Soloensis

Dear Hater, Hi Lover

Pernahkah suatu ketika kita berpikir bahwa semua orang akan mencintai, menyayangi dan mengasihi kita. Bahwa tidak ada seorang pun yang membenci kita, sesembrono atau sehati-hati apapun kita, sebaik atau seburuk apapun sikap dan tindakan kita? Jika pernah maka itu adalah pikiran yang sia-sia.

Kita berhati-hati atau sembrono selalu berkonsekuensi kepada dua hal, dibenci dan dicintai. Dua hal itu sering muncul secara berbarengan. Pakar ilmu sosial mendiang Stephen R. Covey menyebut akan selalu ada konsekuensi logis pada setiap tindakan yang kita ambil. Dicintai atau dibenci, dipuja atau dicela, didukung atau ditentang adalah dua konsekuensi logis yang harus siap diterima setiap individu.

Dalam setiap sisi kehidupan selalu ada pembenci (hater) dan pencinta (lover), di bidang apapun tanpa terkecuali. Kebaikan punya banyak pendukung tetapi selalu menyisakan pembenci. Sebaik apapun seseorang, sehebat apapun tindakannya bagi kemaslahatan manusia, di sana selalu ada pembenci. Selurus apapun aparat penegak hukum, sebijaksana apapun pejabat, ia harus siap pada konsekuensi dicintai dan dibenci sekaligus.

Sebaliknya, keburukan mempunyai banyak pembenci tetapi selalu menyisakan pencinta. Itulah mengapa koruptor begitu murah senyum walaupun duduk di kursi pesakitan. Meski ia menyengsarakan hidup banyak orang, tetap ada segelintir pendukung yang bakal membelanya, dengan motif yang beraneka ragam.

Hater dan lover adalah bagian dari kehidupan. Kita tentu ingat dengan fenomena dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Rivalitas antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto menumbuhkan gesekan tiada henti di kalangan pendukung masing-masing dan bahkan masih belum hilang hingga sekarang. Hater dan lover bermunculan kendati mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan kontestan yang bertanding dalam Pilpres

Pembenci Jokowi atau Prabowo mencari celah sekecil apapun untuk menyerang pihak yang dicela. Tak peduli caranya, bahkan kerap memakai cara-cara yang mengingkari nurani. Pembela Jokowi atau Prabowo akan membuat proteksi super ketat bagi calon yang didukung. Kadang-kadang caranya pun mengingkari kemanusiaan. Singkat kata hater dan lover bisa menghalalkan atau mengharamkan segala cara demi orang yang dibenci atau dicintai.

Hater dan lover juga marak di kalangan selebritas. Setiap pesohor punya pendukung dan pencela. Sedikit terpeleset ramai-ramai pembenci akan memasang hujatan, meme dan aneka cemoohan lainnya. Di saat bersamaan barisan pendukung juga akan membuat pagar betis serapat mungkin untuk melindungi sang idola.
Contoh terbaru adalah Rizky Firdaus Wijaksana. Pelawak bernama beken Uus Komika itu panen hujatan terkait tweet-nya tentang hijaber yang gila K-Pop. Tapi ia segera mendapat pembelaan bertubi-tubi dari mereka yang mungkin juga tidak menyukai arus musik dari Korea Selatan itu.

Mentalis Deddy Corbuzier adalah salah satu contoh selebritas yang sangat sadar tentang keberadaan hater dan lover bagi kariernya di dunia hiburan. Dengan terang-terangan di acara televisi yang dipandunya ia mengakui sifat asli dirinya yang sombong. Di saat yang sama ia menunjukkan kepada hater dan lover bahwa dirinya punya kecerdasan dan keahlian yang membuatnya layak dicintai/didukung.

Motivator Mario Teguh tak lepas dari fenomena hater dan lover. Gara-gara perseteruannya dengan seorang pemuda bernama Ario Kiswinar, pamor pria yang akrab dengan jargon “salam super” itu terjun bebas. Ribuan bahkan mungkin jutaan orang menghujatnya meski tidak sedikit pula yang membelanya. Hal yang sama terjadi pada Kiswinar. Banyak orang mendukung langkahnya menuntut hak sebagai anak Mario Teguh tapi tidak sedikit pula yang mencelanya karena dianggap pengakuannya bermotif ekonomi.

Pakar psikologi Dr. Sigmund Freud menyebut benci merupakan cerminan dari ego (keakuan) seseorang untuk menghancurkan sumber-sumber ketidakbahagiaannya. Kebencian adalah dampak dari rasa tidak aman, tidak stabil, rasa khawatir. Seseorang yang menampakkan kebencian biasanya karena tidak yakin dalam posisi yang aman. Oleh karena itu, menurut Freud, biasanya mereka tidak akan bertindak sendirian melainkan melancarkan hasutan-hasutan untuk mencari pendukung sesama pembenci.

Era media sosial (medsos) sekarang ini kian memudahkan eksistensi hater dan lover. Jika dahulu tebaran kebencian bersifat konvensional melalui lembaran kertas, orasi-orasi dan sebagainya kini di era medsos semua hasutan atau pembelaan lebih gampang dilakukan. Waktunya pun relatif lebih cepat dan mudah. Tinggal klik, copy paste dan share. Sederhana, mudah dan cepat tapi dampaknya luar biasa bagi publik

Baik hater maupun lover sama-sama berada pada kondisi yang potensial tidak objektif. Lover kerap mencintai sesuatu melebihi batas. Apa yang dilakukan orang yang dicintai bakal dibela habis-habisan, bahkan ketika sang idola berbuat salah sekalipun. Sebaliknya hater juga akan membenci orang tersebut dengan tidak proporsional. Apapun yang dilakukan orang dicari celahnya untuk dicela dan dibenci.

Lalu bagaimana seharusnya? Yang ideal tentu saja menjadi orang yang berada di tengah-tengah. Dalam Islam ada istilah ummatan wasathan atau umat pertengahan. Umat pertengahan dimaknai sebagai orang menempatkan sesuatu secara wajar dan adil. Jika orang yang dihormatinya berbuat baik akan dipuji sewajarnya, bila orang tersebut berbuat salah bakal diingatkan dengan penuh kasih sayang.

Ummatan wasathan menempatkan keadilan sebagai motivasi setiap perbuatan. Ia akan mengkritik secara adil atas dasar keinginan untuk memperbaiki, bukan menghukum apalagi mempermalukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak kecuali kepada kebenaran, serta tidak berbuat sewenang-wenang.

Menjadi orang yang adil tentu sangat susah. Kondisi sosial kadang-kadang mempengaruhi kebijaksanaan seseorang. Seseorang yang bijaksana suatu ketika bisa bertindak sangat kontraproduktif, membenci secara membabi buta, tidak memberi nilai objektif pada sesuatu yang kebetulan dibencinya itu.

Term ummatan wasathan (adil) ini sebenarnya berlaku general, tidak hanya untuk Islam. Seseorang yang mampu bertindak secara adil, berada di pertengahan (netral) akan bisa bertindak secara bijaksana. Boleh jadi ia tidak suka kepada sesuatu/seseorang tetapi ketidaksukaannya itu tak membuatnya berlaku melebihi batas. Ia tetap bisa berlaku adil atas ketidaksukaannya tersebut. Jika musuh bertindak benar maka dia akan mengakuinya sebagai sebuah kebenaran.

Pekerjaan rumah terbesar bangsa ini adalah menjadi umat yang pertengahan, yang mampu berlaku adil, bukan saja kepada temannya tetapi juga kepada musuhnya.

(Naskah dimuat Solopos, 10 Oktober 2016)

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

Add comment