Soloensis

INDAHNYA KEBERAGAMAN DI KOTA BANGKA

RUSIP

Kita sudah sering mendengar semboyan “Bhineka Tunggal Ika” bukan? Sepertinya bukan hanya sekadar mendengar saja, kita sebagai warga Negara Indonesia juga harus mengetahui dan memahami maksud semboyan tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki beranekaragam perbedaan antar agama, suku, ras, dan budaya. Hal tersebut akibat dari letak Negara Indonesia yang dilintasi garis khatulistiwa, memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan kecil dengan luas wilayah 1.904.560kilometer persegi dan menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah yang tersusun dari 5 pulau besar dan ribuan pulai kecil yang membentang dari Sabang sampai Merauke (Wikipedia).

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, berarti keberagaman suku bangsa, bahasa, agama/kepercayaan dan tradisi yang membentuk negara Indonesia. Terutama budaya yang begitu banyak, mungkin sebagian kita tahu dan mungkin masih banyak juga yang belum kita ketahui. Budaya yang muncul ini bisa diakibatkan oleh perbedaan keberagaman dari berbagai perihal. Bisa muncul dari keberagaman leluhur ataupun nenek moyang dari setiap daerah atau suku. Bahwa faktanya, dari suku yang sama tapi budayanya bisa berbeda-beda. Begitu juga dengan suatu agama yang sama, namun budayanya juga berbeda-beda karena mengikuti tradisi di daerahnya masing-masing. Begitulah yang dinamakan dengan keberagaman.

Perihal tentang keberagaman, saya punya cerita dan ini saya rasakan sendiri. Pada tahun 2018, saya melaksanakan program KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang diselenggarakan oleh kampus saya, salah satu universitas swasta di Surakarta. Program KKN yang dilaksanakan melului program khusus yang dimana kami sekaligus melaksanakan penelitian skripsi. Jadi, bisa dibilang KKN Terintegrasi Skripsi yang diikuti oleh 13 mahasiswa dari berbagai macam jurusan dan dilaksanakan di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung. Kami disana kurang lebih selama satu setengah bulan. Namun, baru beberapa hari tinggal disana, sudah banyak sekali keberagaman yang saya rasakan.

Salah satu contohnya, jenis masakan di sana lebih banyak olahan dari ikan, bersantan, dan berkuah. Seperti, tekwan, mie koba, dan yang paling terkenal adalah rusip. Rusip merupakan makanan fermentasi dari ikan yang dicampur dengan garam dan gula jawa, proses fermentasi selama kurang lebih tujuh hari dan jika fermentasinya sudah jadi maka dicampur dengan perasan jeruk kunci dan potongan cabe, karena santapannya dijadikan sambal. Saya penasaran dengan rasanya dan sudah ketebak, jujur saja, dari sekian olahan tersebut tidak cocok sama sekali dengan lidah Solo saya.

Bukan hanya soal masakan saja, toleransi di Bangka sangat luar biasa sekali. Kebetulan KKN kami didampingi dari perwakilan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung yang mayoritas muslim, tapi ada juga mahasiswa dari nonmuslim dan keturunan Tionghoa. Masyarakat di Bangka etnis Tionghoa sangat banyak. Kebetulan saya disana saat bulan Februari, bertepatan di Hari Raya Imlek. Saat itu, teman kami yang mendampingi bernama Kiki (muslim) mendapat undangan dari teman nonmuslim (Tionghoa) yang bernama Kevin. Ketika mendengar hal itu, sontak saya bertanya kepada Kiki, “Apakah kamu akan datang?”, mendengar jawabannya saya sangat kaget berkesan “Ya, kami akan datang untuk menghormati undangan mereka, walaupun hanya makan snack yang disediakan, bukan hidangan berat karena kita juga menghindari yang tidak diinginkan”. Setelah mendengar jawaban itu, hati saya membatin, ternyata begitu indah toleransi itu.

Sekian banyak keberagaman yang saya temui, perbedaan inilah yang membuat saya tertarik dengan kota ini, sehingga di tahun 2019 setelah saya lulus, saya kembali ke Pangkalpinang, Bangka Belitung untuk melaksanakan tes CPNS dengan biaya mandiri dan restu orang tua serta menumpang di salah satu rumah teman saya yang dulu mendampingi tim KKN kami. Tapi memang belum rezeki, saya belum lolos. Namun, hal itu tidak membuat saya kecewa, dari kedatangan kedua saya ke Bangka, saya menjadi tahu ternyata di Bangka dalam setahun ada lebih dari dua kali lebaran yang normalisasinya umat muslim hanya ada dua kali lebaran. Hanya saja, beda daerah beda perayaan dan masyarakat setempat menyebutnya dengan lebaran dan pasti meriah.

Saat saya datang kesana, kebetulan ada lebaran Rebokasan yang merupakan tradisi budaya yang diadakan di hari Rabu terakhir pada Bulan Safar yaitu bulan kedua dari 12 bulan penanggalan Hijriyah, yang mana di dalamnya berisi kegiatan doa bersama untuk memohon perlindungan, keberkahan, keselamatan dan kebaikan antar sesama manusia. Saat itu, suasana di kampung teman saya sangat ramai sekali dan nuansanya betul-betul seperti lebaran, masayarakat saling berkunjung dari rumah satu ke rumah yang lain, bersalam-salaman dan banyak masakan dan cemilan khas Bangka. Semua itu belum pernah saya temui di kota saya sendiri atau kota lainnya di Pulau Jawa.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Dwi Santi Mustika Sari

    Add comment