Soloensis

Stereotip yang Berawal dari Penampilan

Screenshot_20240306-134310_Drive

Aku Mirza Nashifa Zahran, bersekolah di SMP N 3 Kota Surakarta, menduduki kelas VII. Aku mempunyai dua kakak laki-laki, dan menjadi anak bungsu bagi keluargaku. Dan aku akan menceritakan pengalaman yang bisa menjadi pelajaran bagi diriku sendiri dan bagi para pembaca.

Waktu lalu aku baru saja mengalami menjadi pelaku stereotip. Stereotip sendiri memiliki makna yaitu menilai seseorang berdasar presepsi kelompok dimana individu itu berada tentang perilaku. Salah satu contohnya akan kuceritakan berdasar pengalaman pribadiku.

Liburan akhir tahun 2023 aku berlibur ke beberapa wilayah. Wilayah yang menjadi tujuanku adalah Surabaya, Madura, dan Madiun. Surabaya dan Madiun termasuk kota yang kerap kukunjungi. Rute perjalananku berawal dari Solo ke Surabaya, Surabaya menuju Madura, lalu aku kembali ke Surabaya, dan menuju Madiun, lalu kembali ke Solo.

Dalam perjalanan Surabaya menuju Madura, aku dan keluargaku berbincang di dalam mobil. Pembahasan kami adalah kemana saja tujuan yang akan kita kunjungi di Madura, dan lain lain yang bersangkutan dengan Madura. Satu kalimat yang keluar dari lisan ibunda, mampu membuatku sedikit ragu untuk merasa senang ketika berada di wilayah yang kan kutuju. Kalimat itu berputar-

putar di benakku, dan membuatku sedikit menyesal. Kalimat itu adalah ”Orang Madura itu gampang emosi, takutnya main tangan, kalau kemana mana bawa benda tajam” Dalam benakku aku berpikir mereka berpenampilan seperti orang jalanan, berkulit sawo matang, wajah yang ganas seperti memiliki alis tebal dan tatapan mata tajam. Dan mereka menyimpan senjata mereka di dalam bagasi motor mereka.

Sudah berada di wilayah Madura dan akan melanjutkan ke tempat peristirahatan. Aku berkehendak untuk berhenti di swalayan. Swalayan tersebut berada di arah yang berlawanan, saat aku akan menuju swalayan yang berada di arah berlawanan ada kendaraan roda dua yang melaju dengan kecepatan yang cukup kencang, kendaraan itu pun menyenggol kendaraan roda empat yang sedangku tumpangi, dan menghasilkan sedikit lecet di sisi kendaraan roda empat, pengendara roda dua tersebut memukul bagian belakang kendaraan roda empat. Kejadian tersebut semakin membuatku berpikir bahwa orang Madura terlalu dikendalikan emosi.

Lalu, aku sampai di tempat peristirahatan yang kutuju. Saat malam aku membutuhkan sesuatu, dan kembali menghampiri toko kelontong. Memang benar nada bicara mereka tegas, tetapi bahasa yang digunakan sopan. Yang menurutku membuat cara bicara mereka menarik adalah logat yang mereka gunakan, walau berbicara dengan bahasa Indonesia logat mereka tetap ada.

Keesokan harinya, aku pergi ke salah satu pantai yang berada di Madura. Aku memesan beberapa makanan disana, saat melihat paras sang penjual, seperti dugaan awalku. Mereka berparas sinis, ketika berbincang untuk memesan makanan nada bicaranya tegas. Tas ku terjatuh ketika aku menuju

kembali ke tempat makan. Salah satu pegawai membantu untuk mengambil tas beserta isi.

Aku merasa sedikit bersalah karena berpikir bahwa mereka semua sangat emosioal, dan acuh.

Namun tidak semua warga Madura seperti apa yang kuduga, mereka peduli pada sekitar.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment