Soloensis

Tradisi Bakda Kupat dan Maknanya di Kota Solo

hand-drawn-traditional-ketupat-composition_23-2147870085
Gambar: Freepik

      Solo adalah miniatur Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Semua etnis dan agama ada di kota yang sebutan resminya adalah Surakarta di Jawa Tengah, ini. Untuk etnis, tentu saja mayoritas adalah Jawa. Tapi di Solo juga ada Kampung Arab di mana banyak etnis Arab yang tinggal di sana, yakni Pasar Kliwon.

      Di Solo juga ada Pecinan di mana banyak etnis Tiongkok atau China yang tinggal di sana, yakni Jebres. Untuk komposisi agama, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Solo tercatat sebanyak 578,49 ribu jiwa pada Juni 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 456,74 ribu jiwa atau 78,95% penduduk memeluk agama Islam. Sebanyak 79,55 ribu jiwa atau 13,75% penduduk beragama Kristen. Kemudian, 40,38 ribu jiwa atau 6,98% penduduk Solo beragama Katolik. Sebanyak 1,3 ribu jiwa atau 0,22% penduduk Solo beragama Buddha. Penduduk Solo yang beragama Hindu sebanyak 360 jiwa atau 0,06%. Sebanyak 134 jiwa atau 0,02% penduduk Solo memeluk agama Konghucu. Sedangkan, 30 jiwa atau 0,01% penduduk Solo menganut aliran kepercayaan kepada Tuhan YME.

      Begitu beragamnya penduduk Kota Solo. Tapi kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas)-nya begitu kondusif meskipun tentu saja dinamis. Sebab itu, setiap pemeluk agama dan penganut kepercayaan dapat melaksanakan ibadah sesuai ajaran masing-masing tanpa hambatan atau gangguan apa pun.

      Setiap pemeluk agama dan penganut kepercayaan juga dapat merayakan hari raya masing-masing tanpa hambatan atau gangguan apa pun. Apalagi umat Islam yang merupakan mayoritas di Kota Solo.

      Rabu (10/4/2024), misalnya, umat Islam di Kota Solo sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia merayakan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 Hijriah. Perayaan Idul Fitri ini juga berlangsung aman, lancar dan damai, tanpa gangguan kamtibmas di Kota Solo.

Makna Ketupat

      Di Solo ada tradisi Bakda Kupat yang dilaksanakan sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini erat kaitannya dengan tradisi kerajaan. Adapun “ritual” Bakda Kupat berupa makan-makan dengan menu ketupat atau kupat, bukan lontong, nasi atau jenis makanan lainnya.

      Dikutip dari sejumlah sumber, ketupat berasal dari kata “upat” dan memiliki arti ganda, yakni “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat tindakan). Empat tindakan yang dimaksud adalah “luberan” (melimpahi), “leburan” (melebur dosa), “lebaran” (pintu ampunan terbuka lebar) dan “laburan” (menyucikan diri).

      Diketahui, ketupat merupakan makanan tradisional yang berbahan dasar beras yang dimasak dengan cara direbus di dalam anyaman Janur atau daun kelapa yang masih muda. Ketupat menjadi hidangan istimewa yang melekat saat disajikan pada Hari Raya Idul Fitri.

      Tradisi ketupat ini berawal dari penyebaran agama Islam di Pulau Jawa oleh Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Wali Songo yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

      Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya dan filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman yang membaurkan pengaruh budaya Hindu pada nilai keislaman, sehingga ada akulturasi budaya antara keduanya.  Akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan memengaruhi.

      Sunan Kalijaga memperkenalkan Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat, sekali lagi, adalah tradisi yang dilaksanakan satu minggu setelah Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Pada hari itu, banyak masyarakat yang menganyam dan mempersiapkan hidangan ketupat. Biasanya ketupat diantarkan kepada kerabat yang lebih tua sebagai simbol kebersamaan.

      Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai sarana untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Ini menjadi pendekatan budaya oleh Sunan Kalijaga untuk mengajak orang Jawa memeluk agama Islam kala itu.

      Secara perlahan, tradisi ketupat ini kemudian melekat di Indonesia sebagai hidangan Lebaran.  Selanjutnya, isian beras pada ketupat dilambangkan sebagai hawa nafsu. Daun kelapa muda atau Janur merupakan singkatan dari “sejatining nur” atau cahaya sejati (hati nurani). Ketupat bisa juga berarti manusia yang menahan hawa nafsu dengan mengikuti suara hati nuraninya.

 

Tulisan Kedua

Endah Suciati, S.Pd., M.Pd.

SMPN 10 Surakarta

 

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment