Soloensis

Harmoni Keberagaman Di Solo

HARMONI KEBERAGAMAN DI SOLO

Oleh : Naufal Rafi Alkhalafi dari Siswa SMA Negeri 1 Mojolaban 

Saya sebagai orang Indonesia merasakan sekali di negara Indonesia memiliki ragam keberagaman yang aktif, baik itu keberagaman agama, suku, ras, budaya, dan lain sebagainya. Indonesia adalah negara dengan sejuta keberagaman. Keberagaman yang ada telah dikemas menjadi simbol persatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Yang berarti kita harus bersikap toleransi antarumat beragama dan berbudaya.

Apalagi saya adalah wong solo yang artinya orang yang lahir di Solo. Solo atau Kota Surakarta terkenal dengan slogannya “The Spirit Of Javayang berarti jiwanya jawa. Lekat dengan budaya kraton dan jawa ini bukan berarti pembatas bagi budaya lain. Bahkan, Solo adalah bukti nyata kedamaian akulturasi.

Waktu saya beranjak dari fase anak-anak ke remaja, saya baru mengenali lebih dalam tentang kota saya, Solo. Di Kota Solo keberagaman agama sangat rekat dan lengkat, bahkan ada masjid dan gereja yang saling berdampingan dengan hanya dipisahkan oleh tembok pembatas dijalan Gatot Subroto 222, Kraton, Serengan, Solo. Ini tidak menjadi konflik, tapi berbagi rasa toleransi dan kerukunan yang menggambarkan wong solo tinggi akan toleransi.

Saya menyadari bahwa kerukunan ini bukan hanya sekadar simbol, tetapi menjadi realita sehari-hari di Kota Solo. Saya juga mengunjungi sejumlah tempat ibadah lainnya yang dianggap sebagai inti cagar budaya untuk menyaksikan secara langsung contoh kehidupan harmonis antarumat beragama. Masjid Agung Surakarta, Langgar Laweyan, Langgar Merdeka, Gereja St. Antonius, Klenteng Tien Kok Sie, dan TITD Poo An Kiong merupakan beberapa contoh bangunan yang memiliki nilai budaya dan keagaman tinggi di mata wong solo.

Setiap night ride yang saya lakukan untuk menjelajahi Kota Solo, saya tidak hanya merasakan vibes pemandangan arsitektur yang memukau dan sarat budaya, tetapi juga dengan pelajaran tentang harmoni dalam toleransi antarumat beragama, antarras-suku-bangsa, bahkan antargenerasi. Kota Solo menjadi bukti nyata bahwa keberagaman kepercayaan dapat berakulturasi dalam kerukunan, demi menciptakan lingkungan di mana setiap orang dihargai dan dihormati apapun nilai yang diyakininya.

Setiap bulannya pasti ada festival yang menjadi event menarik yang ada di Solo. Sudah tidak heran kalau di Kota Solo mengadakan event-event seputar tentang kesenian dan kebudayaan bahkan keagamaan.

Baru-baru ini saya mengunjungi Kampung Ramadhan dan Solo Light Festival di Kota Solo. Sepanjang satu bulan penuh Ramadhan 1445 H/2024, saya melihat kawasan Balaikota Surakarta dipenuhi dengan ornamen Islam khas Ramadhan yang gemerlap. Tentunya yang mengunjungi Kampung Ramadhan bukan hanya umat muslim saja. Banyak dari nonmuslim juga ikut memeriahkan Kampung Ramadhan. Ini juga merupakan bentuk toleransi antarumat beragama dengan menghargai perayaan masing masing agama.

Culture shock saya disini ketika bulan Ramadhan salah satunya banyak restoran yang menutup setengah pintu dari gerainya, untuk menghargai umat muslim dalam melakukan puasa. Seperti contohnya McDonald’s Slamet Riyadi Solo, tempatnya ditutup penuh bahkan jendelanya juga ditutup, tetapi masih bisa pesan di dalam tempatnya, contoh lainnya seperti hik yang ada di sekitar Kota Solo, biasanya ditutupi menggunakan kain agar yang berpuasa tidak tergoda dengan es teh nya atau keinginan untuk mokel.

Pengalaman indah teman saya yang merupakan pengunjung asing dari luar Kota Solo yang pastinya tentang gemerlap dekorasi lampion yang ada di Pasar Gedhe. Hiasannya selalu apik dan memberi kesan gayeng tentang atmosfer di Solo. Setiap menjelang perayaan hari besar, Kota Solo selalu berinisiatif membuat instalasi lampu sepanjang jalan menuju Pasar Gedhe untuk memeriahkannya. Ini memberi saya pelajaran juga bahwa kita harus bisa hidup berdampingan untuk kehidupan yang tenang.

Budaya Solo menjadi warisan budaya dunia, Kota Solo merupakan icon budaya dan tradisi. Banyak keberagaman budaya yang bisa saya ikuti di Kota Solo, seperti hal nya festival kebudayaan atau Festival Payung di Kota Solo. Budaya Jawa merupakan hal yang paling mencolok di Kota Solo, dengan berbagai macam motif batik yang aesthetic, keris-keris yang bersejarah, bahkan kebudayaan ke-kratonan yang dilakukan abdi dalem juga berakulturasi di Kota Solo. Kebudayaan yang masih lekat ini juga berkat usaha masyarakat Kota Solo untuk selalu menginovasikan budaya lokal menjadi ajang festival yang meriah.

Pada awal saya bergaul dengan AGATA atau istilah keren dari Anak GAul surakarTA. Saya berpikiran negatif karena di Kota Solo kebanyakan masyarakatnya berkulit sawo matang dan berbudaya jawa kental, saya takut tidak diterima di lingkungannya karena saya berkulit kuning langsat dan berbahasa sunda. Ternyata pemikiran seperti ini salah, karena dengan kita terbuka dengan bangga tentang agama yang kita anut, dari mana ras kita, dan budayanya seperti apa, banyak orang akan memahaminya sebagai ilmu baru bukan perihal yang dipermasalahkan.

Seperti contohnya perayaan Hari Nyepi dan Kuningan di Kota Solo. Meskipun di Kota Solo mayoritas pemeluk agama Islam, aktivitas semeton Hindu tidak pernah mendapatkan masalah, bahkan didukung oleh masyarakat sekitar mereka tinggal. Bahkan pada Hari Raya Galungan bahan baku pernak-pernik untuk prasarana persembahyang mudah didapatkan dengan harga yang normal, Hari Nyepi juga dilakukan secara tenang tanpa ada kebisingan, tidak memandang bulu walaupun umat Hindu di Kota Solo adalah minoritas. Tapi masyarakat sekitar tetap menghargai Hari Perayaannya.

Minoritas bukan terbatas, adalah kata kata yang tepat untuk keberagaman agama di Kota Solo. Pawai ogoh-ogoh pertama kali digelar di Kota Solo. Ogoh-ogoh merupakan patung boneka beraneka rupa yang menjadi simbolisasi unsur negatif. Teman saya yang berumat Hindu di Kota Solo mengungkapkan perasaan bangga karena masyarakat sekitar mau menerima dan ikut memeriahkan pawai ogoh-ogoh sebagai salah satu cara perayaan Hari Raya Nyepi.        

Tidak hanya di Solo, di Bali pun tingkat rasa toleransinya setara dengan masyarakat Solo. Karena saya adalah remaja kelahiran gen-z tentunya saya sangat aktif di media sosial. Akhir akhir ini ramai beredar tentang netizen yang memberikan hujatan untuk masyarakat Bali. “Yang nyepi-nyepi aja gak usah ngajak umat lain nyepi, terawih kok disuruh dirumah! Ini merupakan tindakan intoleran, masjid juga gak banyak didirikan.” ujarnya. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu, di Bali rasa toleransinya sangat bagus, Banyak juga masjid yang didirikan di Bali. Ternyata netizen tersebut bukan berasal dari Bali, karena itu dia tidak memahami kedalaman toleransi di Bali.

Orang-orang seperti itulah yang perlu kita rangkul atau kita beri edukasi tentang bahaya nya dampak memecah belah bangsa sendiri. Karena jika kita merespon secara negatif dengan kasar sama halnya dengan cyberbullying. Indonesia dikenal sebagai negara kesatuan, kita juga harus ikut menyatukan masyarakatnya juga, bukan hanya menyatukan kebudayaan. Menyadarkan orang-orang lebih patut dari pada menghakimi.

Keberagaman bukanlah suatu hal yang mengarah ke negatif atau konflik. Kita sebagai warga Indonesia memiliki keberagaman budaya, patutnya mengenali kebudayaan kita masing masing pribadi dahulu sebelum mengenali kebudaya orang lain. Dengan kita mengenal budaya tersebut baru kita memperkenalkan kebudayaan kita kepada orang lain.

Sama halnya dengan keberagaman agama, kita cukup menghargai dengan tidak membuat ricuh saat Hari Perayaan agama maupun bertoleransi dengan melakukan ibadah agama masing masing. Keberagaman tidak termasuk hal yang bisa disepelekan, karena bentuk dampak keberagaman itu juga tergantung cara kita untuk menyikapinya. Ini semua antara aku, kamu, dan keberagaman Indonesia

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment