Soloensis

Angkor Wat in The Dawn

Waktu itu awal April, yang jika di Indonesia masih ada sisa-sisa kesejukan musim hujan, namun tak demikian halnya dengan di Phnom Penh. Udara terasa panas menyengat, kering dan berdebu. Itulah yang kami rasakan sekaligus kami lihat setelah bus antar kota antar negara dari Sorya Trans kembali melaju melanjutkan perjalanan menuju Phnom Penh, Ibu Kota Kamboja.

Semua proses panjang yang kami lalui di check poin (mulai dari turun dari bus, masuk ke imigrasi Vietnam, antri, dak dok dak dok paspor kami dicap petugas dan kami dinyatakan telah keluar dari Vietnam kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke check point di Kamboja utk mendapat izin masuk, antri lagi, masih ditambah kami harus mengisi berlembar-lembar formulir yang berisi riwayat kesehatan kami sekaligus melewati semacam metal detector tapi alat tersebut men-scan panas tubuh kami,lalu dak dok-dak dok lagi paspor kami dicap lagi kali ini oleh petugas imigrasi Kamboja sekaligus mendapatkan visa on arrival, dan berakhir dengan mencari dimana bus tadi parkir ya?) rasanya terbayar sudah begitu bus kembali melanjutkan perjalanan memasuki Kamboja. Pemandangan tanah gersang, kering dan berdebu langsung menyergap mata. Pemandangan Phnom Penh yang jadul banget membuat kami berasa dilemparkan melalui mesin waktu ke Indonesia pada tahun 1980-an. Tak ada gedung-gedung pencakar langit. Tak ada bangunan mal super megah. Sepeda motor yang lalu lalang bukan keluaran terbaru. Tapi uniknya di tengah-tengah suasana kota yang terlihat tak makmur itu kami justru melihat mobil-mobil double cabin dan Lexus berseliweran dan bahkan mendominasi jalanan. Bus terus melaju menuju Siem Reap. Kami tertidur, terbangun, tertidur, terbangun… di antara aktivitas itulah kami mencoba menyerap sebanyak mungkin pengalaman berada di negeri orang.

Saat tiba di Siem Reap, hari telah gelap. Terminal bus ternyata berada di luar kota dan tak ada angkutanumum sama sekali. Untunglah pihak hotel menyediakan fasilitas penjemputan untuk kami (jangan membayangkan mobil minivan yang datang menjemput kami, melainkan kendaraan serupa tuk tuk). Setiba di hotel, inginnya sih segera tidur sebab esok harus bangun pagi-pagi bener untuk mengejar sunrise di Angkor Wat. Ternyata, sama seperti cewek-cewek pada umumnya kalo sudah ngumpul yang ada malah ngerumpi, begitu pula dengan kami. Kami ngobrol sampai pukul 01.00 waktu setempat. Akhirnya kami putuskan untuk segera tidur sebab kami harus berangkat ke Angkor Wat pukul 04.00!

Meski tidur sebentar, kami bisa bangun pagiii bener. Setelah mandi dan makan ala kadarnya, kami memanggil tuk tuk dan segera cabut ke Angkor Wat. Hari masih gelap. Tapi ternyata kami tak sendiri. Puluhan wisatawan dari ras Kaukasia terlihat melakukan aktivitas serupa kami : naik tuk tuk menuju ke satu tujuan yaitu Angkor Wat. Ah, saya jadi inget Bromo… Saya harus berangkat pagi-pagiiii bener agar bisa menikmati sunrise di Bromo.

Setiba di Angkor Wat, kami beli tiket. Uniknya kami diminta berpose di depan kamera terlebih dulu dan ternyata foto diri kami tersebut dicetak di tiket masuk. Benar-benar suvenir yang unik untuk dibawa pulang! Setelah mendapatkan tiket, kami pun masuk. Oleh pengelola kami diarahkan ke salah satu sudut candi. Katanya sih di lokasi tersebut merupakan lokasi terbaik untuk menikmati sunrise. Katanya saat matahari terbit di balik candi, bayangan candi akan terpantul indah di kolam di depan kami. Oya? Di tempat itu, tepat di depan kolam, telah tertata rapi kursi-kursi… plus puluhan tripod milik pengunjung! Doooo segitunya ya? Kami sedikit ketir-ketir juga bisa enggak menikmati sunrise secara maksimal, mengingat kami tak membawa tele sepanjang belalai gajah seperti milik para turis asing itu (niat banget ya), kedua postur tubuh kami terhitung mini. Bayangan kami harus bersaing dengan tubuh-tubuh bongsor turis-turis bule membuat kami ngeper duluan. Di benak kami, pasti akan terjadi kerumunan massa super padat dan kami harus rela hanya melihat… punggung!

Ternyata kekhawatiran kami tak menjadi kenyataan. Pengunjung Angkor Wat yang didominasi turis asing/bule duduk dan berdiri dengan tertib. Tidak ada aksi uyel-uyelan dan saling dorong. Ternyata lagi, kami semua pagi itu tak beruntung! Sang Mentari pagi tak mau menampakkan diri lantaran terhalang mendung. Aduh! Jadilah, foto Angkor Wat saat fajar merekah terlihat sedikit buram karena tak ada sunrise. Tak apalah.

Sebetulnya, dibandingkan Candi Borobudur, Angkor Wat terlihat biasa-biasa aja. Pertama, sudah banyak bagian candi yang runtuh. Kedua, relief yang terpahat di batu-batu candi juga tidak sekaya Borobudur. Tak ada cerita yang bisa diikuti (atau saya yang tidak tahu aja karena kebetulan tak ada pemandu wisata yang bisa ngejelasin ini itu ke kami). Saya hanya melihat relief dan patung apsara. Setelah puas ngubek Angkor Wat, kami menuju ke Bayon Temple. Berbeda dari Phnom Penh yang terkesan gersang dan kering, Siem Reap justru terliihat rindang karena banyak pohon besar tumbuh di kanan kiri jalan (sekali pun tanahnya juga terlihat tandus dan berdebu sama seperti di Phnom Penh). Suasana kotanya juga terlihat lebih tenang, sepi, lengang, mungkin karena bukan ibu kota yaa… Kami justru merasa lebih betah di Siem Reap.

Pohon-pohon raksasa, sulur-suluran akar yang membelit candi, dan kesunyian menenangkan, hanya terdengar gemerisik dedaunan ditiup angin seperti membawa saya masuk ke salah satu adegan Tomb Raider saat Lara Croft bertemu seorang gadis kecil… Saya setengah berharap melihat sesosok gadis kecil muncul dari balik sulur-suluran akar pohon yang entah berapa ratus tahun usianya itu dan menyerahkan sepotong bunga kamboja putih. Yah, Angkor Wat merupakan salah satu lokasi shooting Tomb Raider (kalo saya tak salah inget). Angelina Jolie pula yang secara tak langsung “membawa” langkah kaki-kaki kecil kami ke Kamboja, ke Angkor Wat. Di sekitar candi, banyak anak menjajakan suvenir. Mereka berkata “Five for One Dollar” Jadi cukup dengan USD1 Anda dapat lima barang (entah itu gantungan kunci atau magnet kulkas). Kaki-kaki kecil mereka tak beralas, beradu dengan tanah panas.O ya, transaksi di Kamboja bisa memakai mata uang lokal (riel Kamboja) maupun Dolar AS.

Di balik kemegahan dan keindahan Angkor Wat, pengunjung bisa dengan jelas melihat wajah kemiskinan di pelataran candinya. Kemiskinan ada dimana-mana, kemiskinan memaksa anak-anak ini turun ke jalan menjajakan suvenir. Anak-anak ini benar-benar menyentuh dan mengaduk-aduk sudut perikemanusiaan Anda yang terdalam. Saran saya saat mengunjungi Angkor Wat, tak usahlah memikirkan kemiskinan mereka, lalu ancaman kekerasan seksual, trafficking dan sebagainya terhadap anak-anak penjaja suvenir itu. Nikmatilah keindahan Angkor Wat secara apa adanya (dengan menafikkan pemandangan kemiskinan di sekitarnya)… hehe…

Apakah tulisan ini membantu ?

Astrid Prihatini Wisnu Dewi

i love travelling sooo much!

View all posts

Add comment