Soloensis

Good Bye Lee, Selamat Jalan Ali

Ada dua legenda dunia yang menjadi idola saya di bidang olahraga. Mereka adalah Muhammad Ali dan Bruce Lee. Yang disebut pertama adalah petinju terbesar abad ke-20 yang 3 Juni lalu meninggal dunia. Yang kedua adalah jagoan kungfu yang meninggal di usia sangat muda, 33 tahun, pada 20 Juli 1973 silam.

Saat saya duduk di bangku sekolah dasar, poster dua olahragawan terbesar sepanjang masa itu saya pasang di dinding kamar. Gambar keduanya saya dapatkan dari menggunting kalender lawas.

Bukan hanya mengidolakan tapi saya juga meniru mereka. Kala kecil saya sering bertinju dengan kakak kandung saya dengan menggunakan kaus kaki sebagai sarung tinju. Bisa ditebak, karena tangan hanya dibalut kain tipis akibatnya sering mulut dan bibir kami berdarah lantaran terkena pukulan. Tentu saja, tinju-tinjuan ala kami itu tanpa sepengetahuan bapak yang akan sangat murka jika mengetahui kenekatan kami.

Belasan tahun kemudian saya akhirnya benar-benar menggunakan sarung tinju sungguhan saat tahun 1999 berlatih tinju bersama Mas Tajri, pelatih Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) Solo.

Bagaimana dengan Bruce Lee? Saya hanya mengidolakannya di atas kertas. Lee meninggal empat tahun sebelum saya lahir. Saat kelas IV madrasah ibtidaiyah saya mengoleksi buku-buku kungfu Lee yang saya dapatkan di pasar loak di pasar kecamatan.

Saya tidak pernah ikut berlatih kungfu karena di kabupaten tempat kami tinggal tidak ada perguruan kungfu. Saya justru mendalami Kempo dan Taek Kwon Do yang kelak dipadukan dengan tinju bersama Mas Tajri di Gedung Persatuan Masyarakat Surakarta (PMS).

Saya senang berantem sejak kecil. Karenanya mengidolakan Muhammad Ali dan Bruce Lee rasanya tidak salah. Keduanya adalah kiblat olahraga keras. Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (lebih tepatnya Madrasah Ibtidaiyah) saya punya geng yang hampir tiap hari berkelahi dengan geng kakak kelas.

Tidak jarang perkelahian antarkami merembet hingga ke orang tua. Gara-gara anak berkelahi antarorangtua sering cekcok dan harus didamaikan kepala desa ketika ada anak mereka yang pulang dengan kepala penuh darah lantaran dihantam batu bata.
Dulu kampung saya begitu berisik. Dangdutan pasti diwarnai perkelahian. Mabuk-mabukan menjadi pemandangan yang biasa. Beruntung orang tua memproteksi dengan sangat ketat sehingga kami tidak terjerumus ke pergaulan yang salah.

Tapi tetap saja virus suka berkelahi menjangkiti masa kecil kami. Desa tempat saya tinggal identik dengan kekerasan. Positifnya, jarang ada maling karena takut dibantai. Ini benar. Ketika kecil saya menyaksikan sendiri seorang pencuri becak yang dibantai dan dibuang ke sungai. Puluhan orang diperiksa polisi tapi tak satu pun yang masuk penjara. Hanya wajib lapor.

Kebiasaan berkelahi itu terbawa hingga dewasa dan baru benar-benar berhenti setelah menikah. Lambat laun tradisi adu jotos itu pudar seiring dengan kelembutan istri yang setia mendampingi saya.

Saya tidak punya kenangan sama sekali tentang Bruce Lee selain hanya mengaguminya lewat buku-buku kungfu yang saya koleksi. Baru belasan tahun kemudian saya tahu aksi sungguhan sang idola itu lewat film-film lawasnya macam Fist of Fury, Enter The Dragon, The Game of Death dll. yang diputar televisi swasta nasional.

Demikian pula saya tak punya kenangan tentang Muhammad Ali. Saya baru berumur tiga tahun ketika pertandingan terakhir Si Mulut Besar digelar pada 1980. Kala itu ia dijatuhkan Larry Holmes. Masa kejayaan Ali sudah lewat. Ia mulai lemah. Ia pensiun.

Kata bapak saya, setiap kali Ali naik ring jalanan desa sepi. Aktivitas pekerjaan ditinggalkan sementara. Tidak ada petani yang pergi ke sawah. Semua warga berkumpul di rumah Pak RT untuk menyaksikan tinju sang legenda melalui layar kaca hitam putih.

Belasan tahun kemudian setelah era You Tube hampir tiap hari saya menyaksikan aksi heroik Ali. Memang benar-benar legenda. Pantas saja Bapak saya—dan juga warga desa lainnya—begitu mengagungkan nama pria bernama asli Cassius Marcellus Clay, Jr itu.

Menari bak kupu-kupu menyengat bagai lebah. Itulah gambaran gaya bertinju Muhammad Ali. Melalui You Tube saya akhirnya benar-benar tahu tentang kebenaran gambaran tersebut. Di era jayanya, Ali selalu mengajak lawannya berkeliling ring. Pergerakan tubuhnya cepat.

Sembari mundur jab-jabnya menyengat lawan. George Foreman, petinju terkuat dan berstatus “raksasa” tersungkur dalam pertandingan bertitel The Rumble in The Jungle di Zaire tahun 1974.

Lee dan Ali adalah pekerja keras. Sangat keras bahkan. Prestasi legend mereka adalah buah kerja keras yang tanpa henti. Salah satu spekulasi atas kematian Lee yang misterius adalah akibat latihannya yang kelewat keras. Otaknya tidak kuat.
Untuk ukuran orang normal, Lee jauh di atas rata-rata. Koleganya di film, Bolo Yeung (Chong Li) yang bertubuh gempal tak pernah menang panco melawan Bruce Lee.

Lee juga biasa push up dengan satu tangan, tepatnya dengan dua jari yakni jempol dan telunjuk. Itu ia peragakan dalam festival karate di Jepang, beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia. Ia juga mampu menjungkalkan atlet karate Jepang yang berbobot 100 kg dengan pukulan yang hanya berjarak 1 inchi. Momen itu membuatnya terkenal dengan teknik “pukulan 1 inchi” (one inch punch).

Kecepatan pukulan dan tendangan Lee di atas rata-rata. Bahkan gerakannya konon sulit tertangkap kamera. Akibatnya, Lee harus sedikit memperlambat gerakannya dalam setiap film yang ia bintangi. Lagi-lagi melalui You Tube saya mengakui kebenaran kabar itu.

Dua idola itu kini telah sama-sama tiada. Kebesaran nama mereka belum ada yang menyamai. Di dunia film dan kung fu ada Jet Li dan Jacky Chan, tapi dua artis hebat itu belum setara Bruce Lee. Mungkin karena Bruce Lee lah yang mengenalkan kungfu kepada dunia.

Bruce Lee lah yang mengajarkan kungfu kepada semua orang tak pandang ras, sebuah tindakan yang tergolong tabu di zamannya. Di China, hanya orang-orang tersaring yang bisa mempelajari kungfu. Tapi Bruce Lee menabrak tradisi itu, walau ia harus menghadapi penentangan kuat dari sesama orang China.

Di dunia tinju ada beberapa nama besar setelah Ali pensiun. Utamanya tentu saja adalah Mike Tyson. Tapi jelas Tyson sangat berbeda dengan Ali. Tyson memang menyalip Ali sebagai juara dunia termuda sepanjang sejarah di usia 20 tahun (Ali juara dunia kali pertama pada usia 22 tahun).

Namun sosok Ali yang sangat ganas di ring tapi lembut di luar ring tidak bisa disamai Tyson. Apalagi sikap Ali yang menentang perang Vietnam di tahun 1967 membuatnya menjadi idola masyarakat dari “negara dunia ketiga”. Betapa tidak? Ia melawan negaranya sendiri. Meski sebagai akibatnya ia harus dipenjara dan dicabut gelar juara dunianya pada 20 Juni 1967.

“Aku tak punya masalah dengan orang-orang Vietkong. Dan tak ada satupun orang Vietkong yang memanggilku dengan sebutan Nigger!” kata dia lantang menolak wajib militer, seperti dikutip dari situs People’s World yang Liputan6.com muat pada Sabtu (4/6/2016).

Penolakan Ali membuat geger dunia. Kalimat pertamanya, “I ain’t got no quarrel with them Viet Cong”, dipakai para generasi muda AS kala itu sebagai simbol penolakan terhadap perang. Ali melawan. Di tingkat kasasi ia menang. Ali bebas dari penjara setelah tiga tahun meringkuk di pengapnya jeruji besi.

Sebaliknya, Tyson yang merajai kelas berat di tahun 1990-an dikenal sebagai sosok berandal dan sering membuat ulah. Ia beberapa kali dijebloskan ke penjara karena kasus penganiayaan dan perkosaan. Karenanya, ia hanya dikenal sebagai raja KO tapi tidak bisa menjadi idola.

Ali? Di luar ring ia akrab dengan kegiatan-kegiatan sosial, sesuatu yang tidak bisa dilakukan Tyson.
Persamaan Lee dan Ali adalah dua-duanya adalah legenda yang belum ada yang menyamai hingga saat ini. Keduanya berprestasi di bidang masing-masing dan berkelakuan baik.

Good Bye Bruce Lee, Selamat Jalan Muhammad Ali…

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

Add comment