain akan selalu ada barisan pendukung berikat kepala merah putih di tribune penonton.
Seperti kata legenda Persebaya asal Brasil, Jacksen F. Tiago, suporter Indonesia lebih gila dibandingkan suporter di negaranya. Jika Brasil harus berprestasi dulu agar stadion penuh, di Indonesia tim berada di posisi juru kunci pun tribune penuh sesak.

“Karena TKI kita memang ada di mana-mana,” canda seorang kawan suatu ketika. Pembaca, jangan terlalu anggap serius canda kawan saya itu. Walaupun, ia memang tidak sepenuhnya salah. Penonton di setiap laga Timnas di manca negara hampir pasti diisi tenaga kerja Indonesia (TKI) kendati tidak seluruhnya. Yang pasti, entah TKI atau WNI atau suporter yang datang jauh-jauh dari Tanah Air, mereka semua adalah bahan bakar yang bisa menyulut semangat Andik Vermansyah dkk. di lapangan.

Mari berkaca ke pertandingan Indonesia melawan Korea Selatan pada ajang kualifikasi Piala Asia tahun 2013 lalu. Siapa yang berani bertaruh Indonesia bisa memecundangi juara Piala Asia sebanyak 12 kali tersebut? Apalagi, kala itu pasukan Ksatria Taeguk datang ke Jakarta dengan status juara bertahan turnamen terakbar Benua Asia. Tapi semangat membara Hansamu Yama dkk. membuat sesuatu yang seolah mustahil itu menjadi nyata. Korea Selatan dipermalukan 2-3, luar biasa!

Semangat itulah yang kini dibutuhkan Timnas di Piala AFF. Secara teknik mungkin kita kalah dari Thailand, Vietnam atau sang kuda hitam, Filipina. Tapi dorongan semangat akan membuat sesuatu bisa berubah dalam hitungan 2 x 45 menit. Ingat, permainan di lapangan tidak semata-mata soal kemampuan teknik, faktor nonteknis seperti semangat berlipat juga bisa menjadi pembeda.

Mengaca pertandingan terakhir kualifikasi Piala Asia U19 tahun 2013 silam, kemampuan teknik Korea Selatan jelas di atas Evan Dimas dkk. Tapi kelebihan itu tertutup oleh agresivitas Evan Dimas dkk plus teriakan tanpa henti puluhan ribu pendukung Merah Putih.

Idealnya kehilangan Irfan Bachdim harus ditutup pemain lain yang sepadan. Dalam kaca mata subjektif saya Cristian Gonzales sangat layak menggantikannya. Secara usia memang sudah mendekati kepala empat namun Gonzales golongan tua-tua keladi, makin tua makin menjadi. Lihat saja di turnamen Torabika Soccer Championship (TSC). Ia masih menjadi yang terdepan bersaing dengan striker impor sebagai top scorer. Ia masih menjadi striker produktif yang ditakuti lawan-lawannya.

Jangan lupa pula, kegesitan Gonzales yang termakan usia tertutupi oleh kemampuannya dalam pergerakan tanpa bola, penempatan posisi yang aduhai serta visi bermain yang luar biasa. Sayangnya, ada masalah lain yang mengganjal. Adalah kesepakatan antara PT Gelora Trisula Semesta—selaku penyelenggara turnamen TSC– dengan klub-klub peserta di mana hanya dua pemain tiap klub yang boleh diambil untuk Timnas.

Padahal Arema Cronus sudah menyumbangkan Benny Wahyudi dan Kurnia Meiga ke Timnas. Artinya, Gonzales tidak masuk hitungan Riedl. Inilah kesepakatan terlucu yang pernah ada dalam sejarah sepak bola Indonesia. Sungguh aneh memang. Dan barangkali hanya di Indonesia kepentingan negara kalah oleh kepentingan klub.

Memang di Eropa pernah ada klub-klub besar semacam Barcelona dan Real Madrid yang nggondheli pemain mereka bergabung ke timnas. Tapi, mereka itu klub dan negara yang berbeda. Artinya kemenangan timnas tidak ada pengaruhnya untuk klub. Tapi ini klub dan negara yang sama, ada kesepakatan hanya dua pemain yang boleh diambil, sungguh ironis!

Tapi sudahlah. Tidak ada gunanya meratap. Yang bisa kita lakukan adalah menatap Piala AFF yang tinggal menghitung jam. Maksimalkan pemain yang ada. Di lini depan tersisa Boaz Solossa, Lerby Eliandry (Pusamania Borneo FC) dan Ferdinand Sinaga (PSM Makassar).

Lerby memang belum teruji. Ia dipilih Alfred Riedl lebih karena punya potensi menjanjikan sebagai striker masa depan Indonesia sepeninggal Bambang Pamungkas. Ia adalah tipe striker murni seperti Bambang Pamungkas. Hanya, dalam empat kali uji coba ia belum menunjukkan kemampuannya. Pergerakan tanpa bola, visi bermain dan naluri membunuhnya belum terlihat.

Di atas kertas Ferdinand Sinaga lebih menjanjikan. Bersama Boaz dan Gonzales, ia adalah pemain lokal terproduktif di TSC sampai sejauh ini. Hanya kesempatan bermain untuknya masih minim. Tampil sebagai pemain pengganti membuat kehebatannya belum terlihat. Tapi itu bukan kiamat. Masih bisa diasah, masih bisa diolah. Dalam hitungan jam tentu saja.

Yang dibutuhkan Ferdinand dan Lerby adalah suntikan semangat. Cedera Irfan harus membuat mereka terlecut, bahwa Indonesia bukan hanya Irfan Bachdim. Ada mereka yang juga bisa diandalkan. Mereka butuh dibangunkan dari tidur. Dan itu adalah tugas tim pelatih. Alfred Riedl harus bisa bertindak seperti Alex Ferguson atau Jose Mourinho, bukan hanya mengajari teknik tapi menjadi motivator.

Riedl harus membuat pengganti Irfan Bachdim tampil beringas, all out. “Kalau perlu mati di lapangan,” kata legenda hidup Persija Jakarta dan Timnas Indonesia, Bambang Pamungkas, di salah satu tulisannya di bambangpamungkas20.com.

Berbicara soal motivasi, berkaca kepada Timnas Irak sangat tepat untuk Timnas Indonesia saat ini. Pada Piala Asia 2007, Irak berjaya di final yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Padahal secara matematis, sulit menalar mereka bakal tampil sebagai kampiun. Jangankan seperti Indonesia yang punya ribuan lapangan, bisa berlatih rutin saja sudah untung mengingat kondisi Irak ketika itu tengah dirundung konflik senjata tak berkesudahan.

Bahkan saat sudah juara sekalipun beberapa pemain tidak berani pulang ke negaranya karena takut ditembak. Tapi Irak ketika itu bisa mengatasi semua keterbasan dan diubah menjadi suntikan motivasi yang luar biasa. Dan hasilnya mereka menghajar tuan rumah Indonesia, memecundangi Korea Selatan di semifinal dan mengalahkan Arab Saudi di final.

Bola itu bundar, ia bisa menggelinding ke mana saja. Tidak ada yang tidak mungkin dalam sepak bola. Sepak bola bukan hanya hitungan di kertas tetapi pembuktian di lapangan.

Selamat bertanding timnasku, jadilah Irak di Piala AFF. Tak perlu muluk-muluk menjadi juara. Sekadar bermain bagus dan menghibur saja sudah lebih dari cukup untuk jutaan pendukungmu. Kami sadar kalian baru bangun dari tidur setahun. Jika nanti jadi juara, itu bonus tak terhingga untuk kami dan sang Ketua Umum PSSI yang baru, yang berjanji membebaskan federasi dari politik. Semoga.

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

Add comment