Soloensis

Senang Mengenalmu Mepy

IMG-20230402-WA0023
Seorang Dokter Kristiani dari Papua

Namaku Ani, Anissa Puji Lestari. Gadis kelahiran 2004 yang sekarang usianya telah dituntut untuk mewujudkan kisah yang pernah diangankan. Masa remajaku telah aku habiskan sebagian untuk memilah mimpi – mimpi yang tengah aku perjuangkan sekarang. Putri dari seorang ayah yang dilabeli gelar ‘kyai’ oleh sebagian orang. Kini aku tinggal bersama keluargaku di salah satu desa dengan dengan moderasi toleransi yang tinggi.

 

   Suatu malam, aku iseng menemukan akun salah satu sekolah kesehatan terbaik di Solo. Disana terpampang foto gadis berambut ikal yang sedang tersenyum, berperawakan seperti orang timur dan ditangannya dia mengangkat piala. Aku lupa dia menjuarai apa, karena saat itu hanya ada perasaan kagum yang fokus memperhatikan postingan di instagram tersebut.

 

   Kulihat akun instagram tersebut mengetag wanita cantik yang tengah bungah membawa piala emas yang dijuarainya. Kubuka akun wanita tadi, dan kudapati ada beberapa postingan maupun sorotan tentang berbagai kegiatannya. Ternyata dia warga Wamena, Papua, yang tengah menempuh pendidikan dokter di Solo.

 

   “ follback kak, Ani” ku awali obrolan pada malam hari itu. Sejam, dua jam tak ada balasan. Barulah esok hari ada dm masuk

 

   “done ya Ani”

 

   “terimakasih kak, wah kakak abis dapet juara ya. Congrats ya kak!” dengan polosnya aku menimpali balasan dia dengan kata – kata cringe itu

 

   “hehe, terimakasih Ani” balasnya ditambah emot tangan yang saling menempel membentuk isyarat terimakasih

 

   Kami masih melangsungkan komunikasi hingga pada akhirnya dia meminta nomor whatsAppku. Mengakhiri dm-an kita dan menuliskan ‘nanti aku chat kamu ya’. Aku tak bermimpi akan berkenalan dengan dia sejauh ini.

 

Hari – hari berlalu, dahulu aku yang hanya ingin sekedar mencari tahu tentang lika – liku mahasiswa kedokteran, sekarang aku makin akrab dengan sahabat baruku. Kami makin rajin chattingan, kadang juga video call. Baginya, aku bukan lagi bocah SMA asing yang hanya sekedar tanya tentang dunia perkuliahan. Dia mengatakan aku salah satu teman favorit baginya.

 

   Beberapa bulan aku mengenal dia, kami akhirnya sepakat untuk bertemu. Kebetulan rumahku dekat dengan tempat wisata. Aku mengajak Mepy untuk mengunjungi beberapa tempat – tempat indah yang ada di Kemuning. 

 

   Pertama aku mengajaknya ke kebun teh. Mepy mengatakan bahwa di tempat asalnya tidak ada tanaman teh seperti yang kita kunjungi pagi ini. Mepy berasal dari Baliem, Wamena, Jayawijaya. Meski Mepy mengatakan jika daerahnya dan daerah yang ia kunjungi sekarang sama-sama memiliki temperatur suhu yang rendah. Mepy baru menemukan hamparan kebun teh disini.

 

   Raut wajahnya menunjukan bahwa dia senang dapat berkunjung ke daerahku. Dia banyak menghabiskan foto-foto disini dengan berbagai gayanya. Dia juga bercerita bahwa di Papua ada salah satu tempat dimana disana terdapat hamparan pasir putih. Bukan di pantai, melainkan di lembah, Lembah Baliem. Aku yang tak percaya akan kondisi alam itu tapi Mepy mencerikan secara detail bagaima keadaan disana.

 

   Hamparan pasir putih di Lembah Baliem itu berpadu dengan bebatuan besar disekitarnya. Yang aku herankan disana juga terdapat pepohonan yang tumbuh subur menambah eloknya alam Wamena. Dalam pikirku, aku bertanya bagaimana ada hamparan pasir dan bebatuan yang sekaligus menumbuhkan berbagai pepohonan disana. Tapi, hal itu menjadikannya unik.

 

   Mepy juga memberi tahuku tentang Suku Dani yang berasal dari daerahnya.suku yang tinggal berdampingan dengan daerah Mepy tinggal itu terdapat tradisi yang unik. Dalam suku tersebut terkenal dengan tradisi potong jari. Tercengang dengan kalimat yang disebutkan Mepy aku terbatuk, kaget, seakan tak percaya. Mepy memberiku air dan aku memperbaiki posisi dudukku, dia menjelaskan tentang keunikan suku itu. 

 

   Anggota Suku Dani akan memotong salah satu jarinya jika salah seorang di keluarganya ada yang meninggal. Itu sebagai simbol duka atas kepergian orang yang dicintainya. Begitu uniknya tradisi mereka, namun aku baru mengetahuinya sekarang. Jika bukan karena Mepy, aku mungkin tak akan tahu ada banyak hal unik yang tersembunyi di Papua.

 

   Selesai di kebun teh, aku mengajak Mepy makan. Ini pertama kalinya aku mengenalkan ‘gethuk’ kepada orang asing. Mepy tampak menikmati sekali makanan yang aku buat tersebut, dia menyukainya. Dia juga mengatakan jika rindu makan papeda buatan mamaknya. Dia bisa makan papeda di Solo tapi baginya papeda tetap lebih nikmat jika di makan di Wamena bersama keluarga sembari menikmati pemandangan indah diatas bukit.

 

   Matahari sudah menempatkan posisi tepat berada diatas kepala. Itu menunjukan bahwa waktu sholat dzuhur telah tiba. Sebenarnya aku tak enak jika meninggalkan Mepy sendirian ditempat yang tak ia kenal. Tapi, tak mungkin juga aku mengajak Mepy solat sedang ia Umat Kristiani. Mepy menyuruhku ke masjid dan dia akan menungguku di luar. 

 

   Selesai sholat, aku mengajak Mepy mengunjungi Candi Cetho yang masih berada dikawasan Kemuning. Dia mengatakan bahwa ini kali pertamanya melihat candi. Mapy mengeluarkan ekspresi kaget saat aku mengatakan bahwa ini adalah tempat ibadah Umat Hindu. Kebiasaan fotonya saat menemukan tempat baru kembali lagi. Mepy memotret setiap sudut candi tersebut. Mengabadikan momen pertama kami bertemu dengan selfie bersama. Kami menghabiskan waktu disana.

 

   Kami melanjutkan perjalanan dan mampir di salah satu warung makan untuk sejenak mengisi perut. Disana dia juga bercerita yang membuatku kagum. Selama ia di Solo, dia pernah menginap di salah satu masjid. Dia mengatakan kala itu ia tak mempunyai cukup uang untuk menyewa sebuah kontrakan. Mepy bertemu salah seorang warga yang iba padanya, dan menyuruhnya untuk menginap di masjid saja. Ada kamar yang bisa ditinggali Mepy untuk sementara waktu.

 

   Mepy juga mengatakan bahwa tiap pagi ia akan membersihkan halaman masjid. Selain itu, dia juga akan membantu membersihkan toilet dan tempat wudhu masjid. Mepy hanya membantu sebagian saja sebagai rasa terimakasih. Ia tak berani masuk ke dalam masjid. Aku merasakan betapa indahnya toleransi, terdapat persatuan dalam keberagaman yang berlangsung.

 

   Dua bulan setelah aku dan Mepy bertemu, Mepy berpamitan bahwa ia akan kembali ke Wamena. Dia akan tinggal disana. Aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Mepy secara langsung, sebab ia sudah akan transit. Setelahnya kami jarang komunikasi. Mungkin karena aku yang sudah fokus sekolah, mengejar angan dengan mengikuti jejak pendidikan Mepy dan Mepy telah menjadi dokter disana. Sungguh, aku sangat senang mengenalmu Mepy.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment