Soloensis

Warna-warni keberagaman

Perbedaan itu indah
Untuk rakyat Indonesia, mari kita bergandeng tangan mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun tetap satu!

Dunia memang senang sekali berlaku gila; lebih-lebih pada Kevin dengan kewarasannya yang nyaris tandas dan terkuras dikarenakan tugas matematika yang tak kunjung selesai, meski sudah dibantu oleh teman-temannya. Lebih tepatnya, hanya dia yang berpikir. Rasanya, ia hanya ingin segera berdoa di klenteng supaya tugasnya cepat selesai. Ditengah kalutnya kevin dengan segala rumus dan angka yang tercetak di bukunya, bel berbunyi, menandakan bahwa jam pulang akan tiba lima menit lagi.

 

Ketika sang guru menginstruksikan untuk mengerjakan tugas tersebut di rumah, kemudian pergi dari kelas, teman-teman sekelasnya langsung berselebrasi dan suasana kelas sudah seperti pasar loak di hari minggu (setidaknya, bagi Kevin). Suara gemerisik buku yang dimasukkan dengan tergesa-gesa ke dalam tas, bisingnya konversasi dari meja ke meja, dan berbagai keriuhan lain yang membuat Kevin, sebagai ketua kelas, hanya bisa menghela nafas.

 

Setelah kelas dibubarkan, pria berkacamata itu segera bergegas untuk pergi ke studio, membahas festival seni yang akan diadakan di balai kota.  Sebetulnya ia tidak begitu menyukai acara yang ramai, namun karena sahabat sahabatnya diajukan untuk festival seni ini, ia mau tak mau juga harus berpartisipasi. Sahabat satu jurusan yang berasal dari berbagai latar belakang. Beberapa orang seringkali bertanya kepadanya, Tidakkah susah berteman dengan perbedaan agama maupun ras? Tentunya ia selalu menyangkal hal tersebut, defensif.

 

Kevin sendiri merasa bahwa hal tersebut memberikan kesempatan untuk belajar dan tumbuh sebagai individu, supaya bisa menjadi seseorang yang toleran dan inklusif, tidak diskriminatif. Namun, tentu seperti halnya dalam setiap hubungan, ada tantangan yang mungkin timbul ketika berteman dengan orang-orang yang beragam. Tetapi, dengan komunikasi yang baik, sikap terbuka, dan sikap hormat satu sama lain, kita dapat mengatasi perbedaan tersebut dan bahkan dapat menjadikannya sebuah alat untuk memperkuat hubungan.

 

Cukup dengan acara-pengutaraan-gagasan, Kevin membuka pintu dan disambut dengan para sahabatnya yang sedang bercanda ria dengan satu sama lain, sebelum salah satu dari mereka, Farel, menyadari presensinya. Mereka semua kemudian menoleh dan menarik kursi untuk Kevin, tentu Kevin tersenyum tipis dan mendaratkan badannya ke kursi berwarna merah tanpa mengucapkan apa-apa.

 

“Nah, karena semua sudah disini, kita bahas pembuatan lukisan dari sekolah kita untuk besok malam. Hari ini bu guru pembimbing juga tidak bisa masuk, jadi kita harus mandiri mempersiapkannya,” ucap Gita, salah satu teman baik kevin. Gadis cantik keturunan Tionghoa yang beragama Buddha.

 

Lio, yang asalnya dari papua dan memiliki perawakan yang tinggi, kemudian melanjutkan, “Ah iya, kita perlu membagi tugas untuk besok. Kalau bisa sih, aku ingin bawa kuasnya. Nanti aku pastikan supaya cukup untuk kita semua.”

 

“Aku bawa catnya saja. Besok kita diharuskan kumpul jam berapa?” Tanya Kevin setelahnya.

 

“Jam setengah tujuh saja lah, supaya pas dan kita bisa persiapan terlebih dahulu sebelum acaranya dimulai,” ucap April, keturunan batak beragama kristen yang memiliki kepribadian keras. Kevin mengangguk dan mengalihkan pandangannya, Gadis berambut panjang itu tak akan mudah menyerah dengan tujuannya sekalipun jika hal-hal itu akan menyusahkan dirinya sendiri.

 

Nana, gadis beragama hindu yang keluarganya berasal dari Bali, hanya turut menganggukkan kepalanya, tidak ada intensi untuk mengutarakan pendapat.

 

Gita menoleh ke arah Farel yang memainkan bola basketnya sedari tadi. Gita kemudian menegakkan badannya, “Kalau jam tujuh lebih saja bagaimana?”

 

April kemudian menekuk alisnya, memasang wajah bingung namun terlihat bahwa ia berusaha menerka alasan Gita, “Oh, karena Farel harus beribadah di masjid dulu, ya?”

 

Gita kemudian mengangguk dan Farel mengiyakan pertanyaan tersebut. Kevin kemudian berujar seraya membenahi letak kacamatanya, “Yasudah, kita berangkat jam tujuh lebih. Jangan lupa untuk membawa alat yang sudah didiskusikan.”

 

Pria berekspresi datar itu kemudian berdiri dan mengambil tasnya, berjalan keluar dari studio,  ujaran ketusnya Kembali mengudara, “Kesehatannya. Dijaga.”

 

Ketika figur Kevin sudah tidak berada di radar mereka lagi, Nana kemudian tertawa geli, “Dia sebenarnya perhatian sekali dengan kita, tapi berusaha menutupinya.”

 

Farel ikut terkekeh, “Sok dingin, memang.”

 

 

Selang satu hari, Festival seni pun dimulai. Setibanya Lio di balai kota, ia melambai ke arah teman-teman akrabnya. Farel segera merangkul Lio dengan ceria dan mengajak mereka semua untuk menyanyikan jargon jurusan mereka, alias DKV, yang kemudian di tolak mentah-mentah oleh April.

 

April sadar bahwa raut Lio bahkan terlihat lebih muram ketimbang lukisan Giotto Di Bondone jika diperhatikan dengan awas. Ketika yang lainnya sedang sibuk menyiapkan kanvas dan cat, April bertanya dengan pelan ke Lio, apa ada suatu hal yang terjadi. Lio tersenyum getir dan menggeleng, “Hal biasa. Aku hanya merasa beberapa orang melirik sinis ke arahku.”

 

Lio adalah seseorang yang tak pandai berkomunikasi dan seringkali terlampau baik hati hanya untuk sebatas mengekspresikan perasaannya. Tapi, April mengenal Lio lebih lama dari sekadar festival seni di dinginnya malam hari, maka hal seperti itu bukan lagi apa-apa dibanding saling memahami.

 

April kemudian memasang ekspresi wajah yang sedih, berempati atas perasaan Lio, “Itu bukan hal biasa dan tidak pantas untuk dinormalisasi. Lain kali langsung saja panggil aku, biar aku yang bantu.”

 

“Bantu? Untuk?”

 

“Bantu tarik rambut mereka satu-persatu.”

 

Lio tertawa renyah mendengar jawaban April dan mengusak rambut gadis itu sebelum mereka berdua segera berdiri untuk membantu teman-temannya mulai melukis. Mereka seringkali bercanda selagi mengulas cat di kanvas besar mereka, tentu tak lupa bagi mereka untuk menjahili Kevin hingga pemuda berwajah lempeng itu merajuk.

 

Singkat cerita, lukisan bertema beragam kebudayaan Indonesia pun telah mereka selesaikan. lukisan tersebut menampilkan sekelompok orang dari berbagai latar belakang etnis, budaya, dan agama, yang bersatu dalam sebuah adegan yang harmonis. Nana membawa lukisan tersebut ke panitia untuk kemudian dibingkai dan dipajang untuk dipertontonkan. Panitia festival tersebut tak lama kemudian mengumumkan bahwa akan ada acara tamabahan untuk menjadikan sebuah dinding yang disediakan sebagai media untuk mural dengan tema bebas bagi para seniman yang sudah datang.

 

Hal tersebut ternyata menjadi sengketa antara berbagai kelompok yang ingin menggambarkan kebudayaan ras, suku, dan keagamaan mereka. April, Lio, Nana, Kevin, Farel, dan Gita, meskipun tidak terlibat secara langsung dengan konflik tersebut, tetap merasa sedih karena perpecahan yang timbul karena permasalahan sepele.

 

April mengusap wajahnya kasar kemudian maju untuk mengutarakan pendapatnya, “Gambar saja semuanya! Kita semua berhak untuk mendapatkan representasi yang kita inginkan dan pantas untuk mendapatkannya.”

 

Kevin sejenak tertegun begitu mendapati April mengucapkan pemikirannya dengan lantang, sebelum kemudian ia membenarkan posisi kacamatanya.

 

Kevin mengangkat bahunya dan memasukkan ponselnya ke saku, “maaf tidak memulai mural ini dengan ceria, tapi memang sudah sepatutnya kita saling merangkul dan menyertakan keberagaman secara adil ke dalam dinding ini, tidak peduli akan suku apa atau agama apa yang paling bagus, karena hal tersebut tidak benar adanya. Semua suku, ras, dan agama memiliki keindahannya sendiri,” Lewat ujarnya yang terselip dengkus di ujung kalimat, Gita tahu, rekan sejurusannya itu sudah kepalang ingin pulang sedari tadi.

 

Kakofoni balaikota semakin senyap, mendengarkan para pemuda tersebut berbicara dengan penuh kepercayaan diri.

 

“Kami membawa gagasan bahwa seni adalah suatu hal yang bersifat universal, dan dapat menyatukan berbagai kalangan dari berbagai latarbelakang, Tidak melulu tentang mayoritas.” Farel berujar cukup keras— mengalihkan perhatian tiap insan hingga atensi seisi balaikota berpindah padanya.

 

Gita mengerlingkan matanya, ia terlalu malu untuk sekadar turut memberikan pendapatnya. Nana pun juga sama halnya, mereka berdua jarang sekali berani berkata jika situasinya sudah seperti ini, tidak seperti April yang merupakan seorang perempuan pemberani.

 

Lalu, terdengar tarikan napas dari samping tubuh yang sontak dilepas berat. Lio mengusap tengkuknya, “Jadi, semuanya, ayo kita buat mural ini secara inklusif, tidak membeda-bedakan dan tentunya secara positif.”

 

Para partisipan berbisik-bisik namun perkataan mereka terdengar positif, beberapa dari mereka terlihat kagum dengan pemuda pemuda yang ada di depan mereka.

 

Setelah koordinasi dari panitia untuk segera memulai mural, mereka semua membuat mural dengan lebih ramai dan saling bergurau, setiap warna dan garis dibuat dengan tawa oleh mereka semua. maka Kevin telah sadar ia menemukan tempat yang sebenar-benarnya nyaman disemayami; sebuah rumah.

 

Hingga saat mural tersebut telah selesai, menggambarkan berbagai kebudayaan ras, suku, agama, dan lain lainnya dengan elemen-elemen simbolis yang menegaskan pesan tentang persatuan dan keberagaman. Farel, Nana, Gita, Kevin, Lio, dan April tersenyum puas melihat hasil karya mereka semua, berbagai gaya dan ciri khas lukisan mereka yang berbeda kemudian bersatu padu di permukaan dinding, sama seperti mereka yang meskipun berbeda-beda, tetap satu jua.

 

Anita Delia Putri Anto

SMPN 2 Ska

8c

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment