Soloensis

SENYUM BELUM MEMAAFKAN, DAMAI BELUM MENYEMBUHKAN

WhatsApp Image 2024-03-15 at 2.22.14 PM
SUMBER: Dokumen penulis

Rasa malas itu seketika muncul dan kaki terasa berat sekali, saat langkah ini sampai di pintu kelas. Sudah terbayangkan akan bertemu wajah seseorang yang selalu membuat mood ini hilang dan amarah naik secara tiba-tiba.

 

 Marsya, begitu biasa teman-teman memanggilku di sekolah. Anak semata wayang di tengah keluarga kecil di kota Surakarta. Memasuki usia 14 tahun, saat ini aku bersekolah di SMP Negeri 3 Surakarta. Salah satu SMPN favorit yang di kenal dengan prestasi akademiknya.

 

Sama seperti pelajar SMP pada umumnya, hampir 8 jam dalam sehari aku habiskan untuk belajar di sekolah. Berangkat ke sekolah pukul 6 pagi hingga pulang ke rumah menjelang petang. Meskipun aku merupakan anak satu-satunya bukan menjadikan aku manja dan selalu merasa di zona nyaman karena segala yang ku inginkan pasti akan aku dapatkan.

 

Orang tuaku membesarkan dengan didikan yang keras dan berharap aku tumbuh menjadi anak yang disiplin dan mandiri. Apalagi dengan latar belakang ibuku yang seorang guru TK, aku di bentuk memiliki jiwa yang harus banyak sabar, mengalah namun tegas jujur dan bertanggung jawab.

 

Orang tuaku juga menanamkan pada diriku bahwa tujuan bersekolah adalah menuntut ilmu setinggi-tingginya, berprestasi semaksimal mungkin dan berbudi pekerti yang baik. Tidak perlu sibuk dengan urusan teman atau sekedar ingin tahu dengan kehidupan pribadi orang lain di sekolah, apalagi sampai melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan sikap seorang pelajar. Namun yang sebaliknya justru terjadi padaku. Pengalaman tidak menyenangkan itu aku alami, tepatnya saat aku duduk dikelas 7 pada tahun yang lalu.

 

Mengulas kembali cerita lama yang aku alami di kelas 7. Saat itu bel sekolah berbunyi, tanda jam sekolah telah usai, teman-teman langsung berlarian keluar sesaat guru pengajar beranjak dari kelas. Aku pun melangkahkan kaki keluar menuju gerbang sekolah untuk menunggu ayah menjemput.

 

Seperti biasa, ayah tiba menggunakan mobil tua yang sebenarnya itu adalah mobil kakek yang terkadang masih di pakai ayah untuk beberapa aktivitas termasuk mengantar jemput aku ke sekolah karena jarak yang dekat. Dan dari sinilah awal cerita ini di mulai, kejadian yang akhirnya menjadi sebuah lelucon besar yang sengaja di buat oleh sebagian teman-temanku di kelas 7 untuk mem-bullyku setiap hari di sekolah

 

Setibanya ayah di sekolah, aku langsung bergegas mendekati, membuka pintu mobil dan masuk kedalam. Dan salah satu temanku, sebut saja namanya “Polan” kebetulan dia juga sedang menunggu penjemputan dan berada tidak jauh dari tempat mobil ayah berhenti. Polan melihat ketika aku masuk ke dalam mobil.

 

Sejurus kemudian terlihat dia tertawa terbahak-bahak sambil memandang kearahku dengan sikap mengejek sambil berbicara kebeberapa teman yang juga ada disana. “Ha..ha…haaa, lihat ada yang lagi di jemput angkot!!!” teriak si Polan dengan kuat dgn ekspresi tertawa yang luar biasa. Terdengar jelas sekali. Aku berusaha untuk tidak memberikan respon apapun seraya menunduk sambil berusaha menenangkan hati yang tiba-tiba saja menjadi tidak karuan. Mobil pun berlalu meninggalkan sekolah. Dengan menahan marah dan malu serta berusaha sekuat mungkin menyembunyikannya, aku melirik kearah ayah di samping.

 

Syukurlah, sepertinya ayah tidak mendengar teriakan teman-temanku tadi. Ayah mulai mengajak ngobrol seperti biasa dan bertanya tentang aktivitasku di sekolah hari itu, yang akhirnya membuat kejadian itu dapat terlupakan dengan segera. Esok hari rutinitas pagi kembali dimulai, aku pun berangkat ke sekolah. Setelah tiba di sekolah, seperti biasa aku langsung menuju kelas. Saat itu terlihat si Polan duduk bersama kelompok siswa laki-laki di pojok kelas.

 

Namun begitu mereka melihat kehadiran ku, tiba-tiba terdengar tawa keras dari arah mereka dengan pandangan mengejek ke arahku. Rasanya tidak nyaman sekali, namun aku berusaha untuk tetap tenang dan berjalan menuju bangku, meletakkan tas dan kemudian duduk.

 

Dari arah belakang suara si Polan terdengar jelas, dan ia menyebut-nyebut kalimat “Angkot” berulang kali yang di ikuti tawa keras beberapa teman. Langsung dapat di tebak kalau ternyata tawa si Polan kemarin sore telah menjadi berita viral di kelasku saat itu. Rasa marah yang luar biasa seketika muncul dalam hati. Namun bel tanda masuk mengalihkan pikiranku untuk fokus kembali pada pembelajaran yang akan segera di mulai. Meskipun kejadian itu telah berlalu, olokan itu masih terus saja dilakukan. Mereka menjadikannya sebutan saat memanggilku yang di ikuti dengan tawa mengejek.

 

Aku terus memikirkan bagaimana caranya agar mereka dapat berhenti memanggilku dengan sebutan seperti itu. Semakin hari hal ini semakin membuat rasa tidak nyaman saat akan berangkat kesekolah. Rasa ingin marah, memaki bahkan menanggapi secara fisik sudah terlintas di pikiran, karena rasa tidak terima terus menerus dijadikan bahan ejekan.

 

Sebagai pengikut beladiri Aikido, ilmu bela diri yang telah aku pelajari cukup lama, membuatku ingin menanggapinya dengan adu fisik.  Ditambah, “Sensei” sebagai guru pelatihku selalu mengajarkan tentang pentingnya menjaga harga diri dan nama baik diri sendiri. Jangan sampai harga diri kita di injak dan di rendahkan, yang terpenting kita selalu di jalur yang benar. Bagiku Polan juga sudah menghina orangtuaku. Semakin kuat tekad dalam hati menggunakan ilmu bela diri yang aku miliki untuk memberinya pelajaran.  Aku yakin dapat mengalahkannya dalam duel secara fisik, sekalipun aku perempuan. Aku mampu melihat seberapa kemampuan lawan yang akan bertanding denganku.

 

 

Sesekali ingin rasanya aku membalas saat mereka mengejek dan mempermalukanku, sayangnya banyaknya tugas dan kegiatan yang lebih penting membuatku menahan hati untuk bertindak. Terlebih lagi kepercayaan yang diberikan kepadaku sebagai ketua kelas. Toh, ada banyak hal lain yang bisa dilakukan daripada sekadar mengurus bully-an mereka. Dan juga Polan tidak ada artinya bagiku. Sebaliknya mengingat wajah guru-guru yang ada di sekolah dengan penuh kasih dan harapan dalam mengajar murid-muridnya, membuat aku berfikir kembali untuk melakukan pembalasan.  Karena paham akan ada kegaduhan nantinya. Aku bersyukur mengingat aku masih terus dapat menoreh prestasi di kelas dan membanggakan sekolahku di beberapa lomba yang aku ikuti. Serta teman yang sungguh menjadi penyemangat dan kritikus terbaik bagiku.

 

Sudah sejak beberapa hari lalu aku berencana untuk menyampaikan hal ini pada guru BP di sekolah, namun aku memutuskan untuk bercerita terlebih dahulu pada orangtuaku dirumah, yakni pada ibuku yang kupanggil “Bunda”. Sore itu setelah mandi, dan kami berdua berada di ruang tengah, aku pun mulai bercerita. Seketika tangisku pecah karena amarah dan rasa sakit yang telah lama aku pendam. Bunda memeluk sambil mengelus kepala ku sama seperti yang selalu dilakukannya saat menasehati atau memberi pendapat. Bunda menunggu sampai aku betul-betul menyelesaikan cerita dan tangisku mereda. Setelah beberapa saat bunda pun memulai bicaranya. “Kak…. Bunda tanya dulu ke kakak ya, ujarnya kemudian.

 

Tujuan kakak berangkat ke sekolah sebenarnya apa?” aku pun menjawab, “sekolah dan belajar”. “Nah itu paham”, ujarnya lagi sambil tersenyum. “Kalau tujuan ke sekolah itu untuk belajar, untuk menambah ilmu untuk berprestrasi, kenapa juga harus buang energi dengan kejadian-kejadian seperti yang kakak ceritakan tadi.

 

Kita diberi panca indera untuk digunakan dengan baik dan benar. Mata gunakan lah untuk melihat dan memperhatikan saat guru menerangkan di kelas, untuk melihat hal-hal baik, yang tidak baik atau tidak penting seperti orang mengejek, orang memandang kita dengan sikap menghina, sebaiknya mata kita tutup saja. Begitu juga dengan telinga, gunakan untuk mendengar hal-hal yang memang perlu kita dengar, pelajaran di sekolah misalnya. Untuk gunjingan dan lain-lain, telinga kita tutup saja. Begitu juga dengan mulut kita.

 

Agar hati dan pikiran kita bisa selalu nyaman dan fokus pada apa yang akan kita kerjakan. Badan kita juga jadi sehat kak. Sukses tidaknya seorang pelajar di sekolah, sekali-kali bukan ditentukan oleh kendaraan apa yang dipakai saat akan pergi dan pulang sekolah. Tapi dari niat dan semangatnya yang sungguh-sungguh dalam belajar. Kakak juga harus paham, kalau kendaraan itu dilihat dari fungsinya dan bukan dari model merk atau tahun pembuatannya”, ujar bunda kembali tetap dengan tenang.

 

“Mulai yang harganya selangit dan seri terbaru sampai mobil kakek yang sering mengantarmu ke sekolah semua memiliki fungsi yang sama, yang tidak membuatmu kehujanan atau kepanasan, yang tidak membuatmu capek karena harus berjalan dan ini harus selalu kakak syukuri. Banyak sekali anak-anak diluar sana yang bahkan sepedapun mereka tidak punya dan harus berjalan kaki jauh tidak peduli panas atau hujan hanya untuk bisa berangkat ke sekolah. Atau harus menunggu berlama-lama untuk sekedar bisa segera naik bus ke sekolah.

 

Mobil ini kesayangan kakekmu, dan kakek sangat bangga saat melihat ayah mengantar mu kesekolah dengan mobil itu. Ini hasil keringat kakek yang dibelinya saat masih muda dulu dan terus di jaganya sampai kakek tidak dapat mengendarainya lagi karena sudah tua. Jadi ayah lebih sering menggunakannya untuk jarak dekat daripada menggunakan mobil kita sendiri yang buatan masa kini.

 

Selain lebih irit bensin juga dapat membuat bangga kakekmu. Kalau ada teman-teman di sekolah yang mengolok-olok tentang mobil itu, tidak perlu pusing apalagi down. Justru semakin bangga dan bersyukur karena kakak tidak bersikap seperti mereka.

 

Kita doakan semoga teman-teman tadi selalu dalam kebaikan dan kelak menjadi anak yang sukses melebihi orangtua mereka saat ini. Satu lagi pesan bunda, jangan pernah menyimpan rasa dendam dalam hatimu, karena bagaimanapun mereka semua adalah teman-temanmu yang berarti juga menjadi keluarga bagimu disekolah. Tetaplah menjadi dirimu sendiri yang dapat menjadi kebaikan bagi orang-orang disekitarmu. Jangan kita mengotori hati hanya karena ulah beberapa orang yang tidak pantas untuk ditiru. Tetaplah berlaku baik bagi semua teman-temanmu”.

 

Seketika kata-kata itu mengembalikan kepercayaan diriku yang sudah betul-betul down. Benar sekali yang bunda ucapkan tadi. Mungkin bagi si Polan atau sebagian teman kendaraan tua menjadi hal yang hina dan memalukan, serta layak untuk dijadikan bahan olok-olok, namun tidak untuk ku, karena semua itu adalah berkah yang harus selalu di syukuri.

 

Bunda kembali melanjutkan bicaranya, “Sebenarnya bila seseorang sibuk mengolok-olok menghina atau membicarakan kita setiap harinya, itu menunjukan kalau orang tersebut sangat memperhatikan kita atau di sisi lain tidak memiliki kesibukan yang jelas atau positif. Bila bekerja berarti tidak fokus di kantor. Bila pelajar pasti tidak fokus di kelas untuk belajar.

 

Mungkin juga karena tidak ada perhatian yang penuh dari orangtua di rumah”. Dan memang benar yang bunda jelaskan tadi, karena sampai saat ini si Polan tersebut terus dan sering mendapat teguran dari guru-guru, dan terkadang sering tidak masuk berhari-hari. Polan juga sudah sering membuat masalah terhadapku di kelas bahkan sampai di saat-saat ujian yang membutuhkan konsentrasi penuh. Jadi benar sekali kalau waktuku akan sia-sia bila harus memikirkan perilaku si Polan setiap hari.

 

Bunda juga mengatakan untuk bisa memahami kondisi teman di kelas sekalipun perilaku yang telah dibuat sangat tidak menyenangkan untuk kita. Ini akan mampu membuat hati dan pikiran kita lebih rileks dengan tidak selalu memasukkan hal-hal yang negatif di sekitar kita ke dalam hati dan pikiran. Terkecuali sudah mengenai fisikmu, sampaikan pada guru sebelum mengambil tindakan sendiri. Dan yang paling utama adalah melibatkan Allah dalam setiap keluh kesahmu, agar tidak berlama-lama memendam amarah dan sakit hati. Sore itu sungguh merubah hatiku sejuk kembali dan siap untuk memulai aktifitas esok dengan hati yang nyaman.   

 

Dalam pembelajaran Bimbingan Konseling di kelas, guru BP pernah memberi materi tentang apa itu Bullying? Materi yang saat itu disampaikan sama persis dengan yang aku alami, yakni Bullying secara verbal. Guru BP mengatakan “Bullying” merupakan salah satu tindakan tidak menghargai keberadaan orang lain. Karena sekali saja perbuatan itu dilakukan bisa berdampak sangat besar.

 

Bullying dapat berakibat fatal bagi kondisi mental, fisik, dan psikologis seseorang. Bahkan satu kata saja yang terucap dari mulut seseorang dan bila kata-kata itu telah melukai perasaan orang tersebut, hal itu akan bisa diingat sampai kapanpun. Maka dari itu penting untuk berpikir sebelum mengucapkan sesuatu pada seseorang sebagai salah bentuk menghargai orang lain di sekitar kita.

 

Kita dapat merespon tindakan bully dengan melaporkan kepada guru atau pihak sekolah, dan sudah pasti penyelesaian yang biasa dilakukan adalah pihak yang melakukan Bullying akan di tegur atau diberikan sanksi oleh pihak sekolah, untuk selanjutnya akan didamaikan. Sementara korban yang mengalami masih terluka secara psikis yang mungkin akan tertanam selama hidupnya.  Tidak menutup kemungkinan kejadian Bullying tersebut masih akan terulang lagi pasca perdamaian itu telah dilakukan. Sementara pihak sekolah merasa kejadian tersebut sudah berakhir damai.

 

Sangatlah diharapkan kita dapat saling menjaga attitude baik dalam bersosialisasi di sekolah, rumah, dan dimanapun kita berada. Karena Bullying yang dibiarkan akan melahirkan kejahatan yang berkelanjutan. Tidak perlu melakukan Bullying hanya untuk merendahkan orang lain dan membuat diri kita merasa lebih baik.

 

Seperti judul yang aku buat di atas “Senyum Belum Memaafkan Damai Belum Menyembuhkan “, kejadian yang aku alami sendiri yang mungkin belum seberapa dengan luar biasanya kejadian-kejadian Bullying yang semakin marak terjadi saat ini di lingkup sekolah. Yang mungkin juga bagi sebagian pembaca merasa ini adalah hal kecil yang biasa terjadi. Mudah saja untuk kita tersenyum dan memberi maaf, namun ingatlah senyum maaf dan damai belum dapat menjadi obat yang betul-betul menyembuhkan, saat harga diri dan hati kita sudah betul-betul terluka.

 

Dari sini kita dapat belajar untuk semakin peka akan tindak kekerasan Bullying yang semakin marak terjadi di tengah-tengah pelajar, baik secara verbal maupun fisik. Semoga pihak sekolah dan para orangtua dapat bergandengan tangan memberi perhatian penuh agar kejadian Bullying dapat di hindari untuk terjadi semakin intens diantara pelajar. Sekecil apapun bentuknya. Hingga sekolah dapat menjadi tempat belajar yang betul-betul nyaman dan menyenangkan bagi seluruh siswa dalam keberagaman komunitas yang ada tanpa membedakan satu dengan lainnya. 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment