Soloensis

Jurnalisme di Era Pasca-Kebenaran

Peringkat kebebasan pers di Amerika Serikat dan Inggris turun. Penurunan itu akibat kebenaran jurnalistik mulai diambil alih oleh berita-berita bohong yang disebarkan media sosial. Saat ini pers menghadapi ancaman yang sangat besar.

Laporan Organisasi Wartawan Lintas Batas (RSF) seperti dikutip Kompas (27/4) ini menghentak jagad jurnalisme. Ada tantangan yang pasti akan mengancam independensi, hal yang paling prinsipil dalam dunia jurnalisme. Selama ini pemilik modal dan para penguasa (dan beberapa kelompok radikal) yang disebut-disebut paling dominan sebagai ancaman kebebasan pers. Ancaman itu jadi bertambah : berita hoax. Di laporan RSF itu indeks kebebasan pers Indonesia berada pada skor 39,93 atau pada peringkat ke-124. Tidak ada penjelasan khusus apakah peringkat kebebasan pers di Indonesia ini naik atau turun. Saya memperkirakan situasi Indonesia tidak jauh beda dengan negara-negara lainnya : kebebasan pers dalam ancaman.

Kondisi menurunnya peran pers terhadap opini publik ini memang menjadi fenomena global. Serbuan informasi secara masif di media sosial mengalahkan reputasi media mainstream yang sudah berabad-abad sebagai pembentuk opini publik. Turunnya reputasi fakta objektif dalam memengaruhi opini publik ini acapkali disebut sebagai era pascakebenaran (post-truth). Menurut Kamus Oxford, post-truth adalah Relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief atau “sesuatu yang berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang sesuatu yang menarik perhatian emosi dan kepercayaan pribadi”.

Banyak kalangan menilai kemenangan Donald Trump di pemilu Amerika Serikat dan kasus Brexit di Inggris menjadi fakta kemenangan “ketidakbenaran” dalam memengaruhi pendapat massa. Dalam batas-batas tertentu, Pilkada Jakarta yang baru usai juga tidak lepas dari pengaruh informasi tak benar yang berseliweran di media sosial.

Apa yang harus dilakukan jurnalisme dalam menghadapi situasi seperti ini? fakta objektif dalam jurnalisme adalah ruh atau kredo yang sangat penting. Verifikasi fakta sebelum berita dipublikasikan merupakan kewajiban yang harus dilakukan para jurnalis sebagai cara untuk mencari fakta objektif itu. Bandingkan dengan informasi yang diunggah di media sosial. Tak ada kredo yang mengatur kewajiban verifikasi. Setiap orang bisa memproduksi konten. Sifatnya yang massif dan mudah memviralkan konten, media sosial memang lebih cepat menjangkau audiens ketimbang media arus utama. Konten di media sosial lebih mudah untuk sampai ke publik, tak peduli apakah konten itu berupa fakta yang layak disebarkan, isu, gosip atau kabar palsu murahan. Apalagi jika konten media sosial itu menyinggung soal emosi, keyakinan massa, keyakinan kelompok maka akan lebih gampang menyebar. Karakter media sosial seperti itu kemudian banyak dimanfaatkan para politisi untuk memengaruhi psikologi massa secara murah dan mudah.

Istiqomah

Banyak pengelola media mainstream yang tergagap-gagap menghadapi situasi itu. Sebagian mencoba meniru langgam media sosial terutama untuk mengejar kecepatan menyampaikan berita. Langkah-langkah verifikasi yang butuh proses panjang ini mulai ditinggalkan. Sebagian media cukup menjadikan media sosial sebagai sumber berita tanpa melakukan verifikasi yang cukup. Untuk menarik pembaca/pengakses, media mainstreams (khususnya yang berbasis internet) menggunakan judul-judul tak lazim untuk menarik pembaca.

Langkah ini tentu sebuah kemunduran. Derajat media sosial sebenarnya di bawah media mainstream, terutama jika dipandang dari sudut “kebenaran” fakta. Menjadikan media sosial sebagai sumber berita sama saja melecehkan nilai jurnalisme. Tak aneh bila media arus utama banyak yang terkecoh, tertipu oleh akun-akun palsu. Sungguh menggelikan.

Akan lebih terhormat para pengelola media massa untuk tetap pada jati diri (istiqomah) sebagai penjaga kebenaran fakta. Tidak perlu ikut arus dalam banjir informasi yang tak menyehatkan ini. Tantangan media arus utama justru pada bagaimana memproduksi konten yang berbobot dan berkualitas yang didasarkan atas fakta-fakta yang sahih. Saya yakin meski banyak orang yang emoh terhadap fakta objektif, masih banyak pula yang berpikir waras. Orang-orang waras ini yang perlu menjadi target audiens media massa. Saya sendiri merindukan konten-konten media hasil liputan mendalam maupun investigasi sehingga kita akan mendapatkan informasi yang terpercaya. Karena hal ini yang menjadi ruh dari jurnalisme.

Sayangnya tradisi investigasi kian kehilangan pamor di Indonesia. Saya jarang menemukan karya jurnalistik yang benar-benar bisa membongkar kebusukan dengan cara liputan yang bisa dipertanggungjawabkan. Perusahaan pers banyak yang menghindari praktek jurnlisme investigasi karena ingin bermain “aman”, aman dari gugatan hukum, aman dari penguasa, dan aman dari kritikan pengiklan. Investigasi memang berisiko, dan tentu saja, membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit.

Saya sangat yakin era “pasca-kebenaran” tidak bertahan lama. Era ini sekadar episode sejarah yang menyimpang dari kewarasan (anomali). Anomali merupakan fenomena penyimpangan dari kewajaran. Anomali biasanya akan sementara, sehingga pada saatnya publik akan menemukan “keseimbangan “ baru dalam hidupnya. Anggap saja ini era dagelan. Lumayan buat bahan mentertawakan diri sendiri. Suatu saat orang akan menyadari dan kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang berakal, entah kapan….

Semoga…

Solo, 27 April 2017.

Apakah tulisan ini membantu ?

sholahuddin

Laki-laki pencari Tuhan.....

View all posts

Add comment