Soloensis

“Harmoni Manis: Melukis Keindahan Toleransi”

42fe97f12308ddfb403923e3637138e6

 

            Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman. Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk yang memiliki beragam suku bangsa dan budaya. Setiap suku bangsa memiliki ciri khasnya masing-masing, yang membedakan antara satu dengan yang lain. Maka tak heran, ada begitu banyak bahasa, ras, kepercayaan, agama, suku dan lain sebagainya dalam bangsa ini.

              Perbedaan memanglah suatu hal yang menarik untuk dibahas. Terutama perbedaan menganut agama/keyakinan. Indonesia adalah negara religius, yang sudah dinyatakan dalam dasar negara Indonesia ini yaitu sila ke-1 Pancasila yang berbunyi  “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut telah menegaskan bahwa setiap individu dalam negara ini mempunyai kepercayaan masing-masing.

               Di Indonesia ini ada enam agama/kepercayaan yang diakui, yaitu ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha serta Kong Hu-Chu. Bagaimana masyarakat dalam negeri ini bisa hidup berdampingan dengan rukun? Tentu, hal itu dikarenakan sikap “Toleransi”  yang melekat pada diri setiap masyarakat Indonesia. Perbedaan yang ada tidak dijadikan alih-alih sebagai sumber perpecahan melainkan sarana untuk persatuan dan kesatuan dalam negeri ini. 

              Saya ada satu pengalaman di mana dari kejadian tersebut saya dapat merasakan manisnya toleransi secara langsung, yang barangkali dapat menginspirasi. Peristiwa itu terjadi ketika saya masih duduk di bangku SMP sekitar bulan September tahun 2022. Hari itu adalah hari ketika saya dengan teman-teman saya beranggotakan 6 orang sedang mengerjakan tugas. Diantara saya dan teman-teman saya ini, beragama Islam semua. Namun, ada satu yang beragama Katolik. 

              Dikarenakan tugas tersebut belum selesai sewaktu di sekolah dan tenggatnya juga mepet, kami bersepakat akan melanjutkannya di salah satu rumah teman saya, yang beragama Katolik. Sebut saja dia Marco. Bukan karena dia berbeda keyakinan dari kami, namun di rumahnya ada banyak fasilitas yang memadai untuk tugas kami. Ia pun juga sangat bersedia apabila kami mengerjakannya di rumahnya.

              Pada hari itu awan sangat mendung. Sudah terlihat hujan akan segera turun. Saya dan keempat teman saya buru-buru datang ke rumahnya si Marco. Untungnya, kami tiba di sana tepat sebelum hujan turun. Salah satu teman perempuan saya ada yang terlambat, dikarenakan ia masih ada kegiatan ekstra. Ia tiba dengan kondisi basah kuyup karena kehujanan. Ia pun lupa tidak membawa pakaian ganti. 

              Nah, ini yang menarik. Ibunya Marco adalah sosok yang lemah lembut, penyayang, dan sangat peduli. Ia menawarkan pakaiannya untuk teman saya sebagai pakaian ganti. Anehnya, ia juga menawarkan kerudung yang tidak hanya satu warna  saja, ada dua warna lebih. Saya dan teman-teman saya pun heran “Loh, kok punya banyak kerudung, bukankah agamanya juga Katolik?” 

              Marco pun menjawab, ketika ibunya ada acara kumpul RT biasanya memakai kerudung. Ya, memang tidak dikasih pengait, hanya dipakai asal-asalan. Walau tidak menutup seluruh rambutnya, hal tersebut adalah salah satu bentuk dari toleransi. Teman saya pun meminjamnya dan akan dikembalikan di lusa hari.

              Waktu pun tak terasa, tugas sudah selesai, dan tibalah waktu ashar. Ketika azan berkumandang , ibunya Marco menawarkan mukena dan sajadah kepada kami yang perempuan untuk sholat di sana. Saya teman-teman saya ini benar-benar sangat heran lagi, “Loh, kok ada mukena sama sajadah juga?”. Kemudian ibunya bercerita, kalau terkadang ada temannya yang beragama Islam main ke sini dan ia pun menyediakan alat sholat. 

               Kami juga berpapasan dengan ayahnya Marco yang pulang selepas kerja. Ia pun mengajak kami semua untuk berjabat tangan juga. Keluarganya Marco sangatlah menghormati dan menghargai adanya perbedaan. Bahkan, mereka menyediakan fasilitas seperti mukena dan sajadah kepada kami yang beragama Islam untuk beribadah.

              Sore hari sudah tiba, hujan sudah mulai reda, sudah waktunya kami pulang. Ketika kami pulang, kami pun berpamitan juga berjabat tangan lagi dengan kedua orang tuanya Marco. Kami sangat berterima kasih kepada Marco dan kedua orang tuanya. Saat kami di sana, kami juga dijamu dengan banyak makanan lezat. Akhirnya tugas kami pun dapat selesai dengan tuntas dan tepat waktu.

             Dari pengalaman tersebut, saya telah melihat dan merasakan begitu manisnya toleransi. Sikap terbuka dan penghargaan orang lain menciptakan kedamaian dan memperkaya hubungan sosial kita. Di samping itu, saya juga menjadi sadar, toleransi bukan hanya kata-kata, tetapi sebuah tindakan nyata yang memperkuat persatuan dan kesatuan. 

            Indonesia adalah negara yang penuh dengan keberagaman, kaya akan budaya. Inilah yang membuat Indonesia menarik di mata dunia. Perbedaanlah yang membuat Indonesia ini berwarna. Kita harus bangga dan patut bersyukur akan negara tercinta kita ini.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment