Soloensis

KEBERAGAMAN, HARMONI KEBAHAGIAAN

Ilustrasi : https://www.liputan6.com

KEBERAGAMAN, HARMONI KEBAHAGIAAN

 

Keberagaman merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Jika kita telusuri sejarah, tidak dipungkiri bahwa bangsa kita didirikan dengan kesadaran penuh tentang  keberagaman yang ada. Bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku, Bahasa, agama, adat & budaya, dan keberagaman lainnya, yang menjadikan Indonesia semakin kaya. Keberagaman disatukan dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, Berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan pada lambang negara, yang dikutip dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular dari masa Majapahit di abad ke-14. Kesadaran akan keberagaman sudah tertanam sejak nenek moyang kita. Bertolak dari hal tersebut, maka keberagaman adalah pondasi dan modal bagi kita.

Hal yang harus menjadi perhatian adalah kekuatan dan bumerang dapat timbul dari keberagaman. Tidak hanya dalam kehidupan berbangsa namun juga dalam keseharian. Keberagaman dapat menjadi kekuatan jika semua pihak mengakui dan menyadari adanya keberagaman, serta menjadikannya sebagai acuan positif untuk berkolaborasi dengan yang lain. Namun   keberagaman akan menjadi bumerang saat ada pihak yang tidak mau menerima keberagaman, merasa lebih dari yang lain, serta selalu memperuncing keberagaman yang ada.

Alur jaman mempengaruhi Keberagaman. Sebagai anak bangsa sudahkah kita benar-benar memahami, menghargai dan menerima  keberagaman? Hanya diri kitalah yang tahu, maka buka mata dan hati. Kita selalu berada dalam suatu keberagaman, bagaimana dengan menghargai dan menerimanya? Tidak usah jauh-jauh, misalnya teman-teman kita saja. Amati teman-teman kita, apakah mereka sama? Tentu saja mereka tidak sama. Apakah teman yang berbeda dengan kita menganggu atau membuat kita tidak suka? Kalau demikian, berarti kamu belum bisa menerima keberagaman.

Menerima keberagaman itu menyenangkan. Saya banyak belajar dari keberagaman teman-teman. Kebetulan saya dulu pernah menjadi anak kost, kost saya merupakan mini Indonesia. Selain belajar di tempat berbeda, mereka berasal dari daerah yang berbeda. Tentu saja suku, agama, adat-istiadat, karakter dan penampilan mereka beragam. Pertama bersama mereka memang sering membuat heran, bingung, marah, akhirnya berkata dalam hati kok gitu sih. Bagaimana tidak, teman-teman saya sebelumnya rata-rata sedaerah, yang mana karakternya sudah saya mengerti.

Salah satu hal yang menarik adalah cara berkomunikasi. Ada teman yang ceplas-ceplos dan apa adanya, ada yang bicaranya keras seperti di pantai, ada yang pendiam, suka senyum-senyum saja, juga ada yang jarang bicara kecuali pas ada keperluan. Sehari-dua hari masih kaget, orang kok ceplas-ceplos tanpa tendheng aling-aling, seperti tidak punya perasaan saja. Benar juga beberapa kali ada yang tersinggung karena merasa tersindir dan tidak terima. Sepanjang pengalaman, orang berbicara harusnya mempertimbangkan agar lawannya tidak tersinggung. Dari beberapa konflik yang terjadi, usut punya usut teman tersebut ternyata memang cara bicaranya seperti itu.  Jadi tidak bisa kita memaksakan orang lain harus  berbicara seperti kita. Lama-kelamaan terbiasa juga berbicara dengan teman yang beragam cara berkomunikasinya, pada akhirnya tujuan/pesan tersampaikan.

Mereka juga sering menggunakan Bahasa daerah masing-masing jika bertemu dengan teman sedaerahnya. Teman dari daerah lain yang berada di tempat yang sama mungkin merasa terabaikan dan merasa tidak dihargai. Tapi kembali lagi, kita tidak bisa kan memaksakan orang untuk selalu seperti diri kita. Mungkin saja mereka kangen dengan daerahnya, kemudian diungkapkan dengan berbahasa daerah. Sebenarnya sayapun sering tanpa sadar berbicara dengan bahasa daerah jika bertemu dengan teman sedaerah. Ternyata sama saja, memang kita akan selalu kembali ke akar kita.

 Seiring berjalannya waktu, kami bisa menerima keberagaman berkomunikasi dan berbahasa. Menariknya, kami malah saling belajar bahasa daerah. Memang tidak mendalam, sebatasa istilah gaul/ keseharian yang sering kami pakai. ‘Inyong kencot”, istilah teman dari Cilacap jika dia lapar, “Lah lum, ayo?”, sudah belum ayo sapa teman dari Bangka jika mengajak keluar. “Sampean sudah korah-korah?”, kamu sudah cuci piring? pertanyaan teman dari Tuban. Ada juga yang unik, ada beberapa istilah sama namun artunya berbeda. “Atos” dalam Bahasa Jawa artinya keras, dalam bahasa Sunda artinya sudah atau selesai. “Gedang “ dalam Bahasa Jawa adalah pisang, dalam bahasa Bali artinya pepaya. Sama-sama nama buah tetapi berbeda jenisnya . Asyik juga mengenal berbagai bahasa daerah di Indonesia yang beragam.

Selain bahasa makanan daerah mereka juga berbeda-beda. Saat paling menyenangkan, ketika mereka kembali dari mudik. Masing-masing membawa oleh-oleh khas daerahnya. Bisa mencicipi makanan dari berbagai daerah. Teman dari Bengkulu membawa Lempok dan kemplang, jarang lho dodol durian & kerupuk ikan seperti itu di Jawa.  Yang dari Jawa Timur membawa jajanan Madu Mongso, rasanya manis-manis asam. Dodol Garut yang legit dibawa teman dari Garut. Beda lagi yang dari Tangerang, yaitu Juhi. Kalau Juhi harus dimasak dulu, karena masih berupa cumi kering. Tidak setiap teman menggemari makanan tersebut, namun keberagaman makanan memperkaya pengetahuan tentang makanan daerah & menyatukan kami. Tidak salah kalau oleh-oleh makanan itu selalu dinantikan.

Cara komunikasi dan makanan daerah merupakan contoh kecil keberagaman yang saya pelajari dari teman-teman. Penerimaan akan keberagaman dapat menjauhkan kecurigaan, memperluas wawasan & membuka cara pandang. Bahwa keberagaman itu sesuatu yang dapat menyatukan jika setiap orang bisa menerima & menghargainya. keberagaman bukan suatu yang harus dipertentangkan, Keberagaman memberi warna dalam kehidupan. Sederhana saja, keberagaman harmoni kebahagiaan.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment