Soloensis

Kontroversi Rumah Gempol

ilustrasi

Hai ingin cerita sedikit nih. Sebut saja saya Nha. Saya hanyalah rakyat biasa yang menjadi jemaat di suatu gereja, sebut saja gereja ‘X’.  Gereja ‘X’  ini berdiri atau dibangun dan disahkan di tahun kelahiran saya. Setelah gereja ini berdiri lima bulan kemudian saya dilahirkan mamak saya di dunia ini.

Gereja ‘X’ ini di dirikan tanggal 11 Juni 1994, di suatu desa, di mana masih sedikit bangunan dan penduduk di sekitarnya. Pada awalnya seperti biasa suatu tempat ibadah yang baru merintis mengenalkan pada masyarakat bahwa ada gereja di sekitar agar orang yang mempunyai agama atau kepercayaan yang sama dapat beribadah di tempat yang lebih dekat.

Setelah beberapa tahun berdiri, suatu hari gereja ini mempunyai tetangga baru, tepat rumahnya di sebelah gereja ‘X’. Di sinilah awal mula pertikaian atau konflik terjadi. Kita sebut saja tetangga baru ini  dengan keluarga bapak M. Keluarga kecil yang terdiri dari ibu bapak dan seorang anak laki – laki. Bermata pencaharian penjual gempol pleret.

Pada awalnya pihak gereja tidak tahu menahu jika keluarga ini keberatan dengan adanya tempat ibadah di tempat itu. Setiap kali ibadah ada orang yang melempari kotoran  di depan gereja, selesai beribadah jemaat menemukan kotoran yang sengaja di buang di depan gereja ‘X’. Setiap kali jemaat pulang melewati rumah keluarga bapak M ini jemaat menyapa tetapi tidak ada respons yang positif,

Waktu berjalan terus dan kami terbiasa dengan hal – hal yang dilakukan bapak ini terhadap gereja ataupun jemaat di gereja itu. Tiba saatnya gereja mempunyai acara, di mana kebiasaan gereja memberikan bingkisan kepada tetangga – tetangga gereja, sekeliling gereja, ketua RT dan ketua RW setempat.

Pada saat jemaat memberikan bingkisan ke rumah keluarga bapak M, beliau ini menghujat dan membuang bingkisan dari gereja ‘X’ hingga membuat takut jemaat yang di utus untuk menyampaikanya. Namun jemaat tidak berhenti memberi terhadap keluarga ini walau ada trauma tersendiri, jika ada acara kerja bakti jemaat gereja memborong dagangan bapak M ini.

Terkadang bapak ini menjadi pelopor lingkungan agar menentang adanya tempat ibadah di mana gereja ini berdiri. Namun karena kearifan pendeta dan jemaat, jadi lingkungan hanya sedikit yang dapat di pengaruhi oleh bapak ini.

Tahun demi tahun terlewati, dan semakin lama bapak ini seperti satpam yang setiap para jemaat latihan untuk mempersiapkan ibadah bapak ini duduk di depan gereja dan membunyikan tiang listrik hingga para penduduk keluar karena ketakutan atas suara yang dibunyikan Bapak M ini. Setelah jemaat hentikan latihan ketukan bapak M ini dihetikan.

Hingga pada suatu hari ada acara pertemuan bapak – bapak kampung penduduk sekitar memperingatkan bapak M ini agar tidak memukul tiang ataupun mengganggu  saat ada acara di Gereja ‘X’.

Agar dapat menghargai keyakinan satu dengan yang lain, dan warga kampung merasa tidak enak dengan pendeta gereja ‘X’ yang tertib dan tidak pernah melanggar aturan dan selalu memberikan bantuan untuk penduduk yang membutuhkan saat terkena musibah ataupun tidak mampu di kampung itu.

Setelah beberapa tahun bapak M ini mau menikahkan anak laki laki semata wayangnya dan terhambat oleh dana, bapak M ini ingin meminta bantuan ke kampung sehingga melakukan hal – hal yang baik untuk kampung, rajin ikut pertemuan bapak – bapak kampung, mengikuti iuran warga, ikut gotong royong,dll.

Bapak M ini berkonsultasi dengan bapak RT setempat dan bapak RT menyampaikan kepada pendeta gereja ‘X’ agar membantu dana dan kebutuhan bapak M. Singkat cerita pedeta gereja ‘X’ ini memberi bantuan dan mengerahkan jemaat untuk ikut gotong royong membantu keluarga bapak M ini sampai acara lancar.

Tahun demi tahun terlewati dengan sifat bapak M ini kembali membuat onar dengan gereja X setelah hajatan anaknya selesai. Dan bapak M ini mencoba menjual rumahnya yang di sebelah gereja namun tidak laku karena luasnya kecil namun harganya tidak sesuai dengan harga sekitar. Setiap hari tidak henti setiap doa pagi, ibadah di gereja semua warga gereja mendoakan agar gereja dapat membeli rumah bapak M supaya tidak ada gangguan ketika peribadahan berlangsung.

Beberapa tahun kemudian gereja memutuskan untuk membeli rumah bapak M tersebut dengan segala keinginan yang diajukan bapak M ini, sehingga gereja mempunyai hutang di bank dan hingga sekarang belum lunas. Namun setidaknya peribadahan berjalan lancar sembari warga jemaat mencari dana bertahun – tahun untuk membayar utang geraja.

Dari cerita diatas, kiranya kita diajarkan supaya kita seharusnya bertoleransi satu dengan yang lain, kita bersosialisasi dengan orang lain. Saling menghormati dan menghargai seharusnya tumbuh dari hal kecil, karena Negara kita menjunjung tinggi ketoleransian. Sekian dan terimakasih.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment