Soloensis

Tiada Tempat yang Lain

flat-world-population-day-background-with-planet-people_23-2149427307
Gambar:Freepik

     Halo perkenalkan saya Claretta Aulia Wardani. Hidup terkadang tak sesuai harapan kita, tapi tanpa kalian sadari. Memiliki seorang sahabat adalah sebuah keberuntungan. Dan disinilah saya berada, bahagia dengan kedua sahabat saya tanpa memandang apa yang berbeda dari kami. Banyak orang bekata bahwa perbedaan adalah akhir dari pertemanan, tapi kami bertiga menolak asumsi tersebut. Di sebuah permainan online, kami berdua bertemu. Hanya saya dan teman saya yang bernama Fiona, atau yang sering saya panggil ‘Nana’.

     Kami awalnya hanya sering bermain bersama, hingga seiring berjalannya waktu, kami menjadi sahabat. Lama kelamaan juga, saya mengetahui adanya perbedaan diantara kami. Saya yang menganut agama Muslim, wajib menjalankan sholat lima waktu. Sedangkan Fiona yang beragama Nasrani, ia wajib menjalankan ibadah seminggu dua kali. Kami berdua sama sama memahami dan menghargai perbedaan yang ada, entah itu menentukan waktu bermain, waktu mengirim pesan, dan waktu mengizinkan salah satu dari kami untuk beribadah. Tidak seperti kata orang lain, perbedaan itu menyenangkan. Di sini kami bisa belajar saling menghormati dan toleransi.

     Selain sahabat, dia juga saya anggap sebagai ‘rumah’. Rumah yang saya bicarakan bukan rumah sebagai tempat tinggal atau tempat berkumpulnya sebuah keluarga. Melainkan rumah dimana saya dapat bercerita tentang keluh kesah saya dan trauma saya. Rumah dimana saya dapat menangis dan merasa nyaman karena sebuah ucapan penyemangat. Saya bercerita tentang hidup saya sebagai siswi SD dahulu, dimana saat kelas 6 saya di olok olok oleh teman saya sendiri dan dibanding bandingkan oleh guru saya. Hidup di tengah keluarga yang hancur sering kali membuat kami menyerah, tetapi setelah itu kami saling menguatkan satu sama lain. Kami juga mendo’akan satu sama lain.

     Konflik mungkin sering datang, seperti saat saya mengambil keputusan sendiri yang sempat hampir menghancurkan persahabatan kita. Kami akhirnya hanya bisa saling memaafkan agar meredakan sebuah konflik. Selain konflik, ada juga perbedaan pendapat diantara kita. Seperti saat saya sedang memilih oleh oleh di Bali saat study tour kemarin Desember. Berhubung dia orang pulau Dewata, saya akhirnya meminta saran untuk membeli apa saja. Ia menyarankan saya agar mengutamakan kue pie yang identik dengan Bali, yaitu pie susu. Sebuah konflik juga muncul setelah itu, dimana saat saya lupa mengerjakan sholat Ashar karena sibuk bertukar pesan dengan seseorang. Ia memarahi saya dan berkata ‘jangan sampai kamu meninggalkan Tuhan mu hanya karena dunia, ya?’. Kata kata nya selalu saya simpan di benak dan hati saya. Sungguh sebuah kebahagiaan karena bisa bersahabat dengannya.

     Suatu saat, kami dekat dengan satu perempuan yang kisah hidupnya hampir sama seperti kita. Akhirnya kami mengajaknya untuk bersahabat bertiga dan dia sangat bahagia. Renata namanya, tapi saya dan Fiona memanggilnya ‘Rena’. Tidak ada kesamaan diantara kami selain kehidupan. Rena memeluk agama Khonghucu. Kami menghargai dan menghormati agamanya. Rena sering kali bertukar cerita tentang dirinya yang di ejek oleh teman sekelasnya karena tidak bisa lancar mengucapkan Bahasa Indonesia. Rena yang sebenarnya berasal dari Kuala Lumpur, merasa sedih akan olokan itu. Kami menenangkan dirinya dan perlahan lahan mengajarinya Bahasa Indonesia. Dia senang bisa bertemu dengan kami. Kami bertiga berjanji untuk saling menghargai dan bersahabat selamanya.

Perbedaan bukanlah akhir, melainkan awal untuk kita saling menghargai satu sama lain.

Tanpa adanya perbedaan, kita semua tak akan bisa di bedakan.

 

Nama: Claretta Aulia Wardani

Sekolah: SMPN 18 Surakarta

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment