Soloensis

Merawat Harmoni Keberagaman di Sekolah Inklusi

Dua siswa ABK SMA Negeri 8 Surakarta sedang mengikuti pembelajaran. (dok. pribadi)

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan sejuta keberagaman. Beberapa bentuk keberagaman di Indonesia diantaranya adalah keberagaman suku, keberagaman anggota golongan, dan keberagaman ras, serta keberagaman agama. Keberagaman yang ada telah menjadi simbol persatuan yang dikemas dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus menjaganya agar tetap harmonis dan utuh. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan dengan menganut paham toleransi. Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada. Contoh perilaku toleransi salah satunya terjadi di dunia pendidikan yaitu adanya sekolah inklusi.

Sekolah berperan penting dalam menanamkan nilai keberagaman untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sekolah inklusi menjadi salah satu wujud pemerataan pendidikan tanpa pengabaian dan diskriminasi. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Indonesia merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pendidikan yang  ditujukan untuk siswa yang mengalami kelainan (fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial)  dan  diselenggarakan  secara inklusif, baik pada tingkat dasar maupun  menengah. Data dari Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud tahun 2021 menyebutkan bahwa terdapat 3.502 sekolah inklusi dengan jumlah 127.541 peserta didik berkebutuhan khusus yang tersebar di 34 provinsi.  Salah satu sekolah inklusi di Indonesia adalah SMA Negeri 8 Surakarta.

Keberagaman yang ada di SMA Negeri 8 Surakarta sebagai sekolah inklusi, tidak hanya perbedaan agama maupun suku dan ras melainkan juga penerimaan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Keberadaan sekolah inklusif menyebabkan sekolah luar biasa (SLB) tidak lagi selalu menjadi sekolah yang ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus. Berbagai jenis siswa inklusi yang bersekolah di SMA Negeri 8 Surakarta berpotensi menimbulkan persoalan baru seperti terjadinya konflik atau adanya sikap diskriminasi terhadap siswa berkebutuhan khusus. Menjaga keseimbangan dalam iklim keberagaman di sekolah inklusi perlu untuk dilaksanakan. Dukungan yang sinergi antara kepala sekolah, guru, siswa serta orang tua siswa mampu menjaga keselarasan di sekolah inklusi dengan berbagai macam keberagaman. Masih ada beberapa kendala penyelenggaraan pendidikan inklusi sehingga belum terciptanya keserasian terhadap keberagaman di sekolah termasuk bagi siswa berkebutuhan khusus.

Melalui tulisan sederhana ini, penulis ingin menyampaikan esai tentang merawat harmoni keberagaman di sekolah inklusi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia secara utuh.

Pembahasan

Keberagaman menjadi sebuah proses alamiah dalam kehidupan yang tidak dapat ditolak. Harmoni dalam keberagaman merujuk pada keadaan setiap orang dengan latar belakang yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan saling memahami, menghormati, dan saling mendukung. Miniatur keberagaman terjadi di sekolah termasuk sekolah inklusi. Sekolah inklusi bisa disebut sebagai satuan pendidikan yang menerapkan pendidikan inklusi. Pendidikan  inklusi  adalah  sistem  pendidikan  yang memberikan kesempatan bagi semua siswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak (Tanjung, 2022). Kebijakan pendidikan inklusi mengacu kepada peraturan perundang-undangan pasal 28 H ayat 2 yang menyebutkan  bahwa setiap  orang  berhak  mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Sekolah inklusi mempunyai siswa yang heterogen dengan menempatkan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal dalam satu lingkungan belajar. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 157 Tahun 2014 mengelompokkan anak berkebutuhan khusus menjadi beberapa jenis, meliputi: 1) tunanetra berupa gangguan fungsi penglihatan; 2) tunarungu berupa  gangguan fungsi pendengaran; 3) tunagrahita berupa gangguan fungsi kecerdasan intelektual dan adaptasi tingkah laku; 4) tunadaksa berupa gangguan bentuk, keterbatasan gerak pada otot, tulang, dan sendi;  5) tunalaras berupa gangguan dalam mengontrol emosi; 6) hambatan kesulitan belajar (slow learner); 7)  autis berupa keterbatasan menyangkut  komunikasi, interaksi, dan aktivitas imajinasi; 8) gangguan atau keterbatasan motorik;  9)  korban  dari  kecanduan narkoba, obat-obatan terlarang, serta zat adiktif lainnya; 10) hambatan  kelainan lain. Karakteristik keberagaman di sekolah inklusi terkait peserta didik juga ditunjukkan dalam perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya dalam proses pendidikan. Berdasarkan data dapodik, SMA Negeri 8 Surakarta melayani anak berkebutuhan khusus jenis A (tunanetra) dan D (tunadaksa).

Seringkali dalam proses pembelajaran, guru menjumpai perbedaan latar belakang siswa. Sebagai seorang  agen  pembelajaran, guru harus tanggap  dan  merespon  perbedaan  tersebut tanpa menimbulkan diskriminasi. Keharmonisan penyelenggaran pendidikan di sekolah inklusi tidak terlepas dari adanya kolaborasi. Terlibatnya orang terdekat dari siswa dalam mengembangkan sikap positif baik terhadap pelajaran maupun lainnya, akan memudahkan anak tersebut dalam menangkap sesuatu yang diajarkan (Retnaningtya & Paramitha, 2015). Kolaborasi telah diterapkan di SMA Negeri 8 Surakarta untuk menjaga kesesuaian keberagaman siswa khususnya anak berkebutuhan khusus. Saat penerimaan siswa baru, pihak sekolah berkomunikasi dengan orang tua mengenai rekomendasi yang diberikan oleh Dinas Pendidikan bahwa anak tersebut bisa bersekolah di sekolah inklusi. Setelah menjadi siswa di SMA Negeri 8 Surakarta, pihak sekolah melibatkan orang tua atau wali murid anak berkebutuhan khusus sehingga seluruh siswa termasuk anak berkebutuhan khusus nyaman untuk bersekolah di tengah keberagaman latar belakang mereka.

Keterlibatan orang tua dengan pihak sekolah yang mencakup kepala sekolah, guru, dan siswa tidak hanya dilakukan kepada anak-anak berkebutuhan khusus namun juga siswa reguler. Selain kolaborasi dengan orangtua atau wali murid, pihak sekolah hendaknya melakukan kolaborasi dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Sebab, dengan adanya GPK akan memudahkan guru  mengajar anak berkebutuhan khusus. Guru Pembimbing Khusus di SMA Negeri 8 Surakarta masih kurang. Walaupun demikian, SMA Negeri 8 Surakarta mendapat bantuan dari pemerintah pusat untuk mengadakan Sosialisasi dan Bintek inklusif untuk kepala sekolah, guru dan komite di lingkungan Surakarta. Sosialisasi dan Bintek ini dilaksanakan selama empat hari pada tanggal 6-10 September 2018 lalu, yang diikuti oleh perwakilan guru sekolah dasar hingga menengah. SMA Negeri 8 Surakarta diwakili oleh satu orang guru yang setelah bintek melakukan diseminasi kepada seluruh guru dan tenaga kependidikan mengenai pembelajaran dan tindakan yang baik dilakukan kepada anak berkebutuhan khusus agar mampu menjaga keberagaman di sekolah inklusi.

Memberikan fasilitas pembelajaran yang layak khususnya bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi telah diterapkan oleh SMA Negeri 8 Surakarta. Sarana dan pra sarana seperti kelas di lantai dasar tanpa harus melewati anak tangga diberlakukan untuk satu rombel belajar yang terdapat siswa berkebutuhan khusus baik tuna netra atau tuna daksa. Proses pembelajaran dibuat secara responsif terhadap perbedaan setiap siswa (Sunanto & Hidayat, 2016). Hal ini bertujuan untuk meyakinkan kepada siswa baik yang memiliki hambatan ataupun tidak, bahwa pendidikan hendaknya adil dan tidak diskriminatif, serta peka terhadap kebutuhan anak. Tenaga pendidik/kependidikan, dan semua anak sebagai masyarakat sekolah menghargai berbagai perbedaan. Guru kelas tidak jarang memberikan sentuhan yang berbeda saat pelajaran, salah satunya pembentukan kelompok. Melalui pembelajaran kelompok ini dilakukan agar terwujudnya sikap-sikap positif seperti budaya tolerasi dengan saling menghormati dan saling membantu terhadap sesama.

Kesimpulan

Merajut keberagaman menjadi harmoni yang indah membutuhkan waktu, kesabaran, dan usaha yang tidak instan. Melalui kolaborasi dengan melibatkan orang tua dengan pihak sekolah, pemberian sarana dan pra sarana yang layak, serta budaya toleransi akan mampu merawat harmoni keberagaman di sekolah inklusi. Keberagaman yang tadinya hanya keniscayaan, menjadi suatu anugrah yang lahir dari dunia pendidikan bagi kemajuan bangsa dan utuhnya persatuan dan kesatuan negara.

Referensi:

Retnaningtya, M. S., & Paramitha, P. P. (2015). Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di TK Anak Ceria. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 4(1), 9–17.

Sunanto, J., & Hidayat. (2016). Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas Inklusif. JASSI_Anakku, 17(1), 47–55.

Tanjung, R., Supriani, Y., Arifudin, O., & Ulfah, U.  (2022). Manajemen Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi pada Lembaga Pendidikan Islam. JIIP – Jurnal  Ilmiah  Ilmu  Pendidikan, 5(1),  339–348. https://doi.org/10.54371/jiip.v5i1.419 

Penulis : Kartika Yunita Saputri

Sekolah: Guru SMAN 8 Surakarta

HP        : 082135007449

Email    : kartikayunita93@gmail.com

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment