Soloensis

Puasa dan Konsumerisme

Puasa dan konsumerisme. Dua hal yang bertolak belakang. Puasa merupakan ibadah untuk mengendalikan diri, tidak hanya mengendalikan makan, minum, tapi juga mengendalikan semua hawa nafsu yang merusak. Sedangkan konsumerisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat. Dari berbagai artikel yang saya baca, konsumerisme selalu mengarah pada cara berpikir bahwa kepemilikan barang tertentu akan menaikkan status sosialnya, yang tentu saja membahagiakan bagi yang mempercayainya.

Danielle Todd bahkan menyindir kita semua. Dia mengatakan You Are What You Buy….Anda adalah apa yang Anda beli. Hampir mirip dengan Danielle Todd, Twitchell (2002) seperti dikutip Ali Gunes (2015) juga berpendapat bahwa “Hasil kapitalisme modern, revolusi industri, dan pemasaran adalah bisa dilihat dalam cara hidup kita sekarang. Anda sebenarnya bukan apa yang kamu buat, melainkan Anda adalah apa yang Anda konsumsi.” Dari sudut pandang ini, konsumerisme seolah menjadi keniscayaan pada alam modern ini.

Meski puasa dan konsumerisme menjadi dua sisi yang berbeda, konsumerisme justru menemukan momentumnya pada bulan Puasa (disusul Lebaran). Pada situasi ini konsumerisme kian meningkat. Setiap individu, keluarga, hampir bisa dipastikan akan mempersiapkan budget (anggaran) khusus menyambut puasa dan Lebaran, baik untuk kebutuhan makan dan minum (sahur dan berbuka puasa) maupun untuk membeli barang-barang yang dipercaya menjadi hal penting untuk berlebaran.

Akibat budaya konsumsi yang tinggi di bulan Ramadan ini, harga-harga barang, baik kebutuhan pokok maupun bukan, cenderung meningkat. Karena itu pemerintah jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri dengan menyediakan stok yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok puasa dan lebaran. Fenomena meningkatnya konsumsi saat Puasa sebenarnya sebuah ironi. Bila kita kalkulasi konsumsi makan dan minum selama puasa, mestinya tingkat konsumsi terhadap kebutuhan pokok akan turun. Saat puasa praktis setiap pemeluk Islam rata-rata hanya makan dua kali sehari dari biasanya yang tiga kali.

Sayangnya setiap keluarga yang berpuasa, khususnya ibu-ibu rumah tangga, ada kecenderungan untuk menyiapkan menu makanan “istimewa” baik pada saat sahur maupun berbuka puasa. Seolah-olah ada perasaaan yang tidak enak bila kita menyantap makan sahur dan buka puasa dengan menu yang biasa kita makan di luar Ramadan. Akibat perilaku konsumsi seperti ini pengeluaran keluarga meningkat saat Puasa, serta melonjak tajam menjelang Perayaan Idul Fitri.
Kalau fenomena ini kita tanyakan pada diri sendiri, benarkah kita membutuhkan menyantap makanan istimewa selama berpuasa? Toh ajaran puasa tidak pernah menyinggung soal keistimewaan menu makanan saat bulan puasa?. “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Secara umum Allah justru meminta kita untuk tidak berlebihan saat makan dan minum. Peringatan Allah acapkali kita abaikan pada saat bulan Ramadan.

Perilaku konsumsi terus melonjak saat menjelang Lebaran karena konsumsi keperluan Lebaran tidak hanya makanan dan minuman, tapi termasuk belanja barang-barang lain, seperti fashion untuk berlebaran. Ada tradisi seolah-olah Lebaran tidak bermakna tanpa baju baru. Makin mendekati Lebaran pusat-pusat perbelanjaan makin ramai. Barang-barang yang laris tak melulu soal sandang-pangan, tapi juga barang-barang lain yang sesungguhnya tidak relevan dengan Idul Fitri. Setiap menjelang Lebaran, penjualan motor, mobil, serta barang-barang elektronik selalu meningkat.

Bukan Sekadar Ritual

Tradisi bersilaturahmi pada Lebaran banyak yang memaknai bukan sekadar ritual usai Ramadan. Pada momen itu nuansa “unjuk diri” pada lingkungan sekitar. Seolah sebagian dari kita ingin mempertontonkan kesuksesan dengan mempertontonkan kepemilikan dan konsumsi barang-barang tertentu yang dapat menaikkan status sosial kita. Tradisi “unjuk diri” ini tentu saja melenceng jauh dari makna menyambung tali kasih saat Idul Fitri.

Ramadan menjadi pasar baru yang banyak dimanfaatkan kalangan pelaku bisnis. Mereka ingin menggunakan kesempatan itu untuk meraup keuntungan besar. Tidak heran bila pelaku usaha gencar merayu konsumen melalui iklan-iklan di berbagai media massa. Seolah semua pelaku usaha ingin menawarkan produknya untuk puasa dan berlebaran. Padahal bisa jadi produk yang ditawarkan tidak berhubungan dengan suasana puasa dan lebaran. Tapi ya itulah fakta yang terjadi. Perputaran uang pada puasa dan Lebaran dipastikan meningkat tajam. Secara ekonomi, memang ada hal positif karena ekonomi jadi bergerak. Namun tentu ada batas-batas tertentu agar konsumen tidak masuk kategori melampui batas. Berbelanja melebihi apa yang kita butuhkan masuk kategori berlebihan, apalagi bila itu bisa merusak nilai puasa dan Idul Fitri.

Pada situasi seperti ini sebagai umat Islam kita perlu kembali kepada semangat berpuasa. Inti puasa adalah “mengendalikan diri” terhadap semua hal yang merusak diri kita. Kebahagiaan puasa bukan diukur dari betapa istimewa yang tersedia di meja makan kita. Kebahagiaan Idul Fitri juga bukan dinilai dari kepemilikan barang baru yang melekat dalam diri kita. Kebagiaan puasa dan lebaran adalah saat kita mendapatkan pintu ampunan dari Yang Maha Kuasa.

Tujuan akhir dari puasa adalah menjadi “insan bertakwa”. Salah satu ciri orang bertakwa adalah ia menjadi pribadi-pribadi yang rendah hati. Ia tidak berperilaku berkonsumsi secara berlebih sekadar untuk menaikkan status sosial. Bagi insan yang bertakwa : Anda bukanlah apa yang Anda beli, tapi Anda adalah apa yang Anda amalkan…

Semoga…

Keterangan : Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tumang edisi 16/tahun 2017.

Apakah tulisan ini membantu ?

sholahuddin

Laki-laki pencari Tuhan.....

View all posts

Add comment