Soloensis

Ah…Kalau Jodoh, Tak Akan Kemana…*)

“Kehidupan bukanlah apa yang seseorang jalani, melainkan apa yang ia kenang dan bagaimana mengisahkannya” (Gabriel Garcia Marquez, Jalan Hidupku sebagai Juru Kisah, 2012)

***
Jarum jam belum menunjukkan pukul 10.00. Guru Bahasa Indonesia di SMAku berdiri mengumumkan cerpen terbaik. Konon cerpen istimewa terpilih nantinya akan dikirim ke SOLOPOS. Kala itu aku menduga bahwa SOLOPOS adalah anak cabang dari PT. Post Indonesia yang berlokasi di Solo. Selepas jam pelajaran, aku pun bertanya “dibawa ke SOLOPOS untuk dikirim ke mana, Pak?”. Sontak saja teman-teman yang mendengar pertanyaanku tertawa. Ternyata aku gagal paham. Ah…. kenangan “buruk” itu ternyata membawa nasib mujur di kemudian hari.

***
2003, Boyolali diguyur hujan deras. Mendapatkan tugas sekolah untuk mencari artikel di koran, selalu menjadi petaka bagiku. Koran tak ubahnya semacam benda asing yang di bawa alien dari luar angkasa. Hanya keluarga terpilihlah yang memilikinya. Sayangnya keluargaku tidak termasuk di dalamnya. Memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan selalu menjadi urutan nomor wahid. Urusan membeli buku bacaan apalagi berlangganan koran, akan menjadi keganjilan yang pantas dipertanyakan.

Maka pilihan satu-satunya untuk menyelesaikan tugas itu adalah menerjang guyuran hujan menuju desa sebelah. Menemui pak RW, berharap ada koran bekas yang bisa diminta. Sepertinya saat itulah pertama kali aku melihat wujud cetak dari koran SOLOPOS.

***
Ah… kalau jodoh tak akan ke mana. Sekitar tiga bulan kemudian temanku yang gemar membaca buku-buku cerpen dan novel di perpusatakaan (bahkan merelakan uang sakunya untuk membeli novel) mengabarkan bahwa cerpennya dimuat di SOLOPOS. Beberapa hari kemudian akupun mendapat anugerah, diberi satu lembar fotocopy koran SOLOPOS yang berisi cerpennya. Ah…syahdu…..

***
2012. Aku bertemu dengan seseorang yang sangat istimewa. Budiawan Dwi Santoso namanya. Ia karyawan baru. Saat jam istirahat menjadi waktu yang selalu ku tunggu. Sambil makan siang, ia akan bercerita banyak tentang buku-buku yang telah dibaca. Mengisahkan betapa asiknya membaca buku dan menulis di koran. Beberapa kali juga memberiku koran SOLOPOS dan mendo’akan kelak tulisanku akan muncul di sana.

Ia juga berkisah tentang seseorang yang sangat istimewa bernama Mas Kabut alias Bandung Mawardi. Berharap kelak aku bisa ikut berkumpul dan ngobrol bareng dengannya di Bilik Literasi. Dan satu lagi ia selalu memberiku edaran terbaru “ORA WERUH” yang kini telah terbit menjadi buku kumpulan esai berujudul Ora Weruh, Tulisan dan Tulisan (2015).

Bahkan sekali dua kali ia juga mengajakku ikut mengisi dua majalah yang ia kelola, Papirus dan Ora Weruh. Aku pun menyanggupi dengan satu syarat ia bersedia menjadi “mentor”ku. Sejak saat itulah, untuk pertama kalinya aku merasakan betapa syahdunya membaca buku, menulis, dan berkisah.

Sayang pertemuanku denganya tidak sampai seumur jagung. Aku merasa ia adalah “utusan Tuhan”, yang ditugaskan khusus untuk singgah menemuiku, dan berpura-pura bekerja bersama-sama dengan misi utama: mengenalkanku tentang indahnya dunia literasi. Aku pun mendapat “hidayah”.

***
Sekian bulan tidak bertemu, tiba-tiba utusan Tuhan itu mengirim pesan singkat “Ayo ikut 3 hari berhuruf di Bilik Literasi”. Tanpa berfikir panjang, aku menyanggupi dengan risiko: ijin kerja 3 hari atau memotong jatah cuti tahunan 3 hari. Hari pertama membuatku takjub. Setumpuk koran dibagikan gratis. Lagi-lagi aku bertemu dengan SOLOPOS. Ah… kalau jodoh tak akan ke mana.

Tak menyangka dari sanalah (Bilik Literasi) aku bertemu penulis-penulis muda ampuh dan sebagian besar dari mereka sering muncul di koran: M. Fauzi Sukri, Priyadi, Arif Saifudin Yudistira, Bisri Nurhadi, Maulana, Setyaningsih, Mutimmatun Nadhifah, Kalis Mardiasih, Muhammad Milkhan, Ngadiyo, Gawang, Beyrul, Dhias, Tipu Muslihat, Lukas Jono, Uun Nurcahyanti, Heri Priyatmo, Gunawan Tri Atmojo, Desinta, Nimas Dara, Abdur Rohman, Puitri Hati Ningsih, Saeful Achyar, Lasinta, dan terus bertambah tanpa kuasa bisa kucatat semuanya. Diantara batu-batu ada berlian dan emas. Diantara semua teman-teman ada dua orang istimewa (menurutku) yang sengaja di utus Tuhan untuk mencerahkanku: Bandung Mawardi dan Budiawan Dwi Santosa.

Jika di atas “siswa” ada “Mahasiswa”, maka diantara para guru (yang aku temui) aku menemukan “Mahaguru”: Bandung Mawardi-lah orangnya. Pesan beliau kala itu: “Tidak lama lagi tulisanmu akan muncul di SOLOPOS. Sing sregep moco – nulis”.

***
Mei 2013. Saat di mana esaiku menyapa pembaca SOLOPOS lewat gagasan (opini) untuk pertama kalinya. Hari bersejarah yang akan kusimpan di “memori inti”, merujuk film Inside Out (2015). Setelah sekian kali esai waguku muncul di gagasan SOLOPOS, teman-teman di Bilik Literasi menggodaku untuk mencoba menulis resensi. Tak menyangka sang utusan Tuhan: Budiawan Dwi Santoso juga menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Sekejab (2013). Aku pun memilih beberapa buku baru termasuk bukunya untuk diresensi. Ternyata SOLOPOS berbaik hati memuat salah satu resensiku. Dan tak menyangka, resensi yang dipilih jatuh pada buku Sekejab milik sang utusan Tuhan. Ah…. Kalau jodoh memang tak akan kemana…..

***
2014-2015. Melihat kiprah SOLOPOS yang terus memberikan ruang bagi penulis dan pembaca, aku teringat sabda Nabi: Barang siapa bersedia menjadi jalan seorang hamba menemukan jodohnya, maka Allah akan menyediakan bangunan megah di syurga.

18 tahun SOLOPOS telah merelakan dirinya menjadi jalan: beratus-ratus (bahkan mungkin ribuan) tulisan berjodoh dengan pembacanya. Ah…. Akankan kita bertemu SOLOPOS di syurga nanti? 😉 Entahlah……

*) Dwi Supriyadi
Santri Bilik Literasi Solo

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment