Soloensis

Persahabatan yang Tergantikan

stop-racism-concept_23-2148584005

Di sebuah sekolah dasar, Praja memperhatikan Arka yang tengah bersama Nathan. Dulunya ia dan Nathan adalah sahabat namun itu sudah berlalu menjadi sebuah teman yang bahkan tidak mampu untuk saling menyapa. Sejak kapan ini terjadi? 

4 tahun yang lalu 

 *kring*

Bunyi bel sekolah menandakan untuk masuk, aku Praja, seorang siswa pindahan yang kini menempati SDN Timur, saat ini banyak orang yang menyambut ku dengan hangat, namun? Setelah beberapa hari, aku merasa bahwa aku dijauhi oleh teman sekelas ku. Aku tidak tahu pasti kenapa mereka menjauhiku, apakah karena fisikku? Atau karena sifat ku? Pertanyaan ini menghantuiku selama beberapa hari. 

Walaupun aku mendapatkan bullyan non-verbal, itu tidak menggoyahkan aku untuk pindah sekolah apalagi berhenti sekolah. Aku ingin bertahan disini hingga lulus sekaligus mencari tahu kenapa aku dibully? Kuakui memang sifat pemalu itu menyebalkan, namun selama ini aku juga berusaha untuk membuka diri pada semua orang, sekaligus mencoba membuang sifat pemalu ini. Itu tidak mudah.

Walau begitu bullyan ini tetap berlanjut hingga aku naik kelas tiga, pelaku justru bertambah banyak, apakah ini ajang pembullyan? Apakah mereka merasa kuat dengan mengalahkan yang lemah? Kenapa mereka tidak menantang sosok paling kuat di sekolah, seperti Pak Agus si satpam sekolah yang hebat dalam beladiri, jikalau mereka menang bukankah itu baru dibilang kuat? 

Mereka sama saja, mereka hanya ingin validasi ataupun merasakan sensasi kemenangan dari yang lemah. Mereka sangatlah pengecut karena hanya berani jika berkelompok. Mereka tidak sekuat ‘Bulan’ yang mampu menyinari bumi dalam kegelapan bahkan tanpa ‘Bintang’.

Dan saat ini giliranku tiba untuk dijahili mereka secara verbal, awalnya mereka datang padaku tepat sepulang sekolah dan mengajakku ke tempat sepi, tentu saja aku menolak. Anehnya saat aku menolak yang lain justru yang ketakutan, iya aku tahu mereka kuat tapi ini hak aku untuk menolak.

Aku merasakan rambutku yang ditarik paksa hingga rasanya kepalaku berdenging, sangat sakit. Sehingga tanpa sadar aku membalasnya dengan menampar wajahnya hingga ia terkejut dan melepaskan rambutku. Aku melihat mereka yang menampilkan wajah horor padaku dan teman sekelas yang segera berkemas dan berpura-pura untuk tidak terlibat denganku.

Tentu saja dengan ini aku mendapatkan masalah dan mereka menarik aku paksa, bahkan antek-anteknya itu turut membawaku paksa ke tempat sepi, aku diikat di tiang dan seluruh tubuhku terdapat cap sepatunya, tentu saja aku merasakan sakit di berbagai tubuhku 

Tepat setelah aku merasakan tali yang mengikatku mulai longgar, aku melepaskannya secara perlahan dengan ia yang masih mengolok-olok fisikku. Dan setelahnya aku mendaratkan pukulanku yang tiba-tiba terhadap ketua dari geng, antek-antek itu tentunya tidak tinggal diam, aku segera mengambil tongkat besi yang sedari tadi mencuri perhatianku dan ku arahkan pada mereka.

“Kemarilah, aku tidak takut. Tapi jangan menangis setelah terluka,” kataku.

 Hanya dengan itu mereka lari. Lihat, bahkan yang lari pertama itu adalah ketuanya. Mereka memanglah pengecut, aku pulang sekolah dengan masih membawa tongkat besi yang sudah karatan itu untuk berjaga-jaga jikalau mereka mengikuti aku. Untungnya hingga ke rumah, aku tidak melihat batang hidungnya. 

 Praja ingin melaporkan ke guru, namun ia mengurungkan niatnya dengan melihat banyaknya korban yang berjatuhan, pasti diantaranya ada yang melaporkan ke guru namun tidak ada tindakan, sepertinya ini memang sekolah yang memiliki hukum rimba. 

 Ia menjalani kewajiban untuk sekolah dan menyerap ilmu selayaknya siswa teladan. Namun ada siswa pindahan baru hari ini, namanya Nathan. Ini memberikan kesempatan bagi Praja untuk mempunyai teman dan benar saja mereka menjadi dekat seiring waktu bahkan menjadi sahabat. 

Praja berfikir mungkin ini adalah waktu bersabarnya yang terbayarkan  Belum puas aku menikmati waktu bahagia ku karena memiliki teman, namun pandemi covid datang dan membuatku berjauhan dengan temanku itu. Hanya PJJ dan jika ada google meet aku baru bisa tatap muka sama sahabatku, Nathan.  

Kenapa tidak telepon dari nomornya langsung? Orang tuanya sangat overprotektif padanya sehingga jika tidak ada tugas yang diberikan guru dia tidak diizinkan memegang ponsel. Bahkan mereka juga paranoid terhadap virus covid ini jadi meski awal-awal virus itu menyebar dan protokol saat itu tidak terlalu ketat, orang tuanya sudah melarang ia pergi ke manapun  

Pandemi selesai

Namun naasnya aku sakit saat itu dan tidak masuk selama 3 hari. Tepat setelah aku sembuh betapa kecewanya aku melihat Nathan yang tidak menyapaku ketika aku masuk sekolah pada pagi hari. Iya, diriku ke sekolah lebih pagi untuk melihat sahabat yang kurindukan itu,

Justru dia tengah berbincang dengan siswa baru yang masuk saat pertengahan semester ketika pandemi masih berlangsung. Aku melihat dia yang menatapku sekilas dengan tangan yang sudah terangkat dan tersenyum ria dan dia dengan cepat memalingkan pandangannya dariku.

 Aku berfikir mungkin dia salah melihat orang karena cahaya matahari hangat yang menyinari punggung ku membuat diri ini menjadi gelap dari depan, jadi aku mendatanginya dan menepuk bahunya. “Bro, sudah lama tidak jumpa,” salamku padanya.  

Namun yang kudapatkan justru tatapan tajam yang tidak mengenakan dan tangannya yang menghempaskan tangan ku dari bahunya 

“kenapa?,” jawab Nathan. 

Ini bukanlah reaksi yang kuinginkan dari sahabat yang sudah lama terpisah, bagaimana rasanya ketika sahabat yang kalian kenal hangat dan ceria serta menemani selalu menjadi dingin bagai es di kutub utara.  Praja menjadi kesulitan menanggapi sahabatnya yang sifatnya menjadi berbanding terbalik dengan saat terakhir kali mereka bertemu. Sehingga ia merenungkan kesalahannya semasa PJJ dan hasilnya nihil. 

 Dan hubungan kami semakin merenggang dengan Arka ditengahnya, aku tidak yakin pasti, apakah Arka memang sengaja melakukannya tapi aku tidak peduli. Karena tinggal 9 bulan lagi kami lulus, itu seperti aku yang kembali ke masa awal kelas 2. Ini mengingatkan aku akan masa saat itu.  

beberapa bulan setelahnya 

Aku menghadiri acara yang diadakan sekolah yaitu perpisahan dengan semuanya, walau memang tidak ada yang harus ditangisi. Setidaknya ada banyak drama yang terjadi semasa aku disini. Tiba-tiba pundakku ditepuk oleh seseorang, entah kenapa itu menjadi flashback dengan aku yang menepuk pundak Nathan dan ketika aku menoleh rupanya itu Arka 

 Kenapa dia sok akrab denganku? Apa dia merasa bersalah atau bagaimana. Aku menautkan kedua alisku padanya.

“Apa?,” kataku. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendengar jawabannya. 

“Maaf,” katanya. 

“Hah?,” jawabku dengan bingung.

“Aku sangat kekanak-kanakan dulu, aku minta maaf,” ucap Arka. 

 Aku bertanya-tanya kepadanya karena meminta maaf padaku, apakah karena dia yang datang ditengah-tengah kami dan merusak hubungan kami atau bagaimana. Belum selesai aku mencerna semua ini. Sahab-, bukan. Tapi teman kelasku yaitu Nathan, menghampiri ku dan mengatakan bahwa ia ingin berbincang denganku sebentar. Sebagai manusia yang haus penasaran tentunya aku langsung mengiyakan tanpa pikir panjang. 

 Ia membawa aku ketempat yang tidak terlalu berisik agar bisa berbincang dengan tenang. Di sini aku meminta ia mengatakan langsung to the point. Dan benar saja dia mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.

“Aku meminta maaf padamu, aku menjauhimu karena hasutan. Aku menyesal,” ujar Nathan. 

“Menyesal?,” jawabku singkat.

“Iya, aku menyesal karena nasi sudah menjadi bubur,” kata Nathan sembari memberi bungkusan. Apa ini pemberian untuk kata maafnya? Aku enggan menerimanya sebelum ia mengatakan 

“Ini ada surat di dalamnya, tolong terimalah,” katanya.

Tanpa berkata apapun, aku segera menerima dengan penasaran. Tapi aku menahan untuk membukanya langsung karena aku ingin membuka ini sendirian. Dan setelah aku menerima, dia mengulurkan tangannya padaku, kami berjabat tangan. Setidaknya perpisahan ini tidak meninggalkan kenangan yang buruk.

“Kamu adalah pedomanku untuk tidak menyerah dalam keadaan sulit sekalipun, aku salut padamu. Sampai jumpa, Praja,” ujar Nathan. 

Setelah mengatakan hal aneh itu, ia pergi lalu lalang begitu saja. Beberapa saat setelahnya aku yang masih berada di lantai tiga ini turun ke lantai 2 dan pergi ke depan kelas 2 yang sudah sepi, awal di mana aku masuk ke sini sebagai murid pindahan. Aku menatap bungkusan yang tengah kubawa, dan ingin membukannya di sini, tepat setelah aku membukanya terdapat seperti snack-snack kesukaanku dan susu coklat, tidak buruk untuk menerimanya 

Dan aku menemukan seperti surat, ya hanya satu surat tapi didalamnya ada kalimat yang menarik, berisi bahwa aku harus melihat handphoneku ketika pukul 3 sore. Disini tertulis bahwa Arka yang tidak menyukai aku hanya lewat fisik dan menghasut Nathan, sehingga ia ingin Nathan menjauh dariku dan itu berhasil dengan cara menghasut Nathan menggunakan kalimat yang mengolok-olokku.

Dan setelah jam 3 aku melihat handphoneku yang ternyata itu sebuah long text dari seseorang tak dikenal. Yang intinya ia menyesali perbuatannya. Aku juga tidak terlalu peduli, semuanya juga sudah berlalu, kehidupan penuh drama.  Aku jadi memikirkan kalimat Nathan yang merupakan nasi sudah menjadi bubur. Bila sudah jadi bubur bukankah tinggal ditambahkan bumbu dan taburan ayam agar menjadi bubur ayam yang nikmat untuk disantap? 

 Intinya, tidak masalah bila kulitmu berwarna gelap karena itulah Indonesia dengan warga berkulit sawo matang. Semua yang berhubungan dengan karya tulisan ini sudah disamarkan.

Vanko 

SMPN 10 SKA

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment