Soloensis

School Memories

hand-drawn-children-back-school_23-2148212749
Gambar:Freepik

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Perkerkenalkan saya Apsari Nur Maullida. Ada banyak tokoh utama didalam cerita ini. Aku punya banyak draft cerita masa SD. Tidak tahu kenapa, masa itu paling membekas buatku. Tapi, aku tidak bakal publish semuanya, apalagi pakai nama asli.

Rasanya, aku keberatan nama. Nama lahirku Apsari Nur Maulida. Itu saja, tiga kata. Orang-orang memanggilku Apsari, tak ada khusus-khususnya. Kalau guru absen, baru nama lengkapku disebut. Namun, semua orang seperti paham kalau aku tidak mau dipanggil “Sari”. Panggil aku Apsari itu mutlak. Hm, mungkin aneh karena semua orang tidak pernah tidak memanggil selain kata itu. Namun, rasanya kesal sekali saat pertama kali ada yang memanggilku “Sari!”. Entah itu siapa, entah juga memanggil siapa. Aku masih asyik dimeja sendiri, meggambar. “Sari! Panggilanmu Sari, kan?”. Aku masih tidak merasa.

BRAK! Mejaku dipukul. Aku refleks menengadah, melihat seorang anak laki-laki senyum amat lebar. “Kenapa?” tanyaku pelan. Namanya juga anak baru, bertemu lingkungan baru masih menjadi momen buatku. “Kamu Sari, kan?” kata sosok lelaki yang tak kukenal. Aku pun menjawab “Sari siapa?”. “Apsari. Panggilanmu Sari, kan?”.

Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku menampar anak itu tepat di muka. Satu kelas geger. Ia mimisan. Aku panik lalu memilih kabur, meski jam istirahat sudah mau habis. Di toilet, aku memaki-maki diri sendiri. Bodoh, tangan bodoh, kenapa refleks begitu? Ah, bel berbunyi. Aku belum mau kembali ke kelas, sembunyi di toilet sambil gemetar. Duh, aku pun belum punya teman. Siapa yang bakal mencariku?. Kudengar suara orang bersiul di luar. Mana aku tahu itu laki-laki atau perempuan. Aku tetap sembunyi, gelisah. “Apsari, aku tahu kamu di toilet. Mau keluar?” Aku mendelik. Anak tadi? Ia sudah memanggilku Apsari. Tobat atau diberi tahu?

Aku memang pendiam, aku sulit bergaul, jadi mendengar ada yang mencariku saja sudah membuatku tersentuh. Aku meneguhkan hati lalu melangkah keluar. Di depan toilet, tampak anak laki-laki tadi. Ia sudah mencuci wajahnya meski tetesan darah di bajunya masih terlihat. Tambah lagi, ia langsung senyum melihatku. “Kamu tersinggung, ya? Maaf. Aku enggak tahu kalau kamu biasa dipanggil Apsari” Aku hanya mengangguk, canggung.Ngomong-ngomong, aku suka reaksimu, meski sama sekali enggak nyangka kamu bakal menampar. Cewek kan biasanya cuma teriak-teriak enggak jelas” Aku tersenyum kecut. Ia paham perubahan ekspresiku. “Itu refleks?” Aku mengangguk. “Kamu pendiam banget, sih!” Aku hanya mengangkat bahu.

Ia berjalan ke kelas, aku mengikuti lambat-lambat, tidak mau terlihat sedang bersama. Aku masih menjaga sikap misteriusku. Kami tidak mengobrol lagi setelah itu. Aku mencoba berkenalan dengan teman di sekitarku, para perempuan. Yang duduk disebelahku, aku sudah tahu, namanya Dinda. Ia anak yang labil, suka curhat, dan tentunya suka mengeluh. Ia cerewet. Aku yang pendiam seolah mengimbanginya. Ia suka bicara padaku karena aku sangat pendiam, namun suka mendengarkan. Di belakangku duduk anak kembar, keke dan lala. Mereka mirip. Tas, buku-buku, tempat pensil mereka mirip. Entah sifatnya. Mereka lumayan bisa diandalkan dan gemar membantu. Sudah, hanya dengan tiga orang itu aku bisa bicara normal. Dengan orang lain, aku masih diam. Temasuk laki-laki itu.

BRAK!. Ya ampun, ada masalah apalagi ini? “Apsari, kamu gambar?!”. “Hah?” seingatku, ketika ia pertama kali menyapaku, aku sedang menggambar. “Argh, kamu kok dingin banget, sih?”. “Zhar, jangan ganggu. Kamu bikin dia enggak enak.” Dinda memelotot ke arah laki-laki itu. “Siapa?” Laki-laki itu muntab. “Ya kamu, lah!”. Dua orang itu cekcok. Tanpa sadar, aku tersenyum. Tontonan dadakan ini lumayan menghibur. “Pas banget, Ap, aku ada popcron.” Keke mencolekku, menawarkan bungkusan dari kertas. Benar, isinya popcorn. “Kalian nonton apaan, heh?” Dinda emosi melihat aku dan si kembar sedang menatapnya sambil asyik mengunyah popcorn. “Keke, mau!” Laki-laki itu menengadahkan tangan. Dua kembar itu menoleh. “Tapi kamu mau dipanggil Zhar, ya.”.

“Terserah!” Belakangan, aku tahu kalau si Zhar nama aslinya adalah Azhar. Telat? Tentu saja. Aku kan tidak peduli nama-nama orang lain. “Ap, ini gawat.” Aku mengangkat sebelah alis melihat Dinda tampak serius. “Kamu tahu alasan si Azhar sering tiba-tiba gebrak meja kamu?”. “Kaga.” Ujarku. “Dia caper sama kamu!” Aku tidak memasang tampang terkejut. “Tapi si Azhar enggak jahat, kok.” Dinda mengedipkan sebelah matanya. “Dia cuma nyari teman yang sehobi. Kasihan dia, sendirian melulu”. “Lha, emang enggak ada, apa?”. “Tau, tuh. Padahal itukan urusan anak laki-laki, ya“. Dinda manyun sesaat . “Apa kamu main game juga?”. “Hmm, cuma game game yang aku suka.” Aku berpikir sejenak. “Kayaknya, enggak ada yang tahu, deh. Kalau game yang biasa, aku yakin semua orang tahu. Tahu Game House, kan?”

Aku mengobrol lumayan banyak dengan Dinda hari itu. Aku sendiri merasa lumayan tenang. Paling tidak, ada yang mau mendengarku. Sore itu, si Dinda mengajakku pulang bareng. Rumah kami memang searah, meski aku lebih jauh. Aku sering diturunkan di jalan yang serute rumahku, tinggal jalan kaki. Hanya dia yang tahu lokasi rumahku yang di sana. Begitu sampai rumah,aku mengecek ponselku. Ada nomor yang tak terdaftar.Apsari,ini Azhar. Simpen yaa“. Hah? Sampai malam, aku dibayang-bayangi pesan itu. Ditambah pesan yang datang berikutnya. Aku minta nomormu ke Dinda. Maaf yaa. Maaf ga minta langsung. Ini ga salah sambung, kan? Aku benar-benar tegang. Mau mengomel ke Dinda, tapi rasanya ia tidak salah apa-apa. Yang kulakukan besoknya hanya mengklarifikasi. “Iya enggak suka ya? Maaf.” Dinda menunduk.”Nanti aku jajanin,deh“. Aku tidak tahu aku suka atau tidak. Saat Azhar datang dan bertanya macam-macam, aku menjawabnya normal. Heran, aku bisa mengobrol lumayan panjang. Azhar mengikuti kami ke kantin, masih heboh bertanya-tanya. Ujung-ujungnya, ia menanyakan game.

Aku kurang tahu banyak. Namun, ia tetap antusias. Saat pulang, keke menatapku prihatin. Kata-katanya membuat tegang. “Si Azhar kan lagi PDKT sama kamu“. “Kesimpulan dari mana?”. “Apa lagi, coba? Dia juga sering tanya-tanya Dinda soal kamu“. Aku manggut-manggut. “Kalau gitu, aku bakal hindari dia“. “Kenapa?” sahut Keke. “Trauma“. “Hah?” Si kembar tercengang. “Aku trauma sama orang kayak gitu” jawabku pelan. “Mungkin, kalau ada niatnya cuma nanya-nanya hobi, aku enggak masalah“. “Trauma…gimana?“. “Pas SD kelas 2, aku pernah ada yang kayak begitu. Enggak enak sama sekali. Kayak kena teror. Dikit-dikit paparazzi, sosmed distalk, foto disimpen terus diedit.” Aku merinding. Rasa kesal itu masi ada. Akibatnya, aku mendiamkan si pelaku sampai saat ini. Aku tak lagi menganggapnya ada sama sekali, padahal dulu kami dekat. “Mengerti.” Dua kembar itu mengangguk paham. “Kami akan menjagamu.” Aku pun menyeringai. “Aku bisa menamparnya lagi kalau dia melakukan hal-hal yang ngeselin kok.” Benar, aku jadi menghindari Azhar. Pesannya tak kubalas, omangannya tak ku pedulikan. “Dinda! Si Apsari kenapa?” Azhar memelas ke teman sebangkuku. “Capek sama kamu, kali.” Dinda tertawa santai. “Aku jadi dia juga capek kali.”

BRAK!!! Baiklah, memang sudah kuduga. “Ap! Kenapa,sih? Kamu benci aku?”. “Jijik!’ Dinda dan si kembar serempak berseru. Aku hanya menunduk, menyembunyikan emosi. “Apsarii!” Lala bangkit, tampaknya kesal melihatku masih diam. “Sarii!”. BUGH!!! Ya, aku kehilangan kontrol lagi. Di sinilah aku sekarang. Kantin. Pasrah dengan sikap Azhar sebagai permintaan maaf. Dia mimisan lagi gara-gara aku. “Ap sorry.”. “Aku yang minta maaf,” jawabku pelan. “Nih, favoritmu“. Tidak heran Azhar tahu. Kalau Dinda mengajakku ke kantin, ia pasti melihat aku selalu membeli es pop ice rasa coklat. “Kenapa kamu sering ngajak ngomong aku?” Aku mulai duluan, malas berlama-lama. “Kenapa, yaa?” Aku berusaha sabar. “Kamu sih, nonjok duluan. Kalau reaksi kamu normal aku enggak bakal begini.” Aku hanya diam. “Awalnya aku takut sama kamu. “Aku mendengkus. “Semua orang bilang begitu.” Azhar tertawa. “Selain karena kamu hobi nampar, kamu emang punya aura serem“. “Hah, kamu bisa liat aura?” Kulihat Azhar tiba-tiba tegang, salah tingkah.

“Ma-maksudnya, kamu kelihatan pendiam, misterius. Bikin orang-orang segan.” Aku ber-ooh panjang. “Aku juga takut gara-gara kamu kelihatan…”. “Alim.” Aku tersedak. “Tampang kayak kamu bikin aku keder melulu, tahu. Tapi kan aku enggak mau nge-judge orang dari penampilannya“. “Bagus. Kan? Kamu asik juga.” Aku menyeringai sekilas. “Kamu enggak pacaran, ya?” Aku refleks berdiri, terpelatuk. Kesal itu kembali. “Menurutmu aja gimana.” Lalu kabur. “Ap!” Aku kaget karena makhluk itu muncul di depanku. “Ngapa, sih? Nanya doang. Aku paham kok soal prinsipmu.” Azhar bergaya aneh di depanku, mengacungkan dua jarinya sambil menyeringai lebar. “Kamu teman diskusi hobiku. Kamu yang mau jawab kalo aku tanyain game!” Aku menatapnya penuh selidik. “Suer, ihh!”. “Oke.” Aku berbalik, kembali ke kantin, menghabiskan es pop ice yang asal kutinggalkan. “Kamu belum add FB-ku“. “Aku belum buka FB lagi.” Lagian, aku belum 12 tahun. “Buka, dong. Koutaku tiris, tahu“. “Siapa suruh nge-chat melulu“. Aku tahu, aku harus membuka diri, juga pikiranku. Aku tahu, tidak semua orang bertingkah sesuai standar yang ada di otakku, baik sifat yang kusukai maupun yang kubenci. Memang sifat bawaanku yang membuatku sulit bersosialisasi di lingkungan baru maupun teman baru, namun kalau kesempatan itu ada, mengapa tidak? Lagipula, akhirnya saat kami naik kelas aku tahu orang macam apa yang membuat Azhar terkesan.

Sekian terimakasih, Waalaikumussalam Wr. Wb.

Salam Toleransi

 

Nama: Apsari Nur Maulida

Sekolah: SMPN 18 Surakarta

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment