Soloensis

Hukum Mengambil Giliran Arisan

arisan

Deskripsi Masalah

Pada saat ini banyak kegiatan arisan uang atau barang. Dalam perkembangannya terjadi suatu cara sebagai berikut:

Ahmad, Beni, dan Cholil berarisan. Ahmad mendapat giliran menerima arisan tetapi ridha haknya diterima oleh Beni yang juga anggota arisan, namun belum menerima arisan/giliran. Penyerahan hak secara suka rela dibarengi ganti rugi semacam jual beli hak, umpamanya:

a. Arisan sepeda motor memberi ganti rugi sebanyak Rp.15.000,- atau Rp. 25.000,-.

b. Arisan uang sebesar Rp. 100.000,- memberi ganti rugi sebanyak Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- sedangkan B masih punya hak giliran di lain waktu.

Pertanyaan

Bernama akad apakah pergantian semacam ini?

Jawaban

‘Ala sabil al-ihtiyath (menurut pendapat yang berhati-hati) akad semacam itu termasuk akad gardh jarr nafan (hutang dengan menarik keuntungan) yang hukumnya tidak boleh (haram), kecuali jika tidak ada janji dalam akad (fi al-sulbi al-‘aqdi), maka boleh dengan nama bai’ al-istihqaq.

Dasar Pengambilan Hukum

a. Bughyah al-Mustarsyidin, Dar al-Fikr, 134:

إِذِ القَرْضُ الْفَاسِدُ المُحَرَّمُ هُوَ الْقَرْضُ الْمَشْرُوْطُ فِيهِ النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ. هَذَا إِنْ وَقَعَ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ. فَإِنْ تَوَاطَأَ عَلَيْهِ قَبْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِي صُلْبِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ عَقْدُ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَسَائِرِ حِيَلِ الرِّبَا الْوَاقِعَةِ لِغَيْرِ غَرَضِ شَرْعِي

Akad utang piutang yang fasid (rusak) dan haram ialah menghutangi dengan janji pihak yang menghutangi mendapat keuntungan. Hal ini (haram) bila syarat tersebut masuk (ikut) dalam isi transaksi. Jika syarat mendapat keuntungan itu bertepatan pada waktu sebelum terjadi transaksi dan waktu transaksi tidak menyebut-nyebut janji keuntungan bagi yang menghutangi, atau sama sekali tidak ada transaksi, maka hukumnya boleh disertai makruh seperti makruhnya segala rekayasa riba yang terjadi bagi selain tujuan syara’.

b. I’anah ath-Thalibin, al-Maimaniyah, III/20:

(وَمِنْهُ رِبَا الْقَرْضِ) أَيْ وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ رِبَا القَرْضِ. وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرَ نَحْوِ رَهْنٍ لَكِنْ لَا يَحْرُمُ عِنْدَنَا إِلَّا إِذَا شُرِطَ فِي عَقدِهِ.

(Di antaranya ialah riba qardh), termasuk bagian dari riba fadhl ialah riba gardh. Yaitu setiap menghutangi yang mengambil untung bagi yang menghutangi, selain akad gadai dan sesamanya. Hal itu tidak haram menurut kita, kecuali jika keuntungan itu disyaratkan pada waktu transaksi.

c. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala Syarh Ibn Qasim al-Ghazi, Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 1/659:

فَإِذا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ عَقْدُ كَمَا لَوْ بَاعَ مُعَاطَاةً وَهُوَ الْوَاقِعُ فِي أَيَّامِنَا لَمْ يَكُنْ رِبًا وَإِنْ كَانَ حَرَامًا لَكِنْ أَقَلَّ مِنْ حُرْمَةِ الرَّبَا. اهـ

Jika barter itu tidak terjadi akad seperti pada waktu jual beli dengan mu’athah, seperti yang terjadi saat ini, maka bukan riba, meskipun haram, namun lebih sedikit daripada keharaman riba.

d. Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, al-Maktabah al-Islamiyah, III/23:

وَالَّذِي صَرَّحَ بِهِ الْأَصْحَابُ أَنَّ كُلَّ مَا أَبْطَلَ شَرْطُهُ الْعَقْدَ لَا يَضُرُّ إِضْمَارُ نِيَّةٍ فِيْهِ، وَذَكَرَ صَاحِبُ الْكَافِي أَنَّهُ مَعَ ذَلِكَ الإِضْمَارِ هَلْ يَحِلُّ بَاطِئًا وَجْهَانِ قَالَ: وَأَصَحُهُمَا عِنْدِي يَحِلُّ لِحَدِيْثِ عَامِلٍ خَيْبَرَ

Pendapat yang dijelaskan Ashab asy-Syafi’i adalah setiap syarat yang dapat membatalkan akad itu tidak masalah jika hanya tersimpan dalam hati. Penulis al-Kafi menjelaskan, jika hal itu terjadi, apakah secara batin akadnya dianggap halal? Ada dua pendapat. Ia berkata: “Menurutku yang ashah adalah halal dengan dasar hadits tentang pengelola tanah (Nabi) di Khaibar”.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment