Soloensis

Filosofi Pertandingan dan Perlombaan

Bagi sebagian orang, sulit membedakan antara pertandingan dengan perlombaan. Terutama orang yang kurang suka dengan olahraga. Saat saya tanya istri dan anak saya, mereka bilang enggak ada beda antara pertandingan dan perlombaan. Sejatinya, keduanya sangat berbeda.

Pertandingan adalah kompetisi di mana antarpihak yang berkompetisi saling dihadap-hadapkan atau head to head. Contohnya, sepak bola, tinju, badminton, tenis, dan lainnya. Sedangkan perlombaan, pihak yang berkompetisi biasanya berdiri berjajar, tidak berhadap-hadapan.

Namun perbedaan yang paling subtansial dari pertandingan dan perlombaan ini adalah cara menjadi pemenang. Dalam sebuah pertandingan, pemenang diharuskan mengalahkan lawannya dengan memukul jatuh (tinju), menjebol gawang lawan sebanyak-banyaknya (sepak bola), atau memaksa lawan membuat kesalahan (badminton, tenis).

Sementara dalam sebuah perlombaan, untuk bisa jadi pemenang, peserta harus bisa menjadi yang terbaik (senam), tertinggi (lompat tinggi), tercepat (lari, balapan), terkuat (angkat besi), tanpa harus mengalahkan lawan secara langsung.

Filosofi perlombaan dan pertandingan ini menarik jika kita bawa dalam spektrum yang lain. Misalnya dalam dunia kerja. Persaingan sudah hal lumrah kita jumpai dalam dunia kerja pada umumnya. Antarkaryawan saling berkompetisi untuk bisa naik jabatan, mendapat tempat di mata atasan, atau hal lain yang memberikan keuntungan lebih bagi si karyawan.

Kompetisi sebenarnya diperlukan untuk membentuk seseorang menjadi lebih baik dan tahan banting. Dengan persaingan, maka orang akan berupaya menjadi yang terbaik dengan selalu mengaktualisasi diri. Kekalahan akan menempa seseorang menjadi pribadi yang tangguh, tahan banting, tak mudah menyerah, mau berintrospeksi.

Kompetisi akan menjadi sesuatu yang positif jika dilakukan dengan metode perlombaan, bukan pertandingan. Kita bersaing menjadi yang terbaik tanpa harus menjatuhkan lawan kita, tanpa harus mencari cara agar lawan terpuruk. Perlombaan memaksa kita fokus pada kemampuan diri kita sendiri. Sudahkah kita lebih baik daripada kompetitor?

Sebaliknya, jika kita menempatkan kompetisi sebagai sebuah pertandingan, maka kita akan lebih fokus pada kompetitor yang kita anggap musuh. Segala yang dilakukan lawan membuat kita cemas, sementara kita lupa meningkatkan kapasitas diri. Ini karena orientasi kita adalah mengalahkan musuh dengan cara menjatuhkannya.

Filosofi perlombaan ini juga sebenarnya sudah disinggung dalam Alquran. Dalam surat Al Baqarah ayat 148 yang artinya ”Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan…”. Allah menggunakan kata ”berlomba-lombalah” bukan ”bertandinglah”.

Filosofi berlomba dan bertanding ini juga bisa kita bawa dalam konsep berumah tangga. Dalam sebuah perdebatan antara suami-istri karena ketidakcocokan atas suatu hal, posisi menentukan hasil. Jika suami istri menjadikan perdebatan sebagai ajang pertandingan pemikiran atau ego, biasanya mereka akan berposisi saling berhadap-hadapan. Dari Di situ akan ada kontak mata, dari segi psikologis, berdebat dengan posisi seperti ini biasanya emosi mudah tersulut. Biasanya berujung tanpa solusi karena keduanya ingin saling menang sendiri.

Akan berbeda jika perdebatan itu kita anggap sebagai sebuah perlombaan siapa yang benar dengan duduk berdampingan berjajar. Efek psikologis dari posisi ini adalah keduanya tak sedang bertanding. Rasa yang muncul justru saling menghargai, menjaga, menemani, dan melindungi tanpa merasa harus saling menjatuhkan. Solusi mudah dicapai.

Dalam spektrum yang jauh lebih luas, hidup adalah arena kompetisi. Apakah kompetisi ini akan kita bawa sebagai pertandingan atau perlombaan? Terserah masing-masing.

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment