Soloensis

Sikap Toleran Itu Pilihan

businesswomen-with-great-idea_23-2147508220
Gambar: Freepik

     Mendampingi murid-murid tersayang mengikuti kegiatan Jurnalisme Toleransi Keberagaman membuat ku bertanya pada diri sendiri seberapa toleran diriku pada pluralitas di lingkungan sekitar dalam lingkup keluarga, pekerjaan, masyarakat, dan dalam menyampaikan aspirasi lewat sosial media.

     Menurut saya toleransi berarti menyikapi dengan bijak atas perbedaan dan keberagaman yang kita hadapi setiap saat dimana pun kita exist. Sambil mendampingi murid-murid mempercakapkan tentang toleransi, pikiran dan perasaan saya juga ikut berproses. Maka mulailah perjalanan refleksi untuk menjawab kegelisahan diriku  apakah saya   bersikap toleran atas bermacam keragaman di dunia sekitar. Pertama dalam menjawab pertanyaan  diawali dengan pembenaran diri bahwa muncul keyakinan diri semua yang saya lakukan berkaitan dengan keragaman  saya pikir saya sudah sangat toleran. Menjalankan kewajiban dalam beragama merupakan hal penting bagi seorang pemeluk agama dan sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya selama ini tidaka ada masalah di lingkungan sekitar. Saya boleh dan bisa menjalankan kewajiban agama saya dengan bebas dan saya juga tidak pernah mempermasalahkan teman-teman dalam menjalankan kegiatan keagamaan mereka.

     Tiba-tiba saya teringat pada pengalaman saat berkunjung ke Pulau Lombok beberapa tahun lalu, saat itu kami satu rombongan umat Kristiani mengunjungi sebuah pura di Pantai Watu Bolong. Sebelumnya pemandu perjalanan sudah berpesan kepada kami untuk mematuhi aturan karena pura itu juga digunakan sebagai tempat ibadah. Seperti wisatawan lainnya meskipun kami mengangguk mengerti akan peringatan tersebut, kami langsung berhamburan mencari spot terbaik untuk berfoto dan melihat pantai kalau bisa dari titik tertinggi pura. Semula dari bawah tidak ada peringatan dalam bentuk tulisan di sekitar pura jadi kami setingkat demi setingkat menapaki tangga andesit semakin ke atas. Akhirnya ada sebuah peringatan yang diletakkan melintang di sepanjang tangga disertai palang sebatang bambu. Peringatan itu dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf-huruf nya sangat jelas bahwa yang diperkenankan naik adalah khusus untuk umat yang akan bersembahyang akan berdoa dan yang tidak akan melakukan aktivitas tersebut dilarang melanjutkan perjalanan. Saya tahu saya bukan pemeluk Hindhu maka saya mengurungkan niat untuk naik, tetapi beberapa teman tetap ke atas karena mereka bilang spot di atas lebih bagus untuk berfoto. Saya membatalkan keinginan saya untuk naik tetapi saya tidak berusaha mencegah teman-teman saya karena saya tidak ingin muncul perdebatan dan konflik, jadi saya memilih bersikap masa bodoh dan itu adalah bukan cerminan sikap toleransi yang baik.

     Saya ingat pernah terlibat percakapan tentang toleransi di Twitter, salah seorang netizen mengunggah video seorang yang sholat di tengah jalan sehingga membuat macet maka seketika saya mengunggah komentar bahwa tindakan tersebut seharusnya tidak dilakukan karena mengganggu ketertiban umum dan merugikan pengguna jalan yang lain. Menjalankan kewajiban agama seharusnya dilakukan di tempat ibadah atau tempat lain yang layak dan tidak mengganggu orang lain. Saya yakin apa yang saya lakukan dengan mengunggah komentar adalah wujud toleransi.  

 

Nama: Theresia Sri Yamini, S.Pd

Sekolah: SMP Negeri 2 Surakarta

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment