Soloensis

Diversity is Like a Puzzle

diversity is like a puzzle
Diversity is like a puzzle

 

Diversity is Like a Puzzle

( Keberagaman itu seperti sebuat Puzzle)

Oleh: Ayu Setyowati, S.Pd

SMPN 19 Surakarta

082133064525

ayuset86@gmail.com 

 

Saya terlahir dari keluarga muslim yang taat. Di suatu perjalanan hidup saya, saat saya menginjak bangku kuliah, saya dipertemukan dengan seorang laki-laki yang berbeda agama. Laki-laki itu menganut agama Katholik. Dia berasal dari keluarga yang taat agama dan laki-laki itu adalah seorang Misdinar. Seiring berjalannya waktu, kami pun menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Tapi kami sadar bahwa kami dapat putus kapan pun karena kami berbeda agama. Kami saling mengingatkan kapan kami harus beribadah. Setelah 5 tahun kami berpacaran, kami ingin menjalin hubungan yang serius ke jenjang pernikahan. Disitu saya sangat kaget, pacar saya bilang kepada saya kalua dia akan berpindah agama mengikuti ajaran agama saya. 

Berawal dari sinilah, konflik keluarganya dimulai. Ibunya tidak setuju kalau anak laki-lakinya berpindah agama. Beliau berpendapat kalau sampai anaknya berpindah agama, beliau meyakini bahwa nanti tidak akan ada anak yang mendoakannya jika beliau sudah meninggal. Tak selang lama, kami pun akhirnya menikah. Saat hari pernikahan kami, ibu mertua saya tidak hadir. Hanya bapak mertua dan keluarga besarnya yang hadir saat hari pernikahan kami.

Perasaan sedih menghampiriku. Pernikahan sekali seumur hidup, tapi ibu mertuaku tidak dating. Aku hanya bisa berdoa suatu saat, pasti hatinya akan luluh. Waktu terus berlalu sampai 1 tahun setelah kami menikah, kami dikaruniai seorang anak laki-laki. Dari sinilah, ibu mertuaku mulai luluh hatinya sejak kehadiran anak pertamaku.

Setelah melahirkan, aku tinggal di rumah kontrakan dekat rumah mertuaku. Walaupun sebenarnya kami sudah punya rumah sendiri, tapi kami memutuskan untuk mengontrak rumah dengan alas an anak kami diurus oleh ibu dan bapak mertuaku.

Kami mulai dekat dan mulai menjalin hubungan baik. Ibu mertuaku selalu mengingatkan kepadaku, jika sudah waktunya sholat. Begitu pun dengan aku, aku juga mulai sering mengantar ibu mertuaku ke Gereja untuk beribadah. Kebetulan keluarga besar suamiku semuanya menganut agama Katholik, jadi setiap kali perayaan Hari Besar keagamaan mereka, aku selalu diundang. Aku selalu menyempatkan untuk hadir dalam setiap acara mereka walaupun aku dating setelah semua acara keagamaan selesai. Tapi, kadang-kadang aku dating saat mereka masih mengikuti misa dan tentu saja aku tidak akan mengganggu ibdah mereka.

Sebaliknya jika aku memperingati hari besar agama Islam, mereka juga selalu hadir di setiap acaraku dan membantuku menyiapkan segala sesuatu untuk Open House.

Kami saling menyadari, keluarga besar kami sangat bertolak belakang dalam agama. Tapi kami bisa menempatkan diri dan saling menghormati sau sama lain. Selain itu kami juga saling membantu jika salah satu dari kami membutuhkan bantuan. Bahkan sampai sekarang pun, saya masih rutin mengantarmertua saya ke Gereja. Semua kami lakukan tanpa melihat perbedaan yang ada pada diri kami. Kami yakin bahwa perbedaan yang kami miliki tidak akan membuat kami terpecah belah tapi justru akan membuat kami semakin saling menyayangi dan menghormati tanpa memandang perbedaan. Keberagaman itu seperti sebuah puzzle dimana setiap keping puzzle memiliki bentuk yang berbeda dan jika disatukan akan menjadi gambar/tulisan yang indah.

 

 

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment