Soloensis

“Kita berbeda!” Memangnya Iya?

stop-racism-placards-discrimination-concept_52683-40682
Gambar : freepik

Indonesia, membentang dari Sabang sampai Merauke, kenapa bisa? Salah satu alasannya adalah Indonesia memiliki Keanekaragaman Budaya, dimana Tanah Air ini dihuni oleh beberapa suku dan etnis dengan keanekaragaman bahasa, adat istiadat, dan kebudayaan yang mencirikan Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa, Indonesia memiliki 718 bahasa, memiliki 6 agama yang dianut ; Muslim, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu. Indonesia juga memiliki beberapa macam ras yaitu ; ras asiatic-mongoloid, ras kaukasoid-indc, ras melanesoid / melanesia, ras weddoid.

Dengan banyaknya keanekaragaman, dan perbedaan antar-suku dan budaya, maka terciptalah rasa Toleransi. Namun, semakin berjalannya generasi ke generasi, rasa Toleransi antar sesama mulai pudar. Orang-orang banyak menyebutnya dengan kata “rasis”, sebelumnya apa itu rasis?

Dikutip dari laman Wikipedia, rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih istimewa dan berhak untuk merendahkan bahkan memperbudak ras lain yang dianggap lebih rendah.

Singkatnya, rasis atau rasisme adalah tindakan membeda-bedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya berdasarkan ras dan budaya mereka. Akhir-akhir ini tindakan rasis banyak menyinggung tentang Agama bahkan ras.

Menurut pengalaman lingkungan sekitar, seseorang dapat saja membedakan perbedaan hanya karena agama. Menjadi minoritas dalam sebuah lingkup lingkungan, lalu disitulah rasa Toleransi antar umat beragama mulai pudar. Rasisme juga menjadi alasan kenapa banyak kasus beredar tentang perundungan atau pembullyan, entah kasus dalam lingkungan sekolah, maupun masyarakat. Rasisme menyinggung agama dan ras.

Semuanya akan berawalan dari pribadi seseorang yang memang tidak memiliki rasa Toleransi antar sesama, lalu muncullah perasaan ingin membeda-bedakan sesama, dengan cara menjauhinya, mengucilkan, bahkan melakukan tindakan kekerasan. Selain tidak memiliki rasa Toleransi, memungkinkan bahwa pribadi seseorang tersebut memiliki “Prasangka” yang buruk pada orang yang menganut agama yang berbeda dengannya. Sehingga pudarlah rasa saling menghargai, atau terciptalah tindakan rasis bahkan rasa “Simpati”.

Tidak hanya berlaku dalam lingkungan sekitar, namun juga berlaku dalam Media Sosial. Justru, media sosial-lah yang membuat generasi-generasi muda kehilangan rasa Toleransi, karena tidak semua yang berada di media sosial adalah benar. Kita juga belajar untuk tidak mudah mempercayai sesuatu, tanpa mengetahui kebenarannya. Media sosial terkadang mendorong kita, untuk menjadi pribadi yang tak mengenal rasa “Simpati”. Maka dari itu, tak semuanya dari media sosial, berdampak baik bagi kita. Media sosial juga bisa menjadi tempat dimana kita menjadi korban Perundungan secara verbal.

Tak jauh dari rasisme agama, kini banyak beredar di media sosial tentang ras. Rasisme ras, di media sosial maupun lingkungan masyarakat, terkadang banyak dilakukan merujuk kepada seseorang yang memiliki ras Papua Melanesoid atau seseorang yang biasanya berkulit gelap.

Dikutip dari laman Mediaindonesia, beberapa ciri-ciri ras Papua Melanesoid, yaitu Berambut keriting gelap, kulit berwarna gelap, bibir tebal, hidung lebar dan postur tubuh tinggi tegap. Ras Melanesoid tersebar dari wilayah Papua, Papua Nugini, Vanuatu, Fiji, Solomon, Bismarck, dan negara di Oceania.

Terlepas dari hal itu, banyak pemuda-pemudi yang melakukan “transmigrasi” atau melakukan perpindahan tempat tinggal hanya untuk sementara. Maka dari itu, orang yang memiliki ras Papua Melanesoid, menjadi sekelompok minoritas, sehingga membuat orang-orang disekitar merasa dirinya berkuasa. Sehingga muncullah berbagai perkataan yang bertujuan untuk mengejek bahkan mengucilkan minoritas tersebut dan itulah yang dianggap rasisme.

Rasisme adalah hal yang tidak terpuji, namun banyak orang telah melakukan itu, maka lingkungan sekitar akan merasa jika hal itu sudah biasa dan mereka akan tetap melakukan tanpa memikirkan perasaan korban. Bagaimanapun itu korban telah menerima banyak ejekan atau pengucilan, korban tetaplah manusia yang memiliki perasaan.

Maka dari itu, rasisme dapat memicu beberapa dampak yang sangat berpengaruh bagi korban, di antara lain adalah trauma mendalam bahkan depresi. Korban terkadang memang terlihat baik-baik saja dan tidak terlalu memperdulikan apa kata orang-orang padanya, namun dalam perasaan korban yang mendalam, korban merasa sakit dan trauma sehingga ia takut untuk bersosialisasi.

Teman-teman, kita tidak berbeda, kita sama, semuanya sama. Jangan ada membeda-bedakan antar ras, suku, bangsa, dan bahasa. Karena kita terikat dalam tanah air yang satu, tanah air Indonesia. Para pahlawan telah gugur dalam medan perang, demi menyatukan bangsa, jangan kita memecah belahkan bangsa ini hanya karena sebuah perbedaan. Mari kita bangun bangsa ini, “Berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.”

Ken Choirunnisa

SMPN 10 SKA

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment