Soloensis

Siapa yang Puasa, Siapa yang Gembira?

WhatsApp Image 2024-03-30 at 9.47.48 AM
Takjil di Kampung Ramadhan Mlinjon Klaten.

Siapa yang Puasa, Siapa yang Gembira?

Puasa Ramadhan sudah menjadi bagian dari rutinitas yang dilalui oleh teman-teman muslim di setiap tahunnya menjelang Idul Fitri. Di tahun ini begitu spesial karena awal puasa dimaknai dalam kebersamaan dengan moment Nyepi bagi teman-teman Hindu dan berada di tengah Masa Pra-Paskah bagi teman-teman  Kristiani (Kristen dan Katolik). Di masa Pra-Paskah ini pun mereka (meski tidak semua) ada juga yang melakukan ritual Puasa atau Pantang. Sungguh keragaman yang menarik yang bisa dibanggakan sebagai bagian Bangsa Indonesia yang utuh penuh keragaman.

Hal paling menyita perhatian di puasa tahun ini, makin semarak dengan berbagai-bagai fenomena baru yang muncul dan justru memberi nuansa dan rasa yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dari War Takjil, Cosplay busana muslim, hingga bernyanyi religi muslim juga perjumpaan sekedar diskusi keingin tahuan dari dua pihak Islam dan Kristen dalam konten anak muda yang dikemas santai.

Belum ada seminggu puasa, kita sudah dihebohkan dengan urusan takjil. Takjil yang merupakan makanan ringan yang dipakai untuk membatalkan puasa ternyata malah bisa menjadi media yang menghubungkan teman-teman Islam dan NonIs (Non Islam) yang juga tak mau terlambat menikmatinya. Takjil di bulan Ramadhan seolah menjadi daya pikat tersendiri bahkan bagi NonIs yang tidak berpuasa Ramadhan. Di media sosial kian ramai tentang War Takjil dimana diceritakan di jam-jam kritis bagi teman-teman muslim yang puasa malah menjadi jam hunting Takjil bagi para teman-teman NonIs. Di media sosial makin riuh dengan “perang” statement sebagai wujud respons dari Takjil yang diborong oleh para NonIs. Argumen mereka, cukuplah mereka bertoleransi dengan ikut tidak makan minum di tempat kerja dan di depan mereka yang berpuasa, maka sudah sewajarnya saat pulang kerja mereka mampir untuk membeli takjil lebih awal dari teman-teman yang berpuasa. Begitu semangatnya dengan berbagai pilihan menu mungkin membuat kalap dan memborongnya. Tentu saja ini membuat seolah tidak adil dirasakan oleh teman-teman Islam yang telah berpuasa dan berjuang di jam-jam kritis menjelang berbuka dan mendapati takjil menipis bahkan habis. Maka dalam sebuah konten di media sosialpun disiasati pembatasan pembeli khususnya NonIs yang tidak berpuasa untuk membeli jumlah banyak. Setidaknya mereka bisa dibedakan dalam pakaian yang dipakai. Namun tak kurang akal bagi beberapa teman NonIs merekapun merespons ini dengan mengganti pakaian mereka seirama dengan pakaian teman-teman Islam mereka agar tidak terlihat “berbeda”, sehingga merekapun tetap aman dan nyaman untuk bisa membeli takjil. Tak berhenti sampai di situ, teman-teman di arena takjilpun tak kurang akal juga saat terjadi pemborongan, meski berbaju muslim, merekapun bahkan menyediakan berbagai pertanyaan semacam “tes” yang diajukan ke pembeli. Alhasil inipun direspon teman-teman NonIs dengan menghafalkan beberapa pertanyaan beserta jawaban yang sekiranya akan ditanyakan. Dan kelanjutan dari ini semua akhirnya membuat perang statement yang bergulir, untuk membalas argumen mereka, NonIs dengan pernyataan mereka  yang akan “balas dendam” dengan memborong telur-telur saat Paskah besok tiba, jika masih terjadi pemborongan takjil. Bagaimana tidak, di beberapa media sosialpun dibagikan bagaimana pendeta beberapa gereja ikut menyemangati jemaat mereka untuk semakin bersemangat berburu takjil.  

Event ini makin marak hingga ramai di media sosial. Dituliskan dan dibagikan dalam beberapa foto, juga video dimana teman-teman NonIs tampak gembira berada di stand-stand makanan dan minuman takjil, bahkan saking antusiasnya mereka mengabadikan moment tersebut dengan mengunggahnya dalam status WA dan akun media sosial mereka. Bahkan dengan bangganya merekapun berkostum ala teman-teman NonIs. Baju koko serta peci bagi yang pria, atau gamis dilengkapi kerudung bagi yang wanita. Jadi makin tidak terlihat bedanya siapa yang datang untuk berburu takjil. Bahkan kelanjutannya ada semacam trend yang juga dibagikan untuk para NonIs makan bersama seolah-olah buka puasa bersama lengkap dengan kostum islami mereka. Konten-konten yang diunggah dan meramaikan jagad  maya semakin bervariasi dengan memburu baju lebaran hingga bernyanyi religi oleh teman-teman NonIs. Sungguh fenomena ini menjadi hiburan Ramadhan tidak saja bagi yang Islam saja, namun semuanya.

Fenomena yang hadir saat ini di bulan Ramadhan penuh berkah kali ini justru  sebagai perekat keberagaman bagi bangsa ini. Apa yang terjadi, diawali dengan “perang” takjil, rencana pemborongan telur Paskah sebagai wujud balas dendam, hingga cosplay baju muslim di kalangan NonIs hingga trend menyanyikan lagu religi bisa dipandang dan dimaknai sebagai bagian dari cinta kasih satu sama lain. Bukan menyoal ini milikku, itu milikmu, namun lebih kepada kebanggaan dan kesukaan dimana icon atau simbol-simbol Ramadhan yang identik menempel di teman-teman Islam bisa dinikmati dan dipakai oleh teman-teman NonIs tanpa ada maksud yang tidak baik. Dan betapa indahnya teman-teman Islampun yang dengan senang hati mengizinkannya dan mungkin juga menjadi kebanggan bagi mereka simbol-simbol keagamaan yang bisa dipakai dan dinikmati bersama. Bahkan ini pun bisa menjadi cara atau media untuk semakin mempererat persaudaraan dalam berbangsa.

Sebagai minoritas, meskipun bukan menjadi salah satu yang memborong takjil, saya menyadari bahwa kami pun ikut bergembira, melebihi “duka cita” kami yang karena kami harus ikut menjaga atau ikutan puasa, kala bulan puasa tiba, setidaknya di sekolah atau tempat kerja. Bonus potongan waktu durasi sekolah atau kerja, hingga libur Lebaran yang kami juga bisa gunakan. Yang pasti semacam ada atmosfer yang berbeda kala mendapati takjil di siang sore hari, dan memang ada rasa yang berbeda untuk juga bisa ikutan menikmatinya. Jadi, terima kasih teman-teman Islam kami, kami diizinkan ikut meramaikannya dan ikut bergembira karenanya.  Yang terus meninggalkan kesan di setiap momen perayaan Idul Fitri yang selama ini dilalui dalam kebersamaan, di mana kami pun boleh mencicipi kesukacitaan besar bertemunya banyak teman, sahabat, tetangga juga keluarga yang jauh yang belum tentu bisa bertemu dalam keseharian. Di hari yang Fitri yang menjadi milik teman-teman Islampun menjadi sarana kebersamaan kami, NonIs, untuk ikut merasakan sukacita bersama. Saling bertemu, saling bermaafan, saling berbagi berkat makanan, pun fitrah.  Jadi teringat kenangan masa kecil sayayang saya wariskan pada anak-anak kami, indahnya Idul Fitri yang tak lengkap tanpa fitrah. Pemberian berkat sejumlah uang dari saudara atau tetangga dekat. Sungguh, kami ikut berbahagia!

Selamat memaknai bulan penuh berkah teman-teman yang beragama Islam, berjuang menuju Hari yang Fitri. Kiranya penuh keberkahan.

Bulan Ramadhan, akhir Maret 2024_Dhyana “Hana” Wijayanti. (SMKN 3 Klaten)

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment