Soloensis

SOLOPOS, MEMBENTUK DINAMIKA HIDUPKU

Pagi-pagi sekali aku harus terbangun, melaksanakan shalat shubuh, menyapu halaman, mencuci baju, mencuci piring, menyapu lantai, hingga membaca buku kembali. Sebagai seorang penulis aku harus melihat koran-koran edisi minggu ini. Siapa tahu ada cerpen atau puisiku yang dimuat. Satu hal yang selalu membuat aku deg-degan adalah Koran Solopos. Tapi akhirnya, akh biasa saja. Cerpen maupun puisiku di halaman Jeda belum ada yang dimuat disana. Setelah membeli Koran Solopos dan koran-koran lain di Lapak Joglosemar, dekat penjual bunga, di sekitar tugu, dan di sepanjang rel dekat Alun-alun Sragen, aku langsung pergi ke Perpusda Sragen untuk melaksanakan kegiatan mengisi acara workshop bertemakan “Tujuh Langkah Menulis Bersama Catur Hari Mukti”.

Aku ingin selalu mengembangkan apa yang menjadi potensi diriku, aku berusaha mencari pengalaman demi pengalaman dalam hidupku. Karena aku tahu masa mudaku hanya akan datang sekali seumur hidupku. Kelak, apa yang akan aku tulis, apa yang akan aku baca, dan apa yang akan aku kerjakan ingin kuterapkan dalam keluargaku dan untuk membangun Kota Sragen kelak.

Ngomong-ngomong, kenapa sih guru SMK dan teman-teman SMK-ku selalu mengatakan aku sebagai pemuda yang nasionalis. itu karena aku selalu membaca Koran Solopos. Yah, Solopos memang sebuah media segar yang mencoba memajukan dan membantu jalan pikiran pembaca lewat pembangunan dinamika masyarakatnya. Aku mendapat karakter seperti ini karena aku selalu membaca Koran Solopos, memiliki rasa simpati dengan Kota Solo, dan memiliki role model yang selalu kutiru setiap prestasi, kebaikan, dan dedikasinya, selalu dan selalu. Yaitu Puitri Hati Ningsih, salah satu penyair dan cerpenis Solo yang pernah menjadi juri saat Solopos mengadakan lomba menulis cerpen solopos dalam rangka ultah ke 14. Aku sudah memiliki ketertarikan sekilas menatap namanya di pengumuman lomba edisi Solopos tersebut.

Aku pernah mengikuti acara itu walau kalah. Saat itu aku belum menjadi seorang cerpenis. pengenalanaku terhadap cerpen adalah membaca karya-karya penulis yang terkenal, di media, atau searching di google. Aku baru menjadi penyair kecil yang karyaku selalu menghiasi Koran Solopos edisi minggu, dalam rubik Sajak Remaja.

Aku langsung searching facebook Puitri Hati Ningsih. Ternyata beliau adalah salah satu pengiat di Buletin Sastra Pawon, buletin terkenal di Kota Solo. Aku mengenal Buletin Sastra Pawon dari perkenalanku dengan Mbak Puitri Hati Ningsih waktu itu.
Mbak Puitri adalah sastrawan yang grapyak, kata-katanya selalu manis, suka bergaul, dari balik usahanya yang sederhana terpancar karisma dan dedikasi seni yang luar biasa. Beliau juga suka membantu. Yang paling membuat karakter tertanam dalam diriku adalah, Mbak Puitri itu mencintai Solo banget. Aku sering SMS’an dan tanya seputar dunia kepenulisan tentang beliau, setelah aku lama add facebook-nya. Di facebook-nya juga sering upload foto tentang beliau berkunjung ke Radya Pusataka, berpakaian abdi dalem di Keraton Surakarta, mengisi acara sastra di Balai Soedjatmoko Solo, baca puisi di TBJT, dan arisan dengan keluarganya di salah satu rumah makan di Kota Solo. Kadang beliau juga update status “Di Gladag ada kirab, aku muter-muter pake matic, lalu pergi ke Gramedia” atau juga, saat Buletin Sastra Pawon ultah, beliau menulis status di fecebook Pawon “sabar ya. lagi mau beli lombok, brambang, beras, kunir, buat bancaanmu….” dan lagi yang baru-baru ini, “Plethak plethok suara kembang api pembukaan hotel yang dulu Faroka, terdengar jelas dari rumah..banyak hotel berdiri dikeluhkan pemilik hotel kecil”

Ada hal yang meresap dalam hatiku. Beliau begitu mencintai daerahnya, kota Solo-nya tercinta. Seharusnya, aku juga harus mencintai daerahku. aku harus memiliki cita-cita yang tinggi untuk kotaku tercinta, kota yang sepanjang hidup akan menjadi sejarah dan memiliki peradaban, apa yang kurasakan, apa yang kuusahakan, apa yang aku perjuangankan, semua yang akan kembali pada asal-usul dan jati diri, hendak kemana dan untuk apa, yaitu Kota Sragen. Aku selalu ingin menjadi pemuda yang mensyukuri hidup, bukan mencari kesempatan namun menciptakan kesempatan, menjadi pemuda yang ingin menuangkan kekritisannya untuk kota tercinta, pemuda yang ingin selalu berkarya, memiliki kepedulian sosial yang tinggi, menghormati orangtua, selalu basa terhadap siapa saja, dan selalu mengembangkan apa yang kurasa menjadi belum tentu menjadi nilai kelebihan orang lain namun menjadi nilai kelebihan dalam diriku. Karena semua itu adalah sifat-sifat Mbak Puitri.

Jika Mbak Puitri adalah perempuan yang grapyak, berani, senang membantu siapa saja, memiliki penghayatan yang tinggi, basa dengan orang yang lebih tua, hobi masak, hobi arisan, hobi rewang, seperti ciri khas Putri Solo. Kadang aku berpikir, aku seharusnya menjadi laki-laki yang aktif, berpendirian teguh, pandai bergaul, rajin berkarya, bertanggung-jawab, kreatifitas tinggi, sabar dan berpikir panjang dalam menjalankan apapun, rajin pergi ke sawah, menjemur gabah, membuat kursi dan meja untuk ditaruh di ruang tamu, serta membenarkan genting yang bocor di kala hujan. Padahal sebagai seorang penulis yang hanya menulis dan menulis lalu membaca—mencari referensi lain, pergi ke even-even sastra, aku adalah anak yang pendiam, melakukan kegiatan menulis dan bergaul dengan orang-orang itu saja.
Aku juga berkata, jika koran favoritku adalah Solopos. Setiap aku pergi ke Perpusda untuk sekian banyak melaksanakan kegiatan komunitas remaja dan mengisi acara kepenulisan di sana, selalu yang kuincar Koran Solopos. Selalu aku berkata “Mbak. Koran Soloposnya mana? Kok nggak ada di rak koran sih hari ini” pada salah satu receptionis yang paling cantik. Mbak receptionis itu selalu mondar-mandir mencari Koran Solopos buatku. Memang, tak salah Solopos menjadi the best java newspaper. Lha yang membaca emang banyak kok. Kadang, di Perpusda, agar di sana aku bisa leluasa bermain komputer yang selalu berebut, aku juga membawa dan menyembunyikan Koran Solopos. Tapi, lebih baik nggak main komputer di Perpusda deh, daripada nggak baca koran Solopos. Rubik Solopos selalu baru, bagus, fresh dibaca, membangun, dan ada nilai-nilai estetik yang mengajak untuk berkreativitas. Selain berita Sragen, rubik yang bagus dan kuminati lain adalah Humaniora. Bagus untuk mendorong mental serta menjernihkan pengetahuan kaum pemuda.

Kapanpun dan dengan alasan apapun, aku selalu mengimpikan aku bisa menjadikan Sragen sebagai kota yang sakral, spiritualis, dan kulturalis seperti kota Solo. Semua akan kulakukan, akan kupendam tekad, akan kukejar harap, akan kucobakan mampu dijatidirikan dalam masyarakat. Solopos adalah cermin dari pemikiran-pemikiran intelejen Wong Solo. Setiap kali aku melangkah aku akan selalu mempertimbangkan, apakah yang kulakukan ini pernah dilakukan oleh Mbak Puitri Hati Ningsih? Aku terlanjur terinspirasi dengan Mbak Puitri Hati Ningsih. Begitu puitis Tuhan. Entah kenapa Tuhan mempertemukanku dengan cara seperti ini. Sebagai role model bagiku, bagaimana prestasinya, bagaimana hal-hal baru darinya selalu aku tiru, ungguh-ungguhnya, cita-cita dalam dirinya, kedamaian dalam menulis sastra, dan selalu memenang prinsip “Aku wong Solo”, adalah diriku. Beliau selalu memberikanku dorongan karya dan semangat kata-kata dari dalam hati untuk mencintai, merawat, menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan Kota Sragen.
Sekarang, aku menempuh kuliah di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Aku mengambil progam studi bahasa Indonesia. Setiap jam senggang perkuliahan, aku selalu pergi ke perpustakaan Univet-ku. Disana saat mencari Koran Solopos, Koran yang paling kuburu, selalu bersembunyi di ruang sekretariatan.
Saat aku pura-pura melihat di sana, tiba-tiba Pak perpustakaannya datang “Mas, nyari apa?”. Aku hanya menggeleng-geleng, pergi, dan dari kejauhan menatap Koran Solopos yang tersenyum di meja ruang sekretariatan itu.
Selalu begitu yang kualami. Setiap hari koran yang paling sulit kutemui adalah Solopos.

Andai jika aku sudah bekerja, aku ingin berlangganan Koran Solopos. Andai jika aku sudah dewasa dan memiliki SIM, aku ingin pergi kemana-mana terutama, melihat even-even Kota Solo dan mengunjungi acara-acara di komunitas sastra Pawon milik Mbak Puitri Hati Ningsih. Setiap aku membuat acara di Perpusda, aku selalu mengambil konsep acara seperti acara-acara besar di Solo. Dan tetap membingkai acaraku di Sragen dengan destinasi dan kekayaan kebudayaan di Sragen. Acaraku di perpusda “Tujuh Langkah Menulis Bersama Catur Hari Mukti” terinspirasi dari “Bincang Lalita dan Tujuh Langkah Menulis Bersama Ayu Utami” di Solo lho! Bertepat di Gedung lantai bawah Gramedia: Balai Soedjatmoko Solo. Sehari sebelumnya aku membaca berita itu di Solopos dan seminggunya aku sudah melihat berita di facebook Buletin Sastra Pawon  .

Inilah mimpiku, kreasi-kreasiku, nafas, dan gerak langkahku, aku berjalan pada sebuah jalan yang selalu kuiringi dengan doa, baca, dan menganalisa. Aku ingin membangun kotaku dengan apa yang kumiliki. Inilah dinamika yang selalu kutanamkan dalam diriku. No were result betrayed business. Thank you Solopos. You are my the best referention

Sragen, 7 November 2015
17.09

Apakah tulisan ini membantu ?

Caturharimukti

penulis, aktivis gender, budayawan, dan pemain teater

View all posts

Add comment