Soloensis

Kumaafkan dan Kupahami Niat Baikmu, Guruku

9baebbf4d4ddd7cc79b4b6b8ae03da0f

Pelecehan verbal merupakan jenis pelecehan dengan melontarkan kata kata atau ucapan yang bersifat melecehkan, menghina, merendahkan atau mengancam. 

Seperti pengalamanku, Zulfahri, siswa kelas X di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kabupaten Klaten. Aku pernah mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari salah satu guru yang saat ini sudah purna tugas. Mirisnya guru tersebut adalah salah satu guru agama yang seharusnya mengajarkan adab berbicara dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai kesopanan.

“Koe sesok aja nganggo rok yo”. Dalam Bahasa Idonesia artinya suatu saat nanti kamu jangan memakai rok. Rok adalah salah satu pakaian yang dipakai oleh wanita.

Ucapan itu, membuatku terbelalak dan tidak percaya akan dilontarkan oleh seorang guru kepada muridnya. 

Awal kejadianya, Aku dan beberapa teman dipanggil wali kelas untuk penugasan. Dalam perjalanan dari kelas menuju ke ruang guru, tepatnya di depan ruang teori 1 Aku berpapasan dengan guru tersebut. Pada saat itu, pak guru sedang bercakap-cakap dengan beberapa siswa. 

Tidak kuduga, pak guru menghampiriku. Memulai percakapan dengan menanyakan alamat rumah.Ada yang aneh dari sikap pak guru terhadapku. Pak guru menelisik penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku merasa tidak nyaman, terlebih terlontar kata-kata yang menurutku tidak selayaknya diucapkan seorang guru terhadap anak didiknya. 

Selama ini, aku mengenal guru adalah sosok yang penuh dengan keteladanan. Selalu menjaga ucapan dan perbuatan terlebih lagi di depan anak didiknya. Seketika itu, aku merasa malu dan sakit hati karena dilihat dan didengar oleh teman-teman. Perawakanku memang tidak seperti karakter yang melekat pada laki-laki umumnya, yang tinggi, berbadan besar, berahang keras, berwajah maskulin layaknya gambaran tokoh CEO dalam novel, cool, suara tegas. Aku memiliki postur badan yang tidak begitu tinggi,sedikit berisi. Aku memiliki karakter ceria, lebar senyumnya, dan ceriwis.

Meskipun terlihat feminim, tetapi aku menyadari bahwa aku adalah laki-laki. Aku memang sering berinteraksi dengan teman-teman Perempuan, tetapi bukan berati aku ingin menjadi Perempuan. Aku bisa mengerjakan tugas yang dilakukan seorang laki-laki. Aku juga memiliki keterkaitan dengan lawan jenis. Aku juga mempunya banyak teman laki-laki.

“Lanang i dolanane bola” . Anak laki-laki harus bermain bola katanya. Apakah harus seperti itu konsepnya? Sementara perempuan yang jago bermain bola juga banyak. Laki-laki yang sukses sebagai penari, make up artist, desainer juga banyak. Kalau hobi dikaitkan dengan gender lantas digunakan untuk merundung seseorang, bukankah itu malah melemahkan kreativitas?

Ada perasaan tidak terima di dalam hatiku akan satu pernyataan yang dilontarkan pak guru.Akan tetapi, perkataan itu tidak dapat kutuliskan di sini sebagai bentuk penghormatan untuk guruku. Begitu sarkas dan tabu. Bahkan teman-teman yang pada waktu itu bersamaku merasa tidak percaya kalimat itu akan dilontarkan oleh seorang guru.

Aku tidak berani menceritakan kejadian ini kepada orang tuaku. Aku takut akan semakin panjang urusannya. Meskipun sebenarnya ada perasaan tidak terima dan sangat susah untuk dilupakan. Yang membuatku tidak habis pikir sampai saat ini, jika aku salah, mengapa tidak ditegur dengan cara yang lebih bijaksana.

Selang beberapa waktu, pada pembelajaran Projek Penguatan Pelajar Pancasila (P5) aku memberanikan diri untuk bercerita di depan wali kelas dan teman-teman satu kelas. Kebetulan tema P5 yang dipelajari adalah Bhineka Tunggal ika.

Pada waktu itu, wali kelas mengajak pembelajaran di mushola sekolah. Wali kelas menyampaikan permasalaha perundungan yang saat ini menjamur di lingkungan sekolah. Pada sesi berbagi pengalaman. Aku tergugah menceritakan semua pengalamanku. Aku meluapkan semua kesedihan dan kemarahan yang selama ini kupendam. Air mataku lolos begitu saja. Tanpa rasa malu aku menceritakan semua tidak ada satupun yang kukurangi.

Ada perasaan lega setelahnya. Wali kelasku memotivasiku untuk lebih Ikhlas dan memaafkan. Selama ini, saya berusaha untuk melupakan dan memaafkan tetapi entah mengapa begitu sulit rasanya.

Hingga, beberapa waktu lalu. Aku terdaftar sebagai salah satu peserta literasi keberagaman yang diselenggarakan oleh Solopos Institute di sekolahku. Luka yang kuperjuangkan mati-matian harus kuungkapkan lagi dalam sesi berbagi cerita. Aku semakin lega karena teman-teman dan guru-guruku mau mendengarkan ceritaku. Aku mantap untuk memaafkan karena manusia tempatnya salah dan khilaf. Mungkin ini yang terjadi pada guruku pada waktu itu. 

Aku mencoba untuk berpikir positif. Apa yang disampaikan guruku pada waktu itu adalah peringatan untukku agar tidak tergerus akan zaman yang semakin edan. Pandai membawa diri sesuai dengan kodrat dari sang maha pencipta.

Tulisan ini bukan seakadar aksara yang mengungkap keburukan seseorang. Tulisan ini kupersembahkan untuk teman-teman yang memiliki pengalaman yang serupa. Memaafkan adalah hal terbaik yang harus kita lakukan untuk belajar menjadi dewasa. Menyimpan rasa benci dan dendam hanya akan mengotori pikiran. 

 

Nama : Zulfahri Hutabarat

Asal Sekolah : SMKN 3 KLATEN

Kelas : X Perhotelan 1

Email : hutabaratfahri776@gmail.com

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment