Soloensis

Mencintai Pendidikan atau Kampus?

Membaca tulisan Doni Wahyu Prabowo di Solopos di rubrik Mimbar Mahasiswa pada Selasa, 8 Maret 2016, membuat saya termenung dan bimbang. Mengingat kampus saya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta berada di pinggir sawah, panas, tidak populer dan belum mendapat banyak prestasi yang bisa dibanggakan.

Dari kejauhan saya menatap sambil membayangkan. Seandainya saya kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) tempat Doni menuntut ilmu. Tentu saya dapat bertemu dengan ribuan mahasiswa yang cantik dan tampan, dan saya akan turut menceritakan kepada masyarakat bahwa kampus saya telah mencapai banyak prestasi, akreditasi bagus, termasuk kampus terbaik di Indonesia dan sebentar lagi akan mengejar target 500 kampus terbaik di dunia.

Namun sayang, saya tidak kuliah di UNS, saya hanya kuliah di pinggiran desa di Pucangan, di tempat yang bakul koran pun enggan berjualan di depan pintu gerbang kampusku, apalagi bakul buku, sangat “tidak” mungkin.

Tulisan Doni tersebut berjudul Mencintai Kampus, Memajukan Pendidikan. Sebenarnya dari judul saja saya dibuat bingung dengan logika yang digunakan Doni, sebab saya merasa logika tersebut berbanding terbalik dengan logika berfikir saya selama ini. Akhirnya judul itu saya baca berulang kali sampai benar-bernar mengerti maksudanya, karena saya takut, otak saya lagi tidak beres atau Donilah yang lagi khilaf, entahlah.

Di sini saya cuma bingung, bagaimana mahasiswa harus mencintai kampus terlebih dahulu, baru dapat memajukan pendidikan, sedangkan selama ini saya diajari mencintai pendidikan (belajar ilmu pengetahuan dengan rajin dan tekun) maka tanpa diminta mahasiswa tersebut turut serta memajukan atau mengkiritsi kampus atau institusi pendidikan dimana ia menimba ilmu.

Mungkin, lebih sederhannya saya jabarkan seperti ini: “Janganlah kita melihat kampus, tapi lihatlah diri kita atau tubuh kita”. Kalaupun kampus terakreditasi A, terbaik se-Indonesia atau bahkan sedunia versi semua lembaga survei, tapi diri kita tidak belajar dan berjihad melawan kebodohan dengan membaca, menulis, berlatih dan berdiskusi, maka prestasi yang dicapai perguruan tinggi hanya menjadi ilusi dan nihil, dan tidak berarti apa-apa terhadap diri kita sebagai mahasiswa atau bahkan sebagai manusia.

Saya teringat buku kecil garapan Arief Budiman yang berjudul Pengalaman Belajar di Amerika Serikat (1982) yang menceritakan kisah saat ia kuliah di Harvard Univercity. Arif Budiman saat mendaftar dan mendapat beasasiswa sudah sadar bahwa kampusnya saat itu merupakan kampus terbaik di Amerika bahkan dunia. Arief Budiman disitu tidak lantas merasa “sombong dan bangga” terhadap kampus yang menerimanya untuk belajar.

Arief Budiman sadar dirinya bahwa ia bukan siapa-siapa di kampus yang megah dan terkenal tersebut, jika ia tidak belajar dengan rajin dan tekun. Mangkanya saat ia menyadari dirinya kurang begitu paham tentang berbagai istilah dalam bidang psikologi dan beberapa dasar filsafat, ia langsung memutuskan untuk setiap hari berdiam diri membaca buku di perpustakaan dari pagi sampai jam 09.00 malam.

Dari Arief Budiman kita menjadi mengerti bahwa bisa saja kampus bagus dan terkenal dalam sistem pendidikan dan pembelajaran, tapi tidak dengan tubuh dan otak kita, mangkanya Arief Budiman belajar dengan giat, mengikut kursus-kursus melibatkan diri dengan dialog antar mahasiswa, bertemu dosen asing atau peneliti, menulis makalah panjang, terus membaca, dan menjelajahi berbagai perpustakaan di Amerika.

Begitu juga yang dialami oleh Muhidin M Dahlan dalam buku Jalan Sunyi Seorang Penulis (2005), Muhidin mengerti bahwa Jogjakarta kota pelajar, tapi ia tak langsung berbangga-ria karena mendapat restu dari orangtuanya untuk merantau ke Jogjakarta. Di Jogjakarta, lelaki yang biasa disapa Gus Muh tersebut sudah sadar banyak toko buku, dan bahkan tugu kebanggaan Jogjakarta menjadikan pulpen sebagai simbol di ujungnya, sebagai pengesahan identitas Jogjakarta sebagai kota pelajar.

Tapi Gus Muh tidak terlena terhadap istilah dan simbol, Gus Muh tetap giat belajar, ia bertaruh lapar dan terasing dari teman-temannya untuk membaca buku dan membeli perangko agar tulisannya lekas dikirim dan dimuat di koran. Ia juga jarang masuk kelas untuk mendengarkan khotbah dari dosen, dan hal itu yang membuat dirinya tidak lulus walaun sudah berpindah jurusan dan kampus. Akhirnya Gus Muh tidak mempunyai almamater bernama kampus, tapi mempunyai ratusan buku untuk bekal belajarnya dan menghasilkan ratusan tulisan.

Jogjakarta dan Kampus tidak dianggap sebagai dewa pendidik ampuh, maka Gus Muh tetap menekuni membaca, menulis dan berdiskusi. Tak ayal jika sampai sekarang kita bisa membaca berbagai macam tulisannya di berbagai koran, majalah, dan tentu saja tidak lupa terhadap 13 judul buku yang telah dihasilkan dari kerja intelektulaya, buku-buku tersebut tidak hanya esai atau resensi, tapi juga cerpen dan puisi serta penelitian.

Buku yang dihasilkan Gus Muh menjadi bukti kecintaannya kepada pendidikan bukan kepada kampus, karena cinta kepada kampus akan mencipta fanatisme belaka. Kecintaan pada pendidikan itu bisa bersemi di mana saja dan kapan saja. Karena ketika cinta kepada pendidikan atau ilmu pengetahuan itu tumbuh maka pendidikan akan terus di cari sampai liang lahat, tapi tidak dengan kampus. Logikanya, keluar dari kampus kita tidak akan belajar lagi.

Apakah tulisan ini membantu ?

Ach.Fitri

Mahasiswa Akidah Filsafat IAIN Surakarta, Santri Bilik Literasi solo, Suka mengobrol buku di Serambi Masjid Imam Bukhori

View all posts

Add comment