Soloensis

Akulturasi Budaya Masjid Agung Surakarta

https://www.youtube.com/watch?v=sZme3Sdhaec&feature=youtu.be

Masjid Agung Surakarta, memiliki nama asli dalam sebutan Jawa “Masjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat”. Bangunan yang beralamat di Jalan Masjid Besar No. 1 Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta ini merupakan peninggalan Kerajaan Mataram dan dibangun pada era Paku Buwono III.

Paku Buwono III tidak hanya memindahkan pusat pemerintahan Keraton Kasunanan ke Kota Solo, tetapi juga membangun Masjid. Karena pada waktu itu syiar Islam baru berkembang dengan adanya kerajaan Islam Mataram Jogja maupun Kerajaan Islam Demak, sehingga Paku Buwono III ini tidak hanya berperan sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai seorang ulama yang menyebarkan agama Islam.

Bangunan yang berarsitektur latar budaya Jawa Kuno dan Belanda, dengan model Joglo ini, sudah mengalami beberapa kali pembaharuan serta perluasan. Yaitu pada masa PB IV, PB VI, dan yang terakhir PB X. Di masa PB X dibangun menara setinggi 30 meter yang berfungsi sebagai Jogosworo, yaitu tempat untuk mengumandangkan adzan dengan cara naik ke atas menara dan menggunakan corong. Cara itu dilakukan sebelum adanya pengeras suara seperti saat ini. Pembangunan menara ini terinspirasi ketika PB X naik haji, tujuan lainnya agar dari kejauhan masyarakat tau bahwa bangunan tersebut adalah sebuah masjid.

Tidak hanya menara, PB X juga membuat bedug dan kentongan besar yang dibunyikan sebagai penanda waktu adzan tiba. Dalam tradisi Jawa, sesuatu yang besar disebut sebagai Kiai. Sehingga bedug dan kentongan ini pun dijuluki Kiai Wahyu Tenggoro, yang dianggap sebagian warga memiliki kekuatan mistis. Dari bunyinya konon memiliki maknanya masing-masing. Kentongan yang berbunyi “thong-thong” menunjukkan bahwa masjid masih kothong atau kosong, sedangkan bedug yang berbunyi “dheng-dheng” menunjukkan masjid masih sedheng atau muat.

“Paku Buwono X juga mengadopsi salah satu instrumen gamelan, yang juga ini dulu disenangi oleh masyarakat Hindu yaitu bedug. Jadi kendang yang ia perbesar bentuknya, kemudian ditambah kenthongan yang juga dibuat besar.” Begitu cerita dari Humas Masjid Agung Surakarta, Ir. H. Abdul Basid Rohmat.

Memang pada dasarnya, bangunan ini tidak seperti Masjid pada umumnya. Bahkan untuk mahkota atapnya tidak ada simbol lafal Allah ataupun bulan bintang, tetapi masih mempertahankan apa yang ada sejak dulu. Namun seperti bedug dan kenthongan yang telah dijelaskan diatas, setiap bentuk dari bangunan ini memiliki filosofi dan fungsi maupun keunikannya tersendiri.

1. Kuncungan
Kuncungan berada di atas bagian muka depan pintu masuk serambi, dimaksudkan sebagai tanda penghormatan tamu sebelum memasuki ruang serambi Masjid.

2. Emper dan Kolam
Tempat ini terpampang di sisi utara, timur dan selatan, serta di kedua sisi sayap bangunan. Kolam digunakan untuk membersihkan alas atau kaki agar saat memasuki masjid dalam keadaan bersih.

3. Serambi
Bangunan ini mirip pendopo di rumah tradisional priyayi, dengan tata letak arsitektur Jawa dan telah mendapat pengaruh arsitektur kolonial. Warna Serambi yang dominan biru muda sesuai dengan warna khas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, maka wajar kiranya masjid itu diberi warna senada.

4. Konstruksi Serambi
Dinamakan “limasan klabang nyander”, yaitu atap limasan memanjang dengan pengerat lebih dari empat buah.

5. Pawastren
Ruangan yang menyerupai dapur dalam struktur rumah Jawa ini, berada di sisi kiri dan kanan bangunan induk masjid. Pawastren utara atau juga dinamakan Pabogan yaitu tempat dikhitankan putra-putra raja, dan pawastren selatan digunakan khusus untuk wanita. Dulunya ruangan ini digunakan untuk para raja melepas pakaian kebesarannya sebelum menunaikan ibadah sholat sebagai hamba sahaya yang bergabung dengan rakyat biasa.

6. Soko Guru
Yaitu empat tiang besar sebagai penopang atap. Karena konstruksi bangunan masjid yang memang besar dan bahan dasarnya pun seluruhnya terbuat dari kayu, maka membutuhkan tiang besar sebagai penyangga agar lebih kokoh. Soko guru ini merupakan ciri khas dari bangunan rumah Joglo.

7. Atap Bertajuk Susun Tiga
Atap masjid yang dirancang sama dengan Masjid Demak, yaitu beratap tajuk susun tiga ini dari segi fungsi dimaksudkan agar udara mudah masuk, sehingga memberi efek sejuk di dalam ruangan. Sedangkan dari segi filosofi melambangkan kesempurnaan kaum muslim dalam menjalani kehidupan, yakni Islam, Iman, dan Ikhsan. Hal ini tak dapat dipisahkan dari segi persepsi umat Islam Jawa atas Masjid Demak yang digolongkan sebagai pusaka yang tak ternilai.

Ciri khas dari Masjid Agung Surakarta ini sendiri adalah lantai dengan ukiran motif bunga bersepuh warna keemasan, yang juga merupakan ciri khas keraton dan terpengaruh oleh gaya Belanda. Selain itu, terdapat jam matahari atau jam istiwa’ peninggalan dari PB VI. Yaitu jam yang memanfaatkan bayangan paralel sinar matahari sebagai petunjuk waktu sholat pada zaman dahulu.

Dilihat dari segi tradisi, cara penyebaran agama Islam yang diterapkan di Masjid Agung Surakarta ini menerapkan cara Walisongo. Dimana selain sebagai tempat ibadah umat muslim, juga digunakan untuk menyelenggarakan upacara adat Jawa yang diarahkan lebih islami, seperti Sekaten dan Grebeg Maulud. Di sekitar komplek masjid ini pun terdapat sarana pendidikan, yaitu pondok pesantren penghafal Al-Qur’an yang
didirikan sejak tahun 1985. Serta sebagai sarana membantu masyarakat.

Indahnya, masyarakat disekitarpun menerima dengan senang hati atas adat istiadat yang masih dipertahankan ini. Mereka tidak berusaha untuk menolak bahkan menghapusnya. Takmir dan pengurus Masjid Agung ini pun berusaha bagaimana adat dan tradisi masih dapat diselenggarakan dengan sebagaimana mestinya, selagi hal tersebut tidak melanggar ajaran agama, “Jadi apa yang baik dipertahankan,kalo ada penemuan atau improvisasi yang baru ya kita laksanakan, kalo jelek ya kita tinggalkan. Tapi selama ini kita pertahankan, hanya mungkin ada yang kita kemas dengan lebih baik lagi.” Terang Bapak Basid.

Memang seperti itulah budaya yang sudah seharusnya kita jaga dan lestarikan, agar generasi kedepanpun dapat menikmati keindahan akulturasi budaya ini. Biarkan budaya itu tumbuh dan menyatu dengan kehidupan kita sehari-hari. Begitupun agama yang tidak bisa dipisahkan dengan unsur budaya/adat/tradisi yang memang sudah tumbuh beriringan sejak puluhan tahun lamanya.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Dina Puspitaningrum

    Belajar untuk Menulis - Menulis untuk Belajar

    View all posts

    Add comment