Soloensis

BUKAN CELANA CINGKRANG

TERNYATA BUKAN CELANA CINGKRANG…
Jarum jam menunjuk angka 16.16 WIB saat mata saya terantuk pada foto-foto di situs tempo.co, Kamis (14/1) lalu. Saya langsung tertegun. Di situs tersebut terpampang rangkaian foto pelaku teror di kawasan Sarinah, Jakarta beberapa jam sebelumnya.
Wartawan foto Tempo, Aditia Noviansyah, mendapat “keberuntungan langka”. Ia berada di tempat dan waktu yang tepat, saat terjadi aksi barbar sekelompok orang atas nama keyakinan yang mereka anut. Sebagai sesama pekerja media, saya sadar benar tidak banyak yang mendapat “keberuntungan” seperti itu, sehingga karya jurnalistiknya bakal menjadi fakta sejarah yang diingat orang hingga puluhan tahun mendatang.
Entah bagaimana reaksi emosi Aditia kala melihat fakta langka itu. Yang jelas, ia bisa merekam dua pelaku yang datang dari kerumunan massa, menyangklong tas ransel, memakai kaus tangan dan bertopi, mengacungkan pistol hingga kemudian menembak polisi. Seluruh kejadian terekam dalam sebelas foto hasil jepretan Aditia.
(Saya kutip dari situs tempo.co): Di foto pertama, seorang lelaki berwajah Indonesia mengenakan pakaian hitam, topi merek sepatu Nike, dan tas punggung berdiri di Jalan Thamrin arah Bundaran Hotel Indonesia. Lelaki bertopi Nike itu terlihat bersama seseorang yang mengenakan pakaian biru dan rompi hitam. Lelaki itu juga memakai tas punggung.
Pada foto kedua terlihat lelaki itu mengacungkan pistol ke arah dua polisi lalu lintas yang berusaha menyelamatkan diri. Foto ketiga, kerumunan orang pecah, awalnya menghadap ke arah pos polisi, berbalik badan menghadap ke arah pelaku. Terlihat seseorang berkaus hitam tergeletak di jalan. Foto keempat, di tengah perempatan Jl. Thamrin seorang polisi terlihat memegang sabuk di pinggang kanan. Lelaki bertopi menggenggam pistol berjalan ke arah mobil polisi yang sedang terparkir di tengah jalan. Adapun lelaki dengan pakaian biru berbaur dengan kerumunan warga.
Aksi para pelaku berikutnya adalah lelaki berbaju hitam, bercelana jin biru, dan memakai topi Nike mengacungkan pistol ke arah mobil polisi yang terparkir di tengah jalan. Polisi itu terlihat diam sementara jarak lelaki itu cukup dekat. Dua adegan ini terlihat pada foto kelima dan enam. Lalu terlihat pelaku berkaus biru dengan tas punggung mengacungkan pistol ke arah polisi yang mengenakan helm. Polisi yang sempat hendak mengambil pistol terlihat berdiri di depan orang yang tergeletak di tengah kotak kuning Jalan Thamrin. Di hadapannya, polisi yang menggunakan helm sedang ditodong dengan pistol.
Dua sesi terakhir foto itu menunjukkan adegan polisi ditodong pistol oleh pelaku berbaju biru terlihat memegang perut. Di belakangnya, berdiri pelaku. Sementara itu, polisi yang berada di kotak kuning Jalan Thamrin berdiri menyaksikan.
Satu jam setelah foto-foto di tempo.co itu, beberapa rekaman amatir milik warga bermunculan di akun berbagi Youtube. Dalam video yang diunggah akun Info Indonesia, dua pelaku berada di depan Starbucks sedang baku tembak dengan polisi di seberang jalan. Perekam menge-zoom kedua pelaku. Mengejutkan. Pelaku yang berkaus hitam mondar-mandir dengan sangat tenang sembari mengisi magazin, berjalan hilir mudik dengan posisi berdiri tegap. Ekspresinya sangat tenang. Ia bahkan tidak terlihat menunduk, seolah tahu ke arah mana peluru-peluru polisi meluncur. Sementara di seberang jalan, sekitar tujuh polisi berlindung di balik dua mobil sembari membalas menembak ke arah kedua pelaku. Persis adegan film yang selama ini kita tonton.
Di video lain yang diambil dari posisi berseberangan dengan Starbucks—terlihat jelas kedua pelaku yang berada di sisi kiri mobil Sirion putih. Melihat suasananya, baku tembak sudah reda. Polisi di seberang jalan sudah menyingkir diganti belasan polisi yang mencoba menyergap dari arah belakang kedua pelaku.
Inilah adegan paling mendebarkan. Dari sudut ini terlihat sangat jelas detik-detik ketika bom kedua pelaku meledak—tidak jelas apakah meledak karena diledakkan sebagai bentuk aksi bunuh diri atau meledak secara tidak sengaja. Yang pasti, sebelum bom meledak kedua pelaku terlihat berkomunikasi satu sama lain. Yang berbaju biru dalam posisi duduk selonjor—seorang kawan menyebut yang ini duduk karena sudah tertembak kakinya– sedangkan yang berkaus hitam berdiri sambil sesekali menembak ke arah polisi yang ada di sisi kanan Starbucks. Kedua pelaku saling toleh berulang kali sebelum kemudian bom meledak dahsyat.
Ternyata pelaku tidak meninggal seketika dari ledakan bom tersebut. Di video lain terlihat, polisi berbaju putih-putih berjingkat menunduk ke arah kedua pelaku yang sudah terkapar tapi masih bergerak. Polisi tersebut lantas menembak berulang kali ke arah kedua pelaku. Sesaat kemudian pelaku tak bergerak lagi.
“Siaran langsung” bak adegan film ini seolah tanpa sengaja menjawab banyak pertanyaan selama ini tentang berbagai penggerebekan polisi terhadap orang-orang yang terduga sebagai pelaku teror. Tak dimungkiri, banyak yang menyangsikan kebenaran versi polisi. Sebagian bahkan menuding penggerebekan demi penggerebekan itu adalah “kerjaan polisi” yang ujung-ujungnya terkait dengan anggaran keamanan yang jumlahnya tidak sedikit. “Jika tidak ada proyek bagaimana ada uang,” demikian kira-kira suara minor yang kerap muncul.
Ketika pemberitaan masih berlangsung, di dunia maya kemarin bahkan langsung muncul suara nyinyir bahwa tragedi Sarinah adalah pengalihan isu kasus saham Freeport karena di saat yang sama perusahaan tambang Amerika Serikat itu tengah mengajukan proposal ke pemerintah perihal kelanjutan pengeboran emas di Papua. Karenanya, kedatangan Presiden Joko WIdodo ke lokasi bom beberapa jam kemudian juga disikapi nyinyir sebagian netizen—oleh netizen lain sebagian yang nyinyir ini dituding sebagai barisan sakit hati yang belum move on–. “Urusan beginian kenapa Kepala Negara sampai turun. Gak perlu gitu juga kale…Cukup serahkan saja ke petugas keamanan,” ini salah satu komentar yang muncul di tanggapan salah satu video di Youtube.
Dari sekian banyak angle peristiwa barbar ini, yang paling menarik bagi saya adalah ekspresi tenang kedua pelaku kala baku tembak dengan polisi. Sungguh saya tertegun. Mereka sangat-sangat tenang, kelewat tenang bahkan. Di saat polisi menunduk di balik dua mobil, kedua pelaku berjalan hilir mudik di depan Starbucks sembari mengisi amunisi. Tidak takut terkena peluru, tidak takut mati. Seolah mereka tahu ke arah mana peluru-peluru pak polisi itu berhamburan. Seolah mereka tahu tidak bakalan terkena peluru, padahal jarak baku tembak itu kurang dari 100 meter. “Benar-benar tidak takut mati,” kata Kapolsek Menteng AKBP Dedi Tabrani yang terlibat baku tembak dengan kedua pelaku teror, seperti dikutip dari detik.com.
Dan terbukti, hingga polisi-polisi itu menyingkir kedua pelaku tidak terkena tembakan. Mereka baru terkena peluru saat dalam posisi terkapar setelah bom yang mereka bawa meledak. Itu pun polisi menembak kedua pelaku dari jarak sekitar 10 meter. Sayang, di video detik-detik bom meledak, wajah kedua pelaku tidak di-zoom sehingga tidak terlihat jelas ekspresi wajah mereka kala ajal mendekat.
Luar biasa doktrin yang masuk ke pikiran mereka. Mungkin yang ada di pikiran mereka surga di depan mata. Apapun yang terjadi, mereka bakal mendapat balasan surga. Ah…begitu gampangnya kah mendapat surga? Bahkan dari jalan yang dalam kaca mata logika dan akal sehat tidak bisa diterima? Dari sisi kemanusiaan juga bertolak belakang? Begitukah ajaran Islam menurut mereka?
Jelas kami menolak. Jika boleh berandai-andai kira-kira bagaimana perasaan Rasulullah di alam sana jika tahu ada umatnya—yang mengatasnamakan perjuangan membela agama Allah—secara membabi buta menembak, membunuh dan menghancurkan orang-orang yang belum tentu memusuhi Islam.
Mungkin Rasul yang mulia akan menangis tersedu-sedu manakala ajarannya yang welas asih, penuh santun kepada sesama tanpa memandang status sosial, agama dan suku bangsa, diwujudkan dalam perilaku yang bengis, berdarah-darah dan memandang orang lain sebagai sesuatu yang layak dihancurkan.
Bagaimana tercabiknya hati sang Kekasih Allah itu, jika di saat peperangan saja beliau mewanti-wanti pasukannya untuk tidak merusak tanaman, melarang menghancurkan tempat-tempat ibadah, melarang membunuh anak-anak dan wanita, TERNYATA di negara damai ada segelintir orang dengan mengatasnamakan ajarannya membantai sesama tanpa ampun.
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.(Q.S.al-Maidah:32).
Entah bagaimana para pelaku teror itu akan mempertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak atas teror yang mereka lakukan. Sementara, Rasulullah—yang mereka klaim mereka wakili ajarannya– ditasbihkan oleh Allah diturunkan ke dunia sebagai rahmat bagi seluruh alam. “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(Q.S.al-Anbiya’;107). Lalu, rahmat macam apa jika diwujudkan dengan tindakan barbar seperti itu?
Saya sering mendapat curhat dari kawan-kawan di berbagai kelompok pengajian atas penangkapan yang dilakukan aparat Densus terhadap mereka yang dicurigai terlibat aksi teror. Penampilan fisik mereka yang ditangkap kebanyakan berjenggot dan bercelana cingkrang, bercadar (yang perempuan). Identitas fisik ini jelas menjadi kerugian dari kawan-kawan saya di kelompok yang secara penampilan mirip dengan yang ditangkap tetapi secara pemahaman bertolak belakang.
Dengan segala kemampuan, kawan-kawan saya tadi lantas membuat upaya pembersihan nama dengan membikin pamlet, selebaran dan kajian-kajian menentang segala bentuk kekerasan. Upaya ini mungkin berdampak tapi jelas belum bisa menghapus imej di masyarakat tentang trauma “celana cingkrang”, “cadar” dan “berjenggot”.
Selain prihatin dan mengutuk tragedi kemanusiaan di Jakarta kemarin, setidaknya ada sedikit hikmah positif bagi kawan-kawan saya tadi atas tragedi Sarinah yang menewaskan tujuh orang dan melukai puluhan lainnya. Setidaknya teroris yang selama ini diidentikkan dengan celana cingkrang, berjenggot dan bercadar, terbantahkan dengan berbagai video yang memperlihatkan secara nyata para pelaku teror.
Para pelaku teror itu ternyata memakai kaus—pakaian yang umum dipakai masyarakat kita. Alih-alih bercelana cingkrang mereka justru memakai celana jins panjang—katanya jins identik dengan celana pemuda Amerika. Jangankan lebat, jenggot mereka hanya segelintir—dan tidak rapi. So…don’t look the book from its cover….Jadi, jangan hakimi yang bercelana cingkrang, berjenggot dan bercadar hanya gara-gara ada oknum bercelana cingkrang, berjenggot dan bercadar yang berbuat salah. Salam

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

1 comment