Soloensis

Tentang Asmaraloka Yang Hanyalah Enigma

f4e69b9877f22d5d9da60362f8d6b2be

 

Askara yang telah terbiasa mendengar tetangga sebelah rumahnya berbincang membahas dirinya. Tentang jalinan asmaraloka antara dirinya,  Bagaskara Adiwinata dengan Renjana Andira Putri. Ia menyeruput kopinya sambil menikmati senja yang kian ditelan malam sambil duduk bersama sang ayah di teras istana mereka. “Kamu masih dengan Andira le?” suara ayahnya membuka percakapan “masih yah, gaakan putus lahh” “yakin banget kamu, kayak satu iman saja, kamu loh islam, dia katolik toh?” lantunan kata dari ayahnya membuatnya terdiam, hal yang selalu menjadi masalah antara Askara dan Andira. “Ingat le, jangan ambil dia dari Tuhannya, dan jangan sampai kamu berpaling dari Tuhanmu” “iya yah, Askara tau itu” jawab Askara dengan senyum pilu.

Askara terduduk di kursi kamarnya, menatap monitor yang berlatar gambar stickman hasil karya kekasihnya sembari memikirkan ujung cerita kisah asmaralokanya. Handphone Askara berdering tanda ada yang menelponnya “Rena?” gumam Askara. Rena adalah panggilan Askara pada Andira, dan Nata adalah panggilan Andira pada Askara. “Halo, kenapa?” ucap Askara setelah mengangkat telepon tersebut “Kak Nata dimana? lagi sibuk nggak kak?” suara Andira terdengar lembut dari handphone Askara “Nggak sibuk, kenapa Rena?” jawab Askara nenanggapi pertanyaan kekasihnya, “Aku mau discordan sama kak Nata” pinta Andira “boleh, aku lagi kosong juga” sorakan senang terdengar dari handphone Askara “mau sekarang Ren?” tanya Askara memastikan “bentar kak, aku setting laptop aku dulu yaa” nada manis terdengar saat Andira menjawab pertanyaan Askara “iya Rena, kakak tunggu” “oke kak, aku tutup yaa telponnya” “iya Rena” telepon ditutup, Askara kembali terdiam, laranya sungguh dapat hilang saat mendengar suara kekasihnya itu, berharap agar kisah asmara mereka amerta walau hanya dalam aksara.

Waktu berlalu cepat, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Askara masih berkutik dengan komputernya. Setelah melepas rindu dengan gadis pujaan hatinya, sekarang giliran tugas sekolah yang melepas rindu pada Askara. Askara siswa yang tidak terkenal dengan prestasinya, tapi ia sangat peduli dengan nilainya, lagi dan lagi karena tuntutan orang tuanya. Ia terduduk di kursi meja komputernya, menatap tugasnya yang menumpuk membuat otaknya ingin pecah rasanya “gila.. Pak Djarot kalau ngasih tugas udah kayak ngasih wewejangan” sambatnya sambil menatap 100 nomor essai yang harus dikerjakan murid-murid kelas XIIC. Yah.. walau salah Askara juga menunda-nunda tugas yang sudah tau banyak. Sebentar lagi ia akan mencapai kelulusan SMA, yang berarti ia harus menentukan bagaimana jalan hidupnya, apakah ia akan melanjutkan pendidikannya ataukah akan memulai karirnya.

Hari demi hari berlalu menyisakan 1 bulan sebelum kelulusan kelas XII. Askara tengah duduk dibangku taman sekolah bersama kekasihnya, bersenda gurau selepas menjalani pelajaran sebelum nantinya mereka akan menyongsong liburan kenaikan kelas. Sembari duduk, mereka berdua mengobrol hal-hal acak yang terlintas di pikiran mereka. Sampailah mereka di pembahasan yang membuka lara hati Askara “Kak Nata inget nggak film yang kita nonton, yang cewenya api cowonya air?” tanya Andira. “Inget Ren, kenapa? Mau rewatch?” Askara menatap Andira, menanggapi ucapan kekasihnya “nggak kak, bukan itu, kemarin aku bengong terus keinget aja kalau film itu mirip kita, mereka beda elemen, kalau kita beda iman kak.” Deg! Askara termangu, hatinya sakit mengingat masalah yang terus berulang-ulang ini. “iya Ren” hanya jawaban ‘iya’ yang bisa ia gumamkan, Andira terdiam sejenak lalu melanjutkan kata-katanya “Kak Nata nggak cape? Aku cape kak gini terus, setiap aku ngomongin ini, kak Nata menghindar terus, aku ngerti kalau ini sulit kak, tapi kalau gini terus aku cape” Sunyi, hanya bunyi burung bercicit dan daun kering terinjak yang terdengar. Askara menghembuskan nafasnya dengan berat, lalu perlahan menjawab dengan suara pelan dan lembut “Ren.. maaf ya? Kakak gasuka bahas masalah ini, kakak mau terus sama kamu, kakak selalu merjuangin kamu, jadi tunggu sebentar lagi ya Ren?” “Sampai kapan kak? Aku udah nunggu hampir 1 tahun buat kak Askara” lagi.. hanya burung bercicit yang terdengar, Askara tak bisa berpikir jernih sekarang, memangnya apa yang mereka harapkan? dari awal menjalin asmara, mereka seharusnya sudah tau masalah apa yang akan mereka hadapi, jadi apa yang mereka tunggu? “kamu nunggu apa Rena..? Kamu nunggu aku nyelesaiin hubungan ini? atau bergabung dengan agama katolik?” Andira diam sejenak, tak tau apa yang harus ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan Askara. “Kak, kita lanjutin dichat, bener kata kak Nata, hubungan kita dari awal gaada gunanya, aku pikirin nanti kak, sulit buat nentuin sekarang, aku pamit pulang dulu ya kak” Rena beranjak dari duduknya setelah menjawab apa yang dilontatkan Askara sebelumya, ia berjalan menuju gerbang keluar sekolah, Askara dapat melihat air mata gadis itu jatuh. Askara terdiam, tak berniat membalas ucapan Andira ataupun beranjak dari duduknya, yang sekarang ia pikirkan adalah apakah ucapannya tadi benar? Apakah salah jika ia mengatakan semua itu? Ntahlah, Askara sudah kalut dalam enigma buananya.

Setelah 20 menit Askara melamun di taman sekolah, sekarang ia telah berada di kamarnya, terlentang di atas kasur sambil menatap kosong langit langit kamarnya. Ting! Sebuah pesan masuk di handphone Askara. Askara tau itu sudah pasti Andira. Askara meraih handphonenya, sebuah pesan dari Andira muncul;                                                                     ‘kak.. aku udah mikirin ini semua, aku sungguh amat berterima kasih ke kak Nata udah ada di masa masa SMA aku, udah nemenin aku dan bikin aku bahagia! Tapi, mungkin sekarang udah cukup hubungan kita, setelah aku pikirkan nggak ada yang salah dengan omongan kak Nata tadi, dan memang benar hubungan kita nggak ada tujuan pasti, jadi.. sampai sini aja ya kak? Aku gamau maksa ngelanjutin buku dengan alur bahagia padahal aku udah tau dari awal gabakal bisa. Sekali lagi terimakasih kak 11 bulannya, bermakna banget buat aku!.’                                                                        Hancur.. hancur-sehancur hancurnya hati Askara. Askara tau suatu saat pasti ini akan terjadi tapi ia tidak menyangka 11 hari sebelum genap 1 tahun mereka menjalin hubungan asmara akan menjadi waktunya. Air mata Askara jatuh setelah membaca pesan dari Andira, ia tak berniat membalas pesan itu, biarkanlah ia kalut dalam lara hatinya. Sore itu Askara habiskan untuk menuangkan kesedihannya.

Malamnya sehabis sholat bersama keluarganya, Askara dan keluarganya mengobrol bersama seperti kebiasaan lama. “Mas, kenapa itu? Kok kayak habis mbrebes gitu? Ibu liat kok makin elek kamu to?” tanya Bu Tami, ibu Askara dengan senda guraunya “Hoo Le, kenapa kamu? Tadi bapak liat sholatmu khusuk banget doanya, nggak biasane, biasane kan kamu khusuk doanya kalau ada maunya” timpal pak Lukni, Ayah Askara “Ah.. ini Askara putus bu, pak, ya biasa lah anak muda galau” tutur Askara dengan nada gurau menutupi kesedihan yang ia rasakan. Ayah dan ibu Askara bertatapan, terdiam sejenak berpikir harus memberi wewejangan apa untuk anak tunggal mereka. Bu Tami yang pertama bersuara “Ya nggak apa-apa mas, sudahlah, besok dikasih yang lebih baik sama Gusti Allah, kamu kalau mau sedih langsung sekarang saja, jangan dipendem, ibu bapak siap jadi tempat curhatmu” “Hoo, bapak wes pernah ngomong to, tapi yo rapopo Le, kabeh kuwi terjadi mesti ono alesanne, dinikmati wae” tambah Pak Lukni. Askara tersenyum, ia beruntung memiliki keluarga yang indah, yang selalu bersedia menerima keluh kesah Askara di titik terendahnya “Iya pak, bu makasih wewejangannya, udah cocok buka podcast” jawab Askara menanggapi tuturan ayah ibunya tadi, “opo to, garing Le” canda Pak Lukni. Malam itu mereka habiskan dengan senda gurau keluarga, bertukar cerita satu dan yang lain.

Pada akhirnya Askara menyadari bahwa ia dan Andira adalah bentala dan bumantara yang tak akan pernah menjadi asmaraloka mereka aksa dan akan selamanya menjadi enigma.

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment