Soloensis

Bersama Si Manis, Hidupku Lebih Berwarna

E26FF8D8-3567-4A97-82E2-97B47CB3F51C

Lagi-lagi berita mengenai kerusuhan antarsuku, kerusuhan antar agama berseliweran di media sosialku. Miris sekali. Mengapa harus terjadi keributan? Apakah karena adanya perbedaan? Padahal menurutku perbedaan yang membuat kehidupan bersosial kita indah sekali. Setiap adat dan budaya, setiap umat beragama tentu sama-sama memiliki kebiasaan dan mengajarkan hal-hal yang baik, meskipun dengan cara yang berbeda, namun justru di situlah letak keindahannya.

Masih teringat jelas kala itu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, tepatnya di SDN Begalon 2 Surakarta, tempat yang merekam kenangan-kenangan indahnya kehidupan bertoleransiku. Namanya Putri, umat kristiani yang taat, dia yang mengajarkan aku bahwa perbedaan tak membentuk jarak antara kita, justru membuat kehidupanku lebih berwarna. Putri cukup tinggi untuk anak SD seumuran kami, rambutnya ikal, kulitnya khas orang Indonesia, sawo matang, manis sekali, memiliki lesung pipi di sebelah kiri. Aku tak terlalu ingat bagaimana perkenalan pertama kami, tapi aku ingat beberapa momenku bersamanya, bersama keluarganya, yang membuatku mengerti dalamnya makna toleransi hingga kini.

“Hafidha, sapa senyum manis selalu menghiasi wajahnya ketika memanggilku.

“Iya Put,” kualihkan pandanganku ke arahnya, ikut tersenyum.

“Kita kan lagi banyak PR nih, kamu mau nggak ngerjain PR bareng di rumahku?”

“Kapan Put? Kalau hari ini sih aku ga bisa, soalnya kan belum izin sama ibuku, ujarku

“Gimana kalau besok siang? Kita ke rumahku bareng ayahku, nanti biar ayah yang nganterin kamu pulang,.

“Oke, aku kasi tau ibukku dulu ya nanti,” aku menyetujui ajakkannya.

Sesuai kesepakatan kami dan atas persetujuan ibukku, akhirnya siang itu aku mengunjungi rumahnya.

“Ibu, aku pulang.” ucap putri sembari membuka pintu.

Saat itu aku hampir saja refleks mengucap salam, kalau saja aku tak melihat salib gantung terpajang di dinding rumahnya. Jadilah aku hanya melangkah terdiam, sembari tersenyum memandangi ibunya yang datang menghampiri kami. Rasanya asing sekali, tapi sambutan hangat ibu putri mencairkan suasana kala itu.

“Anak ibuk sudah pulang, bareng siapa nih?” kini ku tau dari mana senyuman manis Putri berasal.

Kuhampiri ibu Putri, kusalami tangannya. “Saya Hafidha Bu, teman sekelas Putri.

Ibu Putri menyambut uluran tanganku, mengelus kepalaku pelan. “Iya Nak Hafidha, temennya Putri ya, silahkan duduk dulu Nak, anggap saja rumah sendiri.

Aku dan Putri duduk di sofa ruang tamu rumahnya, melanjutkan PR kami. Sepanjang kami mengerjakan PR, ibu Putri beberapa kali menghampiri kami, mengantarkan minum dan cemilan, sesekali memeriksa tugas kami, serta membantu kami mengerjakan soal-soal yang sulit. Sejak saat itu aku jadi nyaman sekali berkunjung ke rumah Putri, begitupun sebaliknya, Putri juga sesekali mengunjungi rumahku. Bahkan ketika Putri berulang tahun, aku menjadi salah satu yang pertama kali diundang olehnya.

“Hafidha, Sabtu ini, pulang sekolah bisa datang kerumahku nggak? Aku ulang tahun” Putri mengulurkan kartu undangan ulang tahun berwarna merah muda, bermotif lucu ke arahku.

Aku mengambil kartu tersebut, “Iya, aku pasti datang.

Tak seperti teman-teman muslimku lainnya yang sering kali merayakan ulang tahun di hari minggu, Putri mengadakan acara ulang tahunnya di hari Sabtu. Baru kini aku sadari hal itu dikarenakan Putri dan keluarganya akan melaksanakan ibadah mereka di hari Minggu. Mereka umat Kristen yang taat ibadah, namun sangat memiliki toleransi yang tinggi. Bahkan acara ulang tahun yang diadakan Putri dan keluarganya, menggambarkan rasa menghargai yang tinggi yang mereka miliki.

Setibanya di hari sabtu, sepulang sekolah, dengan sangat bersemangat aku memakai gaun panjang selutut, bermotif bunga kecil-kecil berwarna coklat favoritku. Jauh-jauh hari ibuku sudah membantuku mempersiapkan hadiah untuk Putri, aku memilih boneka kelinci berwarna merah muda lucu untuk Putri. Berbekalkan kado yang kupengang erat, aku akhirnya tiba di acara ulang tahun Putri. Rumah Putri sudah ramai dikerumuni oleh teman-teman sekelasku, dan juga beberapa anak-anak kecil yang tak kukenal, kuduga mereka adalah tetangga-tetangga Putri. Rumah Putri sudah tak asing lagi bagiku, tapi kali ini rumahnya dipenuhi dengan balon warna-warni di dindingnya, lagu-lagu ulang tahun terdengar mendominasi suara ke seluruh ruangan. Kulihat Putri berdiri di tengah ruang tamunya, yang sudah dihias sedemikian rupa untuk keperluan pesta.

Putri cantik sekali, bergaun khas ulang tahun yang biasa anak-anak perempuan pakai, rambut ikalnya diikat kuncir, senyum sumringah menghiasi wajahnya, sembari menyambut teman-teman yang hendak bersalaman dan memberikan kado kepadanya. Disebelah Putri, ibunya menemaninya. Hingga tiba giliranku untuk bersalaman.

“Hafidha! Makasi ya udah datang.” lagi-lagi senyuman familiar yang sangat kukenal

“Hei Put, selamat ulang tahun ya.” aku mengulurkan tanganku malu-malu, sembari memberikan kado yang sedari tadi kupegang.

“Terimakasih nak Hafidha, terimakasih sudah datang dan membawa kadonya ya,” Ibu putri mengambil kado yang kuberikan, menatap hangat ke arahku.

Acara berjalan dengan lancar, dipandu oleh pembawa acara yang menyajikan berbagai permainan dan kegiatan-kegiatan seru. Makanannya juga enak-enak sekali, mengetahui banyaknya teman Putri yang beragama muslim, mendengar dari cerita ibuku, ibu putri sengaja tak memasak sendiri dan memesan makanan melalui katering yang penyedianya beragama muslim, agar jelas kehalalan makanan-makanan yang disediakan. Kedekatan kami tak ayal membuat keluarga kami juga dekat satu sama lain. Teringat olehku, ketika ibu cerita tentang betapa besarnya toleransi ibu putri tatkala mereka pergi ke pasar bersama.

“Ibu baru pulang dari pasar? Kok siang banget,” aku bertanya heran menatap ibuku yang sedang sibuk menyusun sayur-sayur ke dalam kulkas.

“Iya tadi ibu ke pasar bareng ibunya putri, pergi agak siangan soalnya kan ibu putri mesti ibadah pagi dulu.” ucap ibuku yang masih terfokus pada sayur-mayurnya.

Kudekati ibuku, sambil membantu ibu mengeluarkan barang belanjaan agar lebih mudah untuk dimasukkan ke dalam kulkas. Kulirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul 2 siang kala itu.

“Emang ibu sudah shalat dzuhur?” Ibuku sangat disiplin mengenai jam sholat, tak boleh melalaikan sholat dengan sengaja, apalagi jika berani-beraninya meninggalkan sholat, habislah sudah.

“Sudah, tadi mampir dulu ke masjid,” Ibu berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang berbinar-binar.

“Kamu tau nggak, ibunya putri MasyaAllah banget ya,” Ibu melanjutkan ucapannya.

“Memangnya kenapa bu?” Tanyaku penasaran.

“Tadi tuh kita sebenarnya jam 12 kurang udah selesai belanja, terus pas lagi jalan pulang tau-tau udah adzan dzuhur, ibuk sungkan sebenarnya mau minta mampir ke masjid, tapi kalo nggak bilang juga bisa-bisa jam 1 lewat baru sholat dzuhur, tapi tau nggak?”

Ibu memberikan jeda pada ceritanya, aku masih terdiam mendengarkan dengan seksama.

“Ibunya Putri malah yang nawarin buat mampir dulu ke masjid, terus sabar banget nungguin ibu buat sholat dulu, abis itu baru deh kita pulang, baik banget kan masyaallah.” ucap ibuku mengakhiri ceritanya.

Lagi-lagi kami tak berhenti dibuat kagum oleh Putri dan keluarganya, masih banyak momen-momen lain yang membuat kami semakin mengerti dan mendalami makna toleransi yang sebenarnya, walaupun sekarang aku dan Putri tak sedekat kami saat di sekolah dasar dulu, namun pertemanan kami cukup untuk membuatku belajar pentingnya dan indahnya toleransi hingga kini.

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment