Soloensis

Cita-cita Dibalik Koran Harian

Pernah ditanya soal cita-cita? Dari keluargaku masih kaya raya hingga orang tuaku harus bekerja keras memenuhi panggilan SPP adikku dan uang kuliahku, entah apa cita-citaku. Diumurku yang lebih tua satu tahun dari Solopos, aku menganggap cita-citaku terselubung. Tak terlihat dan entah apa itu. Gelap. Hanya saja aku gemar membaca apapun yang disediakan orang tuaku di meja ruang tamu kami. Ibuku tidak terlalu gemar membaca, ia lebih suka berhitung tentang keseimbangan uang arisan dan belanja harian. Sedangkan Ayahku gemar sekali membaca, membaca berita.

Sewaktu kecil aku hanya menganggap bacaan bergambar seperti komik adalah bacaan paling menyenangkan. Setiap pagi Ayah selalu mendapat kiriman koran Solopos dari tetangga yang kebetulan adalah seorang loper koran. Bahkan aku pernah menganggap bahwa satu-satunya koran di dunia ini adalah Solopos. Bertahun-tahun anggapan itu ada dalam kepalaku. Sekali-kali aku mencoba membaca apa itu ‘koran’. Dulu mual melihatnya karena hanya halaman depan dan paling belakang yang ada foto berwarnanya. Didalam koran seolah tulisan-tulisan itu mencobaiku untuk membuka mata lebih lebar.

Seiring berjalannya waktu dan paksaan dari guru bahasa Indonesia untuk mengerjakan tugas, aku mulai menyambangi Solopos kembali. Selepas Ayahku bangkrut dan tidak lagi dihantar koran oleh loper kesayangannya, aku membiasakan diri untuk mencari berita lewat bacaan. Semasa SMA, aku mulai sadar bahwa kesadaran membaca orang Indonesia mulai menurun. Dari situlah aku mulai berlangganan Solopos kembali dengan mengumpulkan uang jajanku Rp. 2000/hari. Aku selalu berdebat dengan Ayahku karena aku lebih mempercayai berita di Solopos daripada di saluran televisi kesayangannya. Ibuku pun turut memekakkan telingaku dengan ocehannya.

“Duit itu bisa dipakai beli sepatu, malah tuku Solopos!” ocehan Ibuku yang manis.

Aku menganggap biasa. Seiring waktu, aku memutuskan untuk berkuliah dibidang sastra. Sampai saat ini aku menganggap orang-orang yang membuat dan membaca koran Solopos adalah orang-orang berwawasan luas juga tinggi inteleknya. Bagaimana tidak? Membaca koran membutuhkan hari yang tenang dan secangkir kopi. Bagaimana tidak? Membuat koran harus berkuliah sastra dulu agar tahu jurnalistik dan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) supaya bacaan tidak acak-adul bahasanya. Sebentar lagi aku akan magang, selangkah lagi meraih mimpi. Membaca dan membuat koran Solopos sepuasnya, menganalisa wacana-wacana didalamnya, dan sebagai anak sastra aku bangga melestarikan bahasa Indonesia dalam tulisan yang diapresiasi pembaca yang mencintai Solopos dengan setulus hati. Ini cita-citaku, bebas dalam arti bebas berkarya melalui media cetak, membaca media cetak, keliling dunia bersama wartawan, menjadi editor dibalik meja kerja.

Apakah tulisan ini membantu ?

Permata Chintia

Chinese-Javanese 19 tahun
Hampir lulus kuliah di sastra indonesia dan prihatin dengan bahasa Indonesia yang nyawanya seperti orangutan (baca: hampir punah). Otw jurnalis, selangkah jadi penulis. Menulis beberapa cerpen, satu resensi buku, ratusan puisi di laptop, satu puisi di buku, beberapa artikel di blog, ratusan tulisan di sosial media.

Narahubung melalui line permataagve atau WA +6285725100303

View all posts

3 comments