Soloensis

Ibu adalah Pahlawan Toleransi Keberagaman

—Pngtree—ibu dan anak muslim_8633333-min

Toleransi, adalah kata yang sering kita dengar akhir-akhir ini. Banyak kasus intoleransi yang terjadi, seperti pembullyan di sekolah, pelarangan beribadah oleh oknum-oknum tertentu, perbedaan pelayanan publik karena status client, dan masih banyak berita-berita yang membahas tentang tindakan intoleransi.

Secara tidak sadar, intoleransi terjadi di sekitar kita. Ada orang yang merasa iba atau menggebu-gebu merasa tidak adil atas berita intoleran yang terjadi di sosial media, tetapi secara tidak sadar mereka pun melakukan aksi intoleran juga. Contohnya, kasus yang baru hangat terjadi di awal tahun 2024 ini adalah pilpres. Beberapa pendukung paslon yang kalah merasa iba atau tidak terima karena merasa kekalahannya disebabkan oleh ketidak adilan hukum karena kedudukan salah satu paslon yang dianggap kuat karena punya “orang dalam”. Ya, mereka merasa menjadi korban tragedi intoleran hukum itu. Eits.. tapi coba deh lihat komen-komen pendukungnya, apakah mereka tidak sadar bahwa yang mereka lakukan merupakan tindakan intoleran juga? Contohnya, “Ahli neraka jahanam kau!”,”Tatapan mata licik sama persis dengan ketua KPU!” dan masih banyak lagi.

Bukannya saya menilai siapa yang salah siapa yang benar. Bukannya saya berarti timses dari salah satu paslon. Mari kita belajar dari realita yang sedang terjadi di Indonesia ini. Kemajuan teknologi mempunyai dampak yang luar biasa. Di sisi positifnya, informasi dapat menyebar dengan cepat. Bahkan jejak-jejak digital dapat membuka kasus besar seperti korupsi, pembullyan, penyalah gunaan kewenangan dan lain-lain. Dari segi negatifnya, banyak informasi yang tidak disaring di internet. Banyak bermunculan berita hoaks, penipuan dalam jual beli maupun kasus peminjaman online dan lain-lain. Selain itu komentar-komentar netizen yang tidak bijak pun banyak bermunculan di kolom-kolom komentar dan membuat perpecahan di media sosial.

Hubungan antara sosial media dan intoleran ini sangat erat kaitannya. Dengan maraknya beberapa kasus intoleran di media sosial ini hanya bisa disaring dengan pengetahuan yang luas dan pikiran yang positif oleh masing-masing orang. Pendidikan toleran pada dasarnya ada pada keluarga terutama pada IBU. Dikutip dari sebuah artikel penelitian oleh Rizki Nur Safitri (2020) mahasiswa UNESA yang mengangkat “Pengaruh Nilai Toleransi Keluarga dan Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Karakter Toleransi Anak” menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan tingkat pendidikan ibu terhadap karakter toleransi anak dan nilai toleransi keluarga terhadap anak. Saya sangat setuju dengan pendapat ini. Saya akan mengambil kasus kecil saja yaitu pendidikan ibu saya di rumah.

Keluarga besar dari ibu saya sangat beragam dilihat dari latar belakang suku, budaya dan ekonomi. Ada yang beragama Hindu, Kristen, Katolik dan Islam. Ada yang berasal dari daerah Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Ada yang dari suku Sunda, Jawa dan Tionghoa. Tetapi entah kenapa keluarga tetap akur dengan perbedaan yang ada. Semua terjadi begitu damai, tanpa ada rasa permusuhan, iri dan dengki. Bahkan kita saling belajar dari keberagaman tersebut.

Ibu saya selalu mengajarkan bahwa harta bukanlah segalanya. Statemen yang sampai sekarang saya ingat adalah “Kenapa kita eman mengeluarkan uang? Apalagi untuk keluarga sendiri. Lagian, uang juga semakin dieman-eman semakin cepat habis.” Dari situlah muncul konsep di keluarga “Bantulah orang lain, kelak saat kamu susah, siapa tahu mereka adalah jalan keluarmu.”

Lho apa hubungannya dengan rasa toleran? Jangan salah, dengan konsep “tidak pelit” inilah secara tidak sadar muncul rasa toleran di keluarga kami. Di bulan Ramadhan ini, seperti biasa ibu saya menyiapkan sembako untuk keluarga dekat dan sesepuh di keluarga besar. Kaya-miskin, islam-non islam semuanya diberi sama rata. Meskipun kehidupan ekonomi keluarga saya tidak sekaya seperti bayangan anda sekalian, meskipun hanya satu kilo gula, kami akan berikan sebagai ucap syukur kepada yang Maha Kuasa dan mempererat tali silaturahmi antar sesama. Tak hanya keluarga, orang-orang yang bekerja dekat dengan keluarga kami pun juga dapat bagiannya. Tukang sampah, satpam, mbak yang sering membantu menyetrika baju keluarga kami, bahkan nenek-nenek lengganan kerupuk yang sering lewat depan rumah juga tidak tertinggal.

Konsep sedekah ibu saya pun saya terapkan ke dalam profesi saya sebagai seorang guru. Secara pribadi saya menilai, “Ilmu itu seperti sedekah, semakin banyak kamu menyebarkan ilmu, semakin kayalah ilmumu juga. Tetapi jika kamu pelit akan ilmu, ya ilmumu akan segitu-segitu aja, tidak bertambah.” Hal ini selalu saya sampaikan kepada semua siswa saya di kelas.

Hal ini menjadi konsep toleransi ilmu saya yang saya terapkan dalam pembelajaran saya. Saya memperbolehkan anak berlajar atau berdiskusi dengan teman saat pelajaran. Sambil saya mengajarkan bahwa teman itu tidak pandang bulu. Yang pintar mengajari yang kurang pintar. Yang pintar juga harus selalu rendah diri jika ada teman yang meminta bantuan.

Ada sebuah kejadian, ada salah satu siswa kelas saya di kelas 7, dia orangnya pendiam, dan tidak mudah bergaul dengan teman sekelasnya. Suatu ketika, saya memberikan tugas kepada seluruh siswa kemudian secara bergantian, satu per satu, saya berkeliling di kelas untuk mengoreksi jawaban mereka. Memang soal itu tidak mudah bagi siswa baru tingkat SMP, tapi saya sengaja memberikan soal itu untuk mengetes problem solving masing-masing siswa. Dan yang benar saja, hanya tiga siswa yang benar menjawab pertanyaan. Salah satunya siswa pendiam itu. Meskipun dia mendapatkan nilai sempurna, tetapi teman sebangku mendapatkan nilai jelek. Sudah saya prediksi, mereka akan mempunyai nilai yang berbeda dilihat dari salah satu karakter anak pendiam itu. Tapi siapa sangka, nilai yang tinggi diperolehnya. Uniknya, saya sengaja memarahi anak pendiam itu dengan berkata, “Kamu tuh gimana to, nilaimu aja 100 kok ga ngajarin temen sebangkunya. Mbok dibantu gitu.” Saya sengaja memarahi dia dengan kata-kata melambungkannya agar dia mempunyai sikap percaya diri. Siapa sangkat ternyata dia sebenarnya pintar. Responnya, tentu saja hanya tersenyum malu.

Dari situlah, disetiap pelajaran saya anak itu mulai percaya diri. Teman-temannya yang awalnya menjauhinya karena terlalu pendiam, mulai mendekatinya saat saya berikan tugas untuk minta diajarkan cara mengerjakannya. Saat awal ditanya suaranya kecil, sekarang tidak usah disuruh, dia akan maju ke dapan kelas mengerjakan soal.

Suatu ketika, ada seorang guru mengeluhkan anak itu karena di kelasnya hanya diam saja. Beliau juga bercerita bahwa anak itu termasuk berkebutuhan khusus berdasarkan tes dari puskesmas yang rutin dilakukan untuk siswa kelas 7. Tentu saya kaget, karena hal itu tidak terjadi di kelas saya. Saya ceritakan pengalaman saya itu kepada beliau, beliau pun juga terkejut dengan sikap anak itu di kelas saya. Kemudian ia mempraktekkan dengan cara yang sama dan akhirnya menunjukkan hasil yang baik pula.

Dari pengalaman itu, saya selalu menjaga sikap adil dan toleran saat pelajaran. Tidak pandang bulu, siapa saja mendapat perlakuan dan pembelajaran terbaik dari saya. Saya pun jarang marah ataupun sok menceramahi di kelas. Dengan nada yang tidak menceramahi, saya berusaha menggiring siswa atas apa yang dilakukannya benar atau salah. Saya bukan tipe guru yang mendengarkan segala keluh kesah siswa, bahkan saya tipe yang cuek dengan masalah pribadi mereka. Saya takutnya dengan mendengar keluh kesahnya, saya menjadi sosok guru yang pilih kasih. Saya hanya mengajarkan nilai-nilai kehudupan agar mereka dapat bertahan dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Toh, dengan kalian menceritakan masalah kalian kepada orang lain, belum tentu masalah itu terselaikan kan? Masalah akan selesai oleh pilihan dan keputusan yang kita ambil sendiri, bukan orang lain.

Siswa yang pintar atau kurang pintar, normal atau berkebutah khusus, baik atau nakal, semuanya sama sebagai seorang manusia. Semua mempunyai hak menuntut ilmu diluar bagaimana perilaku dan sikap mereka. Kelas akan nyaman dengan keberagaman yang ada apabila guru pun dapat menerima keberagaman itu dengan lapang, baik kelebihan maupun kekurangannya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Safitri, Rizki Nur. 2020. Pengaruh Nilai Toleransi Keluarga dan Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Karakter Toleransi Anak. https://ejournal.unesa.ac.id

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment