Soloensis

Jalan Panjang Keberagaman dan Toleransi

flat-design-illustrated-crowd-people_23-2149196916
Sumber: Freepik

Indonesia merupakan Negara bercorak kepulauan. Ciri khas wilayah kepulauan adalah banyak keanegaragaman budaya maupun tradisi. Termasuk kepercayaan terhadap hal bersifat transenden (kepercayaan tehadap Tuhan). Fakta sosial ini menjadi kekayaan sekaligus juga rentan akan friksi atau konflik yang berasal dari perbedaan tersebut. Konflik antar kelompok (horizontal) sampai ancaman disintegrasi bisa bersumber dari perbedaan rasial ataupun sara. Catatan bangsa ini cukup banyak. Bahkan, menggambarkan tragedy kemanusiaan yang memilukan.

Sejarah mencatat, tahun 1998 terjadi konflik berbasis rasial antara warga pendatang dan pribumi (Cina keturunan dan Jawa). Setahun kemudian 1999 konflik bernuansa sara; Ambon dan Sampit, berlatar agama dan suku. Sampai pada persoalan di Wamena Papua. Sejak reformasi kurang lebih ada 10 peristiwa berbasis rasial atau sara. Melihat kondisi bangsa demikian, benar, bagai bom waktu yang sewaktu-waktu bisa muncul. Diperlukan konsesi nasional tentang komitmen bersama menjaga keberagaman menjadi sebuah kekuatan.

Pekerjaan rumah yang tidak mudah. Mencari akar masalah konflik (rasial atau sara) dan ancaman disintergrasi bangsa tentu sangat kompleks. Mengambil berbagai perspektif, sangat beragam, karena fakta obyektif bangsa ini adalah kemajemukan. Potensinya menjadi penting mampu mengintegrasikan hal berbeda-beda menjadi selaras. Sebagai motivasi kolektive, bahwa perbedaan sesungguhnya bisa menjadi kekuatan, jika itu bisa diyakini dan dikelola dengan baik.

Tidak dipungkiri hal sepele, kecil, mampu menjadi pemicu konflik besar. Orang menyebutnya semangat primodialisme. Solidaritas kelompok acap kali menjadi sumber terciptanya sentiment terbentuk. Pertama problem ini bisa dijadikan resolusi konflik. Banyak kajian ilmu sosial dirumuskan. Kajian membahas bagaimana peran kelompok dan strategi menghindari konflik tidak terjadi. Akan tetapi bangsa ini masih mencatat konflik itu masih ada dan kadang terjadi. Jika tidak dirawat dan dijadikan kepentingan bersama menjadi persoalan yang merepotkan. Bukti-bukti itu ada fakta di era reformasi 1998.

Butuh peran semua pihak merupakan resolusi kedua bagaimana kerukunan keberagaman tercapai. Apakah kajian-kajian sosial kemasyarakatan yang ada sudah cukup? Ini pertanyaan klasik. Melihat konflik rasial atau sara secara luas, bukan hanya mendera bangsa Indonesia saja. Semua Negara memiliki persoalan sama. Hanya yang membedakan adalah bagaimana komitmen Negara dan konsisten menanganinya.

Ambil contoh perang saudara di Amerika. Terjadi selama hampir 4 tahun sejak 1861–1865. Krisis kemanusiaan di Amerika yaitu bagaimana konflik terjadi dari dua kelompok yang menolak perbudakan dan satunya mendukung. Isu yang muncul adalah rasial. Yaitu diskriminasi kelompok berkulit berwarna (kulit hitam). Konflik 4 tahun tentu besar kerugiannya. Bahkan konflik tersebut menjadi salah satu perang pertama yang menunjukkan perang industri persenjataan dalam sejarah manusia. Pembuatan rel kereta, kapal-kapal uap, produksi senjata secara massal, Artinya konflik bermula sentiment rasial (warna kulit) menjadi penjajahan atau kolonialisasi suatu bangsa tertentu.

Salah satu gambaran dunia dalam konflik sipil sekala lokal menjadi meluas dan bisa berakibat fatal. Menjadi refleksi bahwa potensi konflik bersumber dari keberagaman sosial (rasial dan sara) bisa menjadi peperangan besar. Bukan hal kewajaran menyerahkan pada hukum alam. Membenarkan teori survival of the fittes (Charles Darwin), diamini, maka supremasi yang kuat yang memenangkan dan penindasan, perbudakan manusia atas manuisa lain langgeng. Jelas itu tidak sesuai cita-cita peradaban kemanusiaan yang adil dan beradab.

Salah satu pembeda manusia dan hewan adalah pada titik ini. Sepakat peradaban manusia harus di atas makhuk lainya. Manusia bisa hidup bersama dan bisa rukun saling berbagi antar sesama. Mustinya menjadi komitmen membedakan spesies manusia adalah pemimpin di bumi. Prasyarat mutlak adalah sifat kesadaran perilaku toleransi, menahan diri, adalah pondasi harus dimiliki manusia. Benar. Tidak mudah atas sifat dasar yang melekat masih dalam bentuk alamiahnya. Hal ini bisa menjadi point ke tiga perlu dirumuskan resolusinya.

Kesadaran Menerima Nilai Hak Asasi Manusia (HAM)

Konflik atau perang antar masyarakat apakah itu berbasis rasial maupun sara tentu sudah bukan hal baru menjadi bahasan dunia. Cita-cita dunia tanpa peperangan bukan hanya sebatas slogan ataupun berfikir utopia. Akan tetapi menjadi komitmen bersama seperti konvensi internasional 1947 anggota Komisi Umum PBB merumuskan draft awal DUHAM dan 10 Desember 1948 DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Selanjutnya diterbitkan resolusi 423 yang berisi himbauan semua negara anggota dan organisasi PBB untuk mengingat 10 Desember sebagai Hari HAM Internasional

Semangat dunia akan peradaban tanpa kekerasan, intoleransi dan pelanggaran Ham sudah mutlak. Ambil contoh 5 point dari resolusi hak diri (asasi) manusia yaitu; Terlahir bebas dan mendapat perlakuan sama. Hak tanpa ada diskriminasi. Hak untuk Hidup.  Hak tanpa perbudakan.  Bebas dari penyiksaan, dst. Kurang lebih 30 point dalam deklarasi piagam PBB. Mayoritas bangsa di dunia sepakat akan hak-hak asasi setiap individu. Diakui dan wajib diikuti seluruh anggota PBB termasuk Indonesia. Apa subtansi deklarasi Ham ini dibuat? Tidak lain semangat nilai-nilai kemanusiaan menjadi komitmen masyarakat dunia untuk mewujudkan peradaban yang memenuhi persamaan hak setiap individu maupun kelompok.

Spirit HAM merupakan sebuah nilai universal. Semua berkepentingan dalam hak-hak yang melekat tidak terkecuali berdasarkan rasial maupun sara. Dalam perumusan undang-undang dasar RI, HAM sebagai nilai universal, telah diserap dan dimuat dalam Konstitusi, baik dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 maupun batang tubuh UUD 1945. Artinya bangsa Indonesia secara deyure menyepakati nilai HAM yang dimiliki setiap individu dijamin oleh negara.

Bagaimana bisa terjadi konflik horizontal ketika sudah ada jaminan perundang-undangan Negara?  Di sinilah secara defakto, UU yang di buat, belum cukup mengikis sifat dasar alamiah manusia. Diperlukan pendekatan komprehensif seperti pendidikan, budaya dan semua perspektif (budaya) ikut ambil bagian mewujudkan cita-cita tersebut. Tugas kemanusiaan bagi semua memastikan bom waktu konflik ini bisa benar-benar tidak active.

Intoleransi adalah Persoalan Orang Dewasa

Sebuah cerita bagaimana intoleransi menemukan bentuknya dan menjadi pemicu dan mengendap dalam waktu lama. Berupa pengalaman pribadi. Adapaun pengalaman itu tidak bisa digeneralisasikan pada siapapun. Point pentingnya diharapkan dapat mengulik akar persoalan mendasar masalah konflik sosial berbasis rasial maupun sara. Hal menarik dari refleksi ini adalah pengalaman perilaku perampasan hak asasi atau kapan kita (sebagai pelaku atau korban) tindakan intoleransi itu terjadi.

Benar, sejarah kekerasan melekat dengan bangsa ini. Bangsa yang tumbuh tidak lepas dari konflik awal-awal kemerdekaan. Siapapun bisa bicara panjang mengenahi konflik sosial. Ibarat duri dalam daging, konflik, terus mengintai peri kehidupan bangsa. Misalnya, orang lahir 1970 an sedikit banyak memiliki informasi perilaku intoleransi (baik sebagai korban maupun pelaku). Tepatnya kami lahir tahun 1978. Banyak cerita tutur tentang catatan sejarah pasca tragedy berdarah sebelum dan setelah 1965 tentu bukan perkara sederhana di negeri ini.

Di usia anak, cerita-cerita itu menjadi cerita “horror”. Kekerasan penculikan dan penembakan misterius (jus-jusan/ petrus) dari 1983-1985 adalah cerita yang berseliweran. Usia kami kurang lebih 7 – 10 tahun, sering mendengar. Artinya mereka yang lahir tahun 70 an memahami bahwa begitu murahnya harkat hidup manusia di bangsa ini. Di pos-pos ronda, kantong-kantong perkumpulan sering obrolan itu menjadi topic menggairahkan.

Namun, bukan itu yang akan dibahas ditema toleransi keberagaman. Hanya sebagai latar belakang, bahwa yang lahir tahun itu menjadi gambaran deskripsi kekerasan dan pelanggaran HAM itu terjadi.  Bukan hanya cerita horror kekerasan. Tahun 1970 an kental masyarakat melakukan obrolan-obrolan bernuansa rasial. Yaitu sentiment warga keturunan (Cina) yang paling dominan. Pecahnya di tragedy 1998.

Sebagai anak itu merubah pandangan di dapat dari orang-orang dewasa. Sebuah paradok, ketika itu, ada tetangga ber-etnis keturunan. Untuk mempermudah cerita sebut saja namanya Mey Mey. Seumuran atau lahir tahun 1978. Sebelum mendengar cerita orang dewasa, kami, sebagai kanak-kanak bisa berinteraksi normal dan harmonis. Kita (orang jawa dan cina) melihat perbedaan rasial itu biasa saja. Tidak ada masalah. Iya. Kami bisa tertawa, sedih, bergembira dan bemain bersama. Kadang berbagi. Justru sejujurnya, Mey Mey, sering berbagi. Ketika itu masih berumur kurang lebih 9 atau 10 tahun.

Situasi berubah sejak mendengar orang-orang dewasa membangun narasi sentiment rasial (Cina dan Jawa). Sebagai anak, menjadi pengalaman tersendiri mendapatkan informasi-informasi demikian. Wajar anak mengikuti patron orang dewasa. Itu cukup mempengaruhi perkawanan kami yang awalnya manis. Terprovokasi pandangan miring etnis pendatang terhadap pribumi tak kami telan mentah-mentah. Kami belum memiliki daya kritis. Hanya kami sadar, itu hal ironis. Faktanya sebelum orang dewasa bertutur, kami bisa bermain, berbagi bersama.

Seperti tunas kuat di otak, itu menjadi kekuatan jahat tumbuh dalam batin. Jelas kemudian makna perbedaan, keberagaman menjadi di uji. Tumbuh menjadi remaja terpengaruh sentiment entah benar atau salah, ketika itu berkembang dan menjadi bagian hidup berkelompok di antara kami. Sekalipun hanya sentiment batiniah, belum perilaku destruktif. Kecemburuan menemukan bentuknya secara alamiah. Di usia itu sebatas segmentasi sosial atau terkotak-kotak. Di sekolah maupun di masyarakat terjadi dikotomi (terkotak-kotak) berdasar rasial.

Intoleransi masih sebatas bullying. Kadang dilakukan sebagai candaan, juga intimidasi. Tahun 70-an teringat ada idiom bullying seperti; “wong C*n* buntute dawa, di ketok dadi limo … menjadi bully yang kami nikmati ketika itu. Akhirnya, kemudian selesai pertemanan kami dengan Mey Mey. Demikian lah benih-benih intolerasi atau masalah rasial muncul.

Sayang jika masa kanak-kanak mendapatkan ruang sosial demikian. Remaja ada kontestasi politik pemilu 1997, seolah menemukan atmosfer intoleransi itu menguat. Berakibat mengkristal dipikiran sentiment rasial bertambah sara. Itu persoalan orang dewasa sumber influensnya? Narasinya sama, hasutan nuansa sara, rasis guna mendapat dukungan. Iya.  Usia itu dan pola pendidikan belum mampu menembus situasi di luar sekolahan (esklusif) menjadikan kesulitan bagi kami memaknai benar dan salah.

Baru kemudian sekolah tingkat universitas menjadi sadar. Ketika kuliah, usia matang dalam hal berfikir, memiliki kemampuan mereview kembali semua hal. Sebuah kekonyolan pernah menjadi pengalaman rasis, sara bagai buku diary terbuka untuk disesali.  Ada perasaan berdosa pada Mey Mey. Faktanya, kami menciderai hak dia sebagai manusia. Hal yang merubah adalah kemauan literasi dan membangun ruang-ruang diskusi yang memang terfasilitasi di pendidikan tingkat universitas. Berkenalan dengan ilmu filsafat membantu memberi pencerahan akan eksistensi setiap manusia dan humanism

Demikian cerita terkait dengan pandangan toleransi dan keberagaman. Dapat disimpulkan bahwa usia anak sampai remaja tidak memiliki kemampuan bersikap intoleran rasial dan sara dalam interaksi sosialnya. Orang dewasalah yang berkepentingan. Pada titik ini ada komoditas yang memang mengharapkan atau menjadikan isu rasial maupun sara digunakan. Anak lahir (bayi) tumbuh berkembang menjadi remaja, tidak punya kemampuan memanipulasi perbedaan warna kulit menjadi sebuah permusuhan. Itu yang benar. Kebencian dan intoleransi bukan alami tumbuh pada diri anak. Komoditas politik atau lainya adalah hal relevan untuk dipertanyakan ketika kita membahas intoleransai dan ancaman disintegrasi bangsa.

Merawat Keberagaman dan Toleransi

Keberagaman dan toleransi adalah kebutuhan umat manusia. Dunia berkomitmen mengubur dalam-dalam bibit-bibit intoleransi dalam deklarasi HAM internasional 1948. Begitu pula dengan Indonesia perundang-undangan dan dasar Negara sepakat menjadikan lambang Negara Bhineka Tunggal Eka (berbeda-beda tapi tetap satu jua). Artinya tidak cukup alasan membenarkan pelanggaran Ham sekecil apapun ditoleransi.

Bagaimna memulainya? Pertama, benar implementasi pada konstitusi Negara. Kemudian, wajib dilakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Untuk budaya masyarakat sadar hukum, maka hukum diletakkan sebagai panglima. Di Amerika (Americn Study), kesadaran hukum, mereka melakukan sebuah simulasi hukum diberikan pada sekolah sejak dasar. Peserta didik diperkenalkan dengan prosesi peradilan maupun mengajarkan metode advokasi.

Kedua, pendekatan pendidikan relevan akan pentingnya toleransi dan memaknai dan mgkontruksi keberagaman sebagai kekuatan bukan ancaman. Pendidikan esklusifisme menjadi inklusif. Pengajaran diarahkan pada fakta-fakta di luar gedung sekolah dan menarik, menjadikan, fakta-fakta tersebut sebagai pelajaran. Problem-problem masyarakat dijadikan kajian disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Peran pendidikan sangat penting dalam membangun kesadaran toleransi dan HAM. Dari ruang pendidikan menjadi sumber membangun peradaban manusia lebih baik. Selain simulasi hukum ada baiknya pendidikan memasukan satu materi filsafat sejak dasar. Filsafat adalah ruang dialektika berfikir dalam mengoreksi setiap akan dan bentuk tindakan perilaku. Filsafat adalah landasan  atau seni berfikir bijaksana.

Ketiga, sosialisasi nilai-nilai toleransi diberikan secara massif. Bukan hanya Negara dan pendidikan, semua komponen masyarakat ambil bagian berkomitmen bersama cita-cita keberagaman dan toleransi. Seperti peran seniman menjadi ujung tombak atau influencnya. Jika kita memperhatikan industry film Hollywood (Amerika Serikat) misalnya, kita bisa melihat film diproduksi bukan hanya berorientasi komersial semata. Hampir semua produksi film Hollywood mengitegrasikan tentang keberagaman dalam setiap genre nya. Produksi film-film (sinemator) Amerika, kita disuguhi berbagai adegan pluralism dengan mengangkat tokoh-tokoh pemeran lintas etnis. Seperti keterlibatan pemeran kulit hitam selalu ikut ambil bagian. Aktor seniman (sinemator) sadar betul komitmen cita-cita bangsanya akan keberagaman dan toleransi. Sekalipun kasus intolerasi berbasis rasial masih ada, namun Negara membuktikan komitmen supremasi hukum tegak. Di sinilah bentuk upaya komitmen sederhana membangun budaya toleransi dan keberagaman harus disadarkan juga diperjuangkan semua pihak.

Terakhir, setelah pendekatan hukum (konstitusi), pendidikan dan budaya, tidak kalah penting politik kekuasaan. Politik merepresentasikan persoalan orang dewasa. Kadang politik tampil dengan ketidak dewasaannya menghalalkan segala cara. Menjadi kontra produktif dan hambatan tersendiri. Tampil berwajah destruktif, menjadikan perbedaan sebagai komoditas. Butuh kedewasaan politik dan demokrasi. Kuasa dalam arti luas (tidak hanya politik) memerlukan komitmen merawat keberagaman dan toleransi. Tokoh-tokoh masyarakat perlu memiliki keteladanan. Mengambil nilai-nilai keberagaman sebagai pondasi pengaruh kepada public. Termasuk tokoh agama, seyogyanya menguatkan pentingnya toleransi dalam kajian dari pada dogma yang tidak menguntungkan akan kerukunan bangsa.

Demikian pandangan mengenahi merawat keberagaman adalah sebuah cita-cita agung. Lebih dari itu sebuah cita-cita suci yang memiliki kesamaan dengan cita-cita pengasih dan penyayang antar sesama tanpa melihat latar belakang suku, agama, warna kulit dan kepercayaan. Selain itu demokrasi adalah instrumen yang baik untuk memberikan kesempatan siapapun menyampaikan aspirasinya terhadap hak hidup dan hak bisa bersama secara normal.  Resolusi konflik dengan pendekatan konstitusional, pendidikan, budaya, dan filosofis akan akar persoalan keberagaman dan toleransi adalah jalan panjang yang  perlu diperjuangkan secara holistic.

 

Nama              : Didik Haryanto

Sekolah           : Guru SMP Negeri 9 Surakarta

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment