Soloensis

Karena Solopos, Saya Jatuh Cinta Pada Dunia Kata-Kata

Bicara Solopos, jujur koran Wong Solo tersebut kerap membawa saya kembali pada kenangan. Dulu, saya menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada sebuah sekolah swasta di Kabupaten Sragen, tinggal di asrama. Tak ada alat komunikasi elektronik macam handphone atau sekadar televisi dan radio. Otomatis, satu-satunya alat komunikasi yang dapat saya gunakan untuk mengetahui kejadian-kejadian menarik di luar hanyalah media massa cetak, koran.

Saya masih ingat betul, ada dua koran yang dilanggan oleh pihak asrama tempat saya menetap selama tiga tahun tersebut. Satu koran berskala nasional, dan Solopos. Jujur, saya selalu lebih tertarik membaca Solopos. Bagi saya, tulisan-tulisan yang dimuat dalam Solopos sangat renyah. Membaca sekali, saya langsung paham dengan informasi yang coba disampaikan oleh para pewarta. Ini membuat Solopos menjadi jauh lebih bermanfaat ketimbang koran lain yang mencoba mengeksplor teknik jurnalistik, namun buta terhadap siapa pembacanya. Satu hal yang perlu diketahui para pegiat media, tidak semua orang yang butuh informasi adalah orang yang berintelektualitas tinggi. Saya pikir, Solopos adalah salah satu koran yang sadar terhadap hal tersebut, sehingga selalu menerjunkan berita-berita terkini dengan cara turur yang gurih.

Di asrama, koran dipajang pada sebuah papan kaca. Kami—saya dan teman-teman penghuni lain—selalu keroyokan saat hendak membaca. Sungguh, kurun 2005-2008 menyimpan banyak kenangan menggembirakan. Berebut baca koran, misalnya. Tanpa gadget, tak ada generasi menunduk, kami hidup dalam lingkungan sosial yang kental.

Salah satu rubrik yang digilai oleh Pembaca Solopos dari ranah asrama SMP saya adalah rubrik olahraga. Maklum, kami tak selalu bisa melihat aksi klub favorit berlaga via televisi. Solopos saat itu menjadi penyelamat kami dari derita kudet.
Selain rubrik olahraga, rubrik-rubrik yang hanya ada pada Solopos edisi minggu juga menarik perhatian, terutama saya. Jujur, saya adalah penggila akut rubrik Jeda, Anak, Gaul, sampai Hobi & Komunitas.

Khusus Rubrik Gaul, saya memiliki pengalaman yang tak akan pernah saya lupa. Berawal dari ketertarikan pada rubrik tersebut sejak SMP, saya memberanikan diri untuk turut menyumbang isi hati di kolom Curhat ketika telah duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ya, melihat foto dan nama teman-teman seangkatan dari berbagai latar belakang sekolah di luar sana bisa nongol pada lembar koran membuat saya pengin. Namun, menulis sekali, dua kali, tak membuat saya bisa wujudkan asa. Beberapa tulisan sesuai tema yang saya kirim via pos tak dimuat. Sedih? Jelas. Apalagi harga perangko saat itu tak bisa dibilang murah untuk ukuran kantong anak SMK.

Namun, dari kegagalan saya belajar bahwa tak ada satu hal berharga pun di dunia ini yang dapat dicapai secara instan. Perlu naik beberapa kelas dulu sebelum bisa lulus sekolah. Kalau pun tinggal, mengulang pun tak masalah. Ini berlaku bagi saya yang terlanjur jatuh cinta dengan dunia kepenulisan. Sekali ditolak, menulis lagi, mengirim lagi.

Curhat Dimuat

Minggu 23 Januari 2010, seperti kata-kata bijak yang banyak didengungkan orang—tak ada proses yang mengkhianati hasil, curahan hati saya dimuat Solopos dengan judul “Jangan Kebablasen” yang membahas soal Game Online. Itu sejarah yang luar biasa. Itu juga yang membuat minat saya pada dunia jurnalistik makin membuncah. Apalagi, dua minggu pasca-Curhat tersebut dimuat, selembar wesel mendarat di meja Tata Usaha (TU) SMK saya. Saya mendapat honor. Tak banyak, Rp 50.000 dipotong pajak. Tapi, itu adalah motivator paling ampuh. Berkat itu, tekad saya untuk menggeluti dunia tulis-menulis masih bergelora sampai hari ini.

Senin 15 Juni 2015, saya resmi menjadi sarjana dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kota Semarang. Bukan sarjana jurnalistik, memang. Tapi, sebagian besar waktu selama menempuh pendidikan di bangku kuliah, saya pakai untuk menulis. Mengikuti organisasi jurnalistik, pelatihan kepenulisan, menulis di media massa, hingga menjadi blog content writer. Semua membuat kemampuan menulis saya menjadi jauh lebih baik, meski belum apa-apa jika dibanding nama-nama besar seperti para wartawan Solopos. Satu poin penting, semangat untuk melakukan semua proses tersebut berawal dari sebuah tulisan yang dimuat Solopos. Saya tak tahu jika “waktu itu” Solopos tak mempublikasikan tulisan saya, apakah saya akan tetap jatuh cinta pada dunia kata-kata, atau tidak.

Selamat ulang tahun, Solopos. Lekas jadi pewarta yang makin luar biasa.

Ibnu Majah,
Penikmat Susu yang menetap di Kota Susu. Bisa ngobrol bareng via @ibnu_berkicau di twitter.

Apakah tulisan ini membantu ?

Ibnu Majah

Alumni mahasiswa yang jadi penikmat fiksi fantasi dan hobi jelajah maya.

View all posts

Add comment