Soloensis

Apakah Arti Nama Pada Selembar Amplop ?

Suatu hari saya bersama salah satu teman saya bersiap menghadiri undangan pernikahan. Ketika itu saya sendiri yang belum membawa kado pernikahan. Kemudian saya meminta amplop ke salah satu teman saya untuk memasukan selemban uang. Aneh rasanya ketika teman-teman saya “protes” kenapa amplop itu tidak saya berikan nama. Spontan pada saat itu saya jawab dengan pertanyaan,”kenapa juga harus diberi nama?”. Salah satu teman yang lain menjawab,”nama itu untuk absen”. Kemudian saya jawab lagi,”kan sudah ada buku absennya”. Diskusi singkat tersebut akhirmya berakhir dan kami masuk ke gedung resepsi pernikahan.

Fenomena ini memang menarik, ketika masih di bangku SMA saya pernah bertanya mengapa orangtua saya selalu minta untuk menuliskan nama di amplop yang akan diisi uang sebelum berangkat njagong. Ketika itu memang saya belum mendapat jawaban yang memuaskan. Beberapa kali saya juga sempat menyinggung soal ini kepada teman maupun saudara saya yang njagong dengan membawa amplop. Singkat cerita saya mendapatkan kesimpulan empiris bahwa nama dalam amplop yang disumbangkan kepada mempelai ada maksud dan tujuan tertentu selain sekedar memberi.

Didaerah pedesaan juga pernah saya jumpai, bahkan menjadi tradisi untuk saling membantu saat salah satu warga memiliki hajatan menikahkan putra/putrinya. Berbeda dengan Kota, di daerah pedesaan mereka memberi sumbangan berupa bahan-bahan makanan yang nantinya akan diolah bersama sama untuk menjamu para tamu undangan. Dan uniknya saya temukan setiap sumbangan yang masuk tuan rumah harus mencatat satu persatu secara detail sumbangan yang diterima. Konon ceritanya hal itu dilakukan untuk mengingat apa yang telah diberikan para tetangga. Dan suatu saat jika tetangga tersebut punya hajatan resepsi, seolah-olah punya kewajiban mengembalikan bantuan tersebut dengan jumlah dan kualitas minimal sama. Bahkan, jika hal tersebut tidak dilakukan ada hukuman sosial dari masyarakat sekitar berupa pengucilan ataupun rasan-rasan.

Saya kira terlalu sempit dan prematur kalau memberikan penilaian Baik atau Buruk kebiasaan terhadap sesuatu yang sudah menjadi budaya di Masyarakat kita bahwa menghadiri Resepsi Pernikahan amplop harus diberi nama. Kemudian suatu saat amplop tersebut harus “dikembalikan” dengan nominal yang sama juga saat acara resepsi. Disengaja atau tidak hal semacam ini nampaknya sudah menjadi rumus baku. Terbukti dengan beberapa orang yang mencatat Nama dari amplop-amplop yang diberikan.

Jika pendekatan yang kita gunakan adalah meyakini bahwa amplop yang kita berikan adalah amal dan sodaqoh, semestinya tidak perlu memberi nama. Sebaliknya, jika resepsi diyakini sebagai rasa bersyukur serta berbagi kebahagiaan semestinya kita tidak perlu terbebani dengan pemberian orang ataupun mengharap sesuatu dari tamu undangan.

Logika sederhana saya, bahwa pemberian itu tidak akan berarti jika ada rasa pamrih atas apa yang sudah kita berikan. Kalau kita ikhlas memberi, lantas untuk apa kita menuliskan Nama kita. Bukankah Tuhan Maha Mengetahui???. Kebiasaan saling membantu memang baik dan perlu dibudayakan. Tetapi yang kurang tepat jika kebiasaan yang baik tersebut menjadi “bisnis” balas budi.

Bagi seseorang yang akan melaksanankan resepsi pernikahan yang paling penting dalam sudut pandang saya adalah melaksanakan Sunnah Rasul yang memang telah dicontohkan di masa lampau. Tetapi masa kini nampaknya telah mengalami pergeseran makna. Yang semestinya resepsi bernilai ibadah, kini resepsi pernikahan lebih Matematis dengan menghitung berapa yang dikeluarka dan berapa yang akan didapatkan. Dan lucunya lagi, setiap njagong-pun berhitung dengan jumlah nominal yang diberikan untuk mempelai. Dengan harapan suatu saat modal itu kembali dan bisa melaksanakan resepsi secara meriah dan mewah.

Apabila logika sederhana saya diatas memang benar, alangkah lebih baik dan lebih bijaksana jika kita menata ulang kembali niat tentang Resepsi Pernikahan dan niat memberi uang atau sumbangan bagi mempelai/Orang Tua mempelai.
Kita kembalikan acara Resepsi Pernikahan sebagai ladang Ibadah untuk memulai sebuah mahligai rumah tangga dengan menggelar syukuran pernikahan dan mengajak sanak saudara dan teman untuk kumpul dan makan bersama. Tidak perlu memaksakan sesuatu yang diluar kemampuan. Bahkan dengan tidak menggelar resepsi pernikahan-pun, sebuah pernikahan tetap sah. Jangan mementingkan ego maupun gengsi dengan menjual nilai Ibadah dalam sebuah Pernikahan.
Berapapun nominal kita memberikan bantuan, Tuhan akan menilai sebuah kebaikan jika kita ikhlas. Yang wajib adalah menghadiri undangan. Bukan “mengamplop” mempelai. Doa restu para tamu undangan lah yang paling dibutuhkan mempelai untuk mengarungi Rumah Tangga. Soal Nama, luruskan niat memberi jangan sampai ternoda nama kita sendiri yang tertulis pada selembar amplop. Biarkan amplop kita tetap putih bersih seputih niat tulus kita.

Wallahu A’lam Bishawab…

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment