Soloensis

Aku Berbeda dan Aku Bangga

IMG_20240323_135129
Gambar milik Harakatuna.com

     Oleh :

Arih Azhar Urjuwan

SMA NEGERI 8 SURAKARTA

No. HP : 085291263465

Email : arih.a.urjuwan@gmail.com

 

Sejak kecil, mungkin kita sudah seringkali menemukan banyak perbedaan yang ada disekitar kita. Apalagi, kita hidup di Negeri Indonesia, negeri yang menjunjung tinggi semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Kami semua beragam, mulai dari RAS, suku, budaya, ada istiadat, agama, bahkan cara kita menjalani hidup dan berpikir pun beragam. Oleh karna itu, perbedaan bukanlah suatu hal yang patut untuk dipermainkan, justru kita semua harus bangga dengan perbedaan yang kita miliki. Sebagai warga indonesia, kita harus membuktikan bahwa kita bisa bersatu meski dalam perbedaan.

Namun apa jadinya, jika Sekolah Dasar yang menjadi tempat pertama kita untuk memulai cara pandang yang lebih luas, untuk mempelajari istilah-istilah baru dalam wawasan yang lebih lebar, untuk memahami hakikat penerimaan diri sebagai manusia, justru menjadi tempat dimana kita mempertanyakan identitas diri kita sendiri. 

Mengapa aku disingkirkan? 

Mengapa aku tidak diterima dengan baik?

Apakah ada yang salah dengan menjadi diriku? 

Kisah pilu itu terjadi pada temanku. Sebut saja ia, Mala. Pada tahun 2016 silam, aku dan Mala merupakan seorang siswi di salah satu Sekolah Dasar, tepatnya di Surakarta. Mala memang cukup berbeda dengan teman-teman di sekolahnya saat itu, diantara banyaknya teman-teman berkulit putih, ia memiliki ciri khas tersendiri sejak lahir. Kulitnya sawo matang, dengan rambut ikal yang berwarna coklat kemerahan sejak lahir. 

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun masa bersekolah semuanya masih berjalan biasa-biasa saja. Aku, Mala dan teman-teman yang lainnya bermain seperti anak-anak seumuranku pada umumnya. Hingga suatu hari, saat jam pelajaran tengah berlangsung, tiba-tiba guru yang kala itu tengah mengajar kelas kami menyeletuk tidak pantas, “Deloken rupamu, La. Wes koyok genderuwo! Wes ireng, neng pojokan, rambute gimbal.” (Lihat saja dirimu, La. Sudah seperti genderuwo! Sudah hitam, duduk dipojokan, rambutnya berantakan) kemudian teman-teman yang lain mulai menertawakannya.

 

Sejak hari itu, teman-teman mulai memanggilnya dengan sebutan ‘Si ireng genderuwo!’. Alih-alih bercanda, kalimat guruku saat itu justru menjadi contoh bagi teman-teman yang lain. Bagaimana tidak, anak seumuran kami, dimana sekolah seharusnya mengajarkan hal-hal baik sebab Sekolah Dasar merupakan tingkat pertama kami dalam memahami aspek menjalani kehidupan dan bersosialisasi justru menjadi tempat dimana kami mengenal tindakan rasisme.

 

Tak sampai disitu saja, Mala memang mengakui dirinya tidak cukup pandai dalam hal pelajaran, saat pembagian kelompok, tak ada kelompok yang mau menerima kehadirannya. Saat Mala mencoba untuk bergabung, teman-temannya hanya akan mengatakan “Nggak mau, udah penuh.” , “Emoh, koe mambu!” (Nggak mau, kamu bau). Aku dan teman-temanku yang melihat itu, akhirnya mengajak Mala untuk bergabung dengan kelompok kami saja. “Hiii.. hati-hati loh, sama genderuwo! Hahahaaha” semua teman-temannya ikut menertawakan. “Apasih kamu, Mala itu manusia, kamu nggak boleh kaya gitu! Kita semua sama, bedanya kita punya ciri khas masing-masing. Kamu juga pendek, aku lebih tinggi dari kamu. Tapi kamu nggak mau kan kalo aku katain pendek?! Reva, kamu juga item, tapi kamu nggak mau kan dikatain item?! Kita semua tuh sama, jadi kalian harus saling menghargai. Kalo kalian aja sakit hati dikatain gitu, Mala juga sakit hati.” 

 

Sejak saat itu, kami ber-enam mulai berteman dengan baik. Aku mulai bisa mengenal Mala lebih jauh, dibalik sosoknya yang dianggap ‘Berbeda’ dari yang lain, ternyata Mala adalah sosok yang dermawan, ia suka mentraktir teman-temannya, sifatnya yang humoris membuat kami nyaman berteman dengan Mala. Selain itu, Mala cukup pandai dalam mata pelajaran Bahasa Jawa, sehingga terkadang ia mengajariku dan teman-teman apabila kami merasa kesulitan. 

 

3 Tahun kemudian, kami lulus dari Sekolah Dasar. Sayangnya, diantara kami ber-enam tidak ada yang berakhir di Sekolah Menengah Pertama yang sama. Namun hari itu, teman-teman menghubungiku kembali untuk mengadakan janji temu. Betapa terkejutnya aku, Mala yang dulu disebut-sebut sebagai ‘Genderuwo’ kini sudah berubah drastis menjadi Mala yang cantik jelita. Mala tetap berkulit sawo matang, rambut ikalnya masih sama berwarna coklat kemerahan, itu ciri khas yang tak akan pernah hilang dari dirinya. Namun bedanya, saat ini ia sudah tampil lebih modis, ia membuktikan bahwa ia bisa tampil cantik dan keren dengan ciri khasnya itu. Bahkan tidak hanya aku, teman-teman yang lain pun merasa ‘Pangling’ dengannya. 

 

Saat sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba salah satu teman kami Reva berkata, “Mal, maaf ya dulu aku suka ngatain kamu genderuwo. Dulu kita masih kecil, belum belajar banyak hal dan ngerti tentang cara menghargai perbedaan kita. Aku cuma taunya, kalo kita lagi bercanda aja, tapi tanpa aku sadari, candaan yang kalo cuma bikin ketawa sepihak tapi nyakitin orang lain, itu namanya bukan bercanda. Hehe.” 

 

“Iya nggak apa-apa kok. Karna itu juga aku jadi belajar buat berubah jadi lebih baik. Aku sadar, ternyata aku tidak perlu menjadi sempurna untuk diterima. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri dengan versi terbaik. Aku berbeda, dan aku bangga dengan perbedaan yang aku miliki. Sebab itu artinya, aku istimewa.” 

Dari kisah temanku itu, aku sadar bahwa menghargai perbedaan bukan hanyalah semata-mata kalimat yang seringkali dijumpai pada buku pelajaran, bukan hanyalah kata-kata mutiara, namun perlu aksi nyata untuk menyikapi sebuah perbedaan. Perbedaan diciptakan untuk saling melengkapi kerumpangan, kekosongan, dan kekurangan yang ada. 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment