Soloensis

Tuhan di mana-mana

https://www.facebook.com/918501064843610/photos/a.996758877017828/996760260351023/?type=3
Kereta Sewandana

TUHAN DI MANA-MANA

Oleh

Datik Wuryaningsih, S.Pd.

SMA Negeri 1 Mojolaban

No Hp 085647452614

Email : datikwury@gmail.com

 

Pertama kali mendengar kata Bhinneka Tunggal Ika dari guru SD saya pada saat mengajar mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau sekarang lebih dikenal dengan PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Ketika itu beliau mengajar tentang lambang negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada pita yang digenggam oleh lambang negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila  ini berasal dari bahasa Jawa Kuno atau Sanskerta. Dikutip dari laman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, istilah ini diambil dari kutipan kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular. Kata “Bhinneka” artinya beraneka ragam atau berbeda-beda, kata “Tunggal” artinya satu, sedangkan “Ika” artinya itu. Jadi secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan kurang lebih “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tapi satu. Kakawin ini terbilang istimewa sebab mengajarkan toleransi antar umat Hindu Siwa dan Budha. Tetapi pada hakikatnya semboyan ini juga merupakan pesan mendalam bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari bermacam suku, bahasa dan budaya namun tetap berada dalam satu kesatuan Republik Indonesia.

Pesan yang terkandung di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya merefleksikan keragaman ras dan suku di Indonesia bagi saya. Pengalaman mengajarkan saya bahwa frasa itu tidak hanya sekedar semboyan persatuan belaka tetapi merupakan ajaran yang penuh makna bahwa setiap manusia harus mempunyai toleransi dan menghargai perbedaan yang ada di sekitarnya termasuk kehidupan beragama.

Perjalanan spiritual saya dimulai ketika saya masih kecil. Orang tua tidak pernah mendoktrin saya akan agama yang paling benar. Saya masih ingat ketika ibu yang seorang muslimah selalu mengajak anak-anaknya ke tempat pakde yang beragama Kristen setiap tanggal 25 Desember untuk merayakan hari Natal. Pengertian saya sebagai anak kecil dari sekedar yang penting makan enak berkembang ketika  melihat tidak ada perdebatan tentang agama di meja makan, tersenyum hangat, dan berbincang akrab. Hal itu membuat pemahaman baru dalam diri saya bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memeluk agama yang dipercayainya. Saya pun mulai menerapkan prinsip ‘lakum dinukum waliyadin’ yang bermakna bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Potongan ayat ini tercantum dalam surat Al-kafirun. Di kitab suci agama mayoritas orang Indonesia ternyata juga mengajarkan tentang toleransi beragama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk bertoleransi dalam kitab sucinya.

Khasanah baru akan kepercayaan terhadap pencipta kembali muncul ketika saya beranjak dewasa dan menyaksikan bapak dan ibu saya yang beragama Islam di KTP tetapi tidak menjalankan sholat lima waktu melainkan menjalankan do’a serupa nyanyian dalam Bahasa Jawa. Mereka sebut Tuhan dengan Suksma Kawekas. Yang saya kenali berikutnya, mereka tergabung dalam sebuah paguyuban bernama Pangestu, singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal. Dari laman Wikipedia Pangestu disebutkan bahwa Paguyuban diartikan sebagai suatu perkumpulan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan, Ngesti artinya adalah upaya batiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Tunggal artinya bersatu dalam hidup bermasyarakat, bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pangestu terbuka untuk mereka yang membutuhkan kedamaian hati, ketenteraman serta kebahagiaan dengan membangun jiwa yang luhur (kesusilaan batin) melalui ajaran Sang Guru Sejati/Utusan Tuhan yang Abadi. Ajaran yang sarat dengan nuansa Jawa dan njawani ini tentu saja sangat diminati oleh masyarakat terutama yang masih percaya dengan hal-hal berbau mistis (baca : ilmu kebatinan yang tak terlihat) dan laku seperti tapabrata dan lain-lain seperti orang tua saya,

Dari keyakinan orangtua saya tersebut akhirnya saya juga berkeyakinan  bahwa kepercayaan terhadap Tuhan tidak hanya diyakini oleh orang-orang yang beragama resmi yang telah diakui di Indonesia saat itu, namun juga oleh orang-orang seperti orang tua saya.  Karena aliran kepercayaan belum diakui pemerintah saat itu, maka orang-orang yang menghayatnya pun ‘bersembunyi’ dengan memeluk agama tertentu agar terhindar dari cap sebagai atheis. Setelah jaminan hak beragama atau berkeyakinan di Indonesia tercantum dalam UU No. 39/1999, para penghayat kepercayaan mulai bisa meyakini Tuhan mereka tanpa harus memakai ‘kedok’ agama lain.

Menurut saya pribadi, dalam memeluk agama kita harus fanatik dalam artian sikap meyakini agama secara mendalam, kuat, dan tidak plin-plan. Namun demikian, fanatisme tidak boleh membabibuta sehingga menganggap kita yang paling benar tapi kita harus bisa menerima perbedaan. Perbedaan tidak melulu tentang agama tapi bisa juga hal-hal berbentuk fisik pun pendapat. Tidak usah menganggap kita hamba Tuhan yang paling benar karena sejatinya kita bukan siapa-siapa dan saya percaya Tuhan ada di mana-mana.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment