Soloensis

LOMBOK MEMANG MANIS

wvkp8853xm2hsbzuuigu

LOMBOK MEMANG MANIS

Oleh : Nanang Setiawan

 

Tahun 2011 silam tepatnya bulan Agustus saya melakukan perjalanan ke Pulau Lombok. Saat itu bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan. Bersama seorang teman, perjalanan itu menjadi kunjungan pertama bagi kami untuk menginjakkan kaki di Pulau Lombok. Tujuan kami untuk melakukan pemetaan wilayah. Kami melakukan penerbangan dari Jogja menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Setibanya di Kota Mataram kami disambut oleh dua orang dari penduduk setempat. Seperti biasanya ketika di pulau atau kota kota lain, kami selalu bekerja sama dengan penduduk setempat sebagai navigator karena mereka lebih tahu kondisi geografis daerah yang akan dipetakan.

Kota Mataram merupakan ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram merupakan bagian dari Mataram Raya Kawasan metropolitan terbesar kedua di Kepulauan Nusa Tenggara setelah Sarbagita dengan penduduk sebanyak 452. 812 jiwa pada pertengahan tahun 2023. Kota ini memiliki kepadatan penduduk sebanyak 7.400 jiwa per kilometer persegi. Kota Mataram memiliki topografi wilayah pada ketinggian kurang dari 50 meter di atas permukaan air laut (mdpal) dengan iklim tropis.

Kota Mataram merupakan kota yang cukup unik. Kota ini merupakan kota yang multi etnis dan agama. Pengaruh budaya Sasak dan Bali masih sangat terasa. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2003 keberagaman penduduk kota Mataram menurut agama yang dianut yakni 82,87% pemeluk agama Islam yang umumnya dianut suku Sasak. Pemeluk agama Hindu 13,84% yang dianut suku Bali. 2,36% penduduk menganut agama Kristen dimana Protestan 1,55% dan Katolik 0,81% yang umumnya dianut penduduk dari Nusa Tenggara Timur, Batak dan Tionghoa. Sebagian lagi menganut agama Buddha yakni 0.93% yang dianut oleh Masyarakat Tionghoa.

Keluar dari Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Majid, saya dan Pak Iwan disambut hangat oleh dua orang tersebut. Dengan senyum dan salam kami berjabat tangan. Pak Iwan adalah seorang dosen fakultas teknik disalah satu perguruan tinggi di Kota Jogja. Kami beberapa kali menyelesaikan projek pemetaan wilayah bersama di beberapa daerah di Indonesia. Beliau fokus pada bidang keteknikan dan pengelolaan infrastruktur. Saya fokus pada analisis spasial dan pemetaan wilayah. Sedangkan dua orang yang menyambut kami adalah konsultan setempat yang menjembatani kegiatan dengan dinas terkait.

Kami diajak beramah tamah di salah satu rumah makan di JL. Ahmad Yani di Kota Mataram.  Sambil menunggu waktu berbuka puasa, kami membicarakan rencana presentasi dan survey lapangan di hari berikutnya. Di rumah makan ini kami disajikan beberapa menu makanan yang belum pernah saya makan dan tidak ada di daerah saya. Cukup menarik memang kebaragaman kuliner di Indonesia. Biasanya kami menyantap makanan di Solo dan Jogja yang lebih condong ke rasa manis dan gurih. Hari ini kami disajikan menu makanan berupa ayam Taliwang dengan rasa gurih dan pedas, plecing kangkung dengan rasa yang pedas ditambah terasi Lengkare, sate bulayak dengan lontong yang dililit dengan daun arena tau enau, sate pusut dari daging sapi, ayam raring yang pedas, sambal beberuk terung dan berbagai lalapan mentah.

Setelah selesai berbuka puasa dan sholat maghrib di rumah makan tersebut, kami meminta tolong untuk diantar ke masjid setempat guna melaksanakan sholat Isya’, sholat Tarawih dan sholat Witir pada dua orang tadi. Pak Yudi dan Pak Wayan nama kedua orang tersebut. Mereka bersedia mengantar untuk kemudian kami diantar beristirahat ke hotel. Pikirku mereka juga akan ikut melaksanakan ibadah bersama kami. Namun sesampainya di masjid mereka hanya mengantar saja. Mereka menunggu di mobil. Parkir pun di luar area masjid, di pinggir jalan. Bukan di parkiran area masjid. Sontak terfikir olehku kenapa? Aku enggan menanyakan. Takutnya menyinggung perasaan mereka berdua. Apalagi kami baru saling mengenal. Sepanjang perjalanan menuju hotel setelah dari masjid kami di dalam mobil hanya membicarakan pekerjaan. Pak Iwan yang sudah mengenal mereka lebih dulu juga tidak menyinggung masalah itu. Oke, aku simpan saja perasaan ini sambil mencoba menghilangkan prasangka buruk ke mereka. Mungkin mereka sholat di rumah mereka sendiri.

Hari kedua di Kota Mataram. Agenda kami untuk presentasi di salah satu kantor dinas pemerintahan, berkunjung ke Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat di Jl. Pejanggik No. 12 Kota Mataram, survey ke beberapa lokasi dan kemudian kembali ke Yogyakarta. Jam 07.00 waktu setempat kami di jemput pak Yudi dan Pak Wayan di hotel tempat kami menginap untuk presentasi dengan dinas terkait.

Alhamdulillah presentasi berjalan lancar. Waktu menunjukkan jam 11.45 waktu setempat. Kami memutuskan untuk mampir ke masjid guna melaksanakan sholat terlebih dahulu sebelum kegiatan berikutnya. Kami mengajak Pak Yudi dan Pak Wayan untuk ke tempat ibadah dulu. Mereka mengiyakan untuk mengantar kami ke masjid. Pikirku nanti pak Yudi dan Pak Wayan ikut berjamaah bersama, namun mereka hanya memarkirkan mobil di area parkir masjid dan ijin untuk pergi sebentar. Mereka berjalan kaki keluar dari area masjid. Entah mau kemana. Saya dan Pak Iwan pun sholat dan setelah selesai kami menunggu mereka di serambi masjid sembari beristirahat.

Sekitar 30 menit kami menunggu. Pak Wayan datang dan disusul Pak Yudi lima menit kemudian. Kami bercengkerama sebentar di serambi masjid. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya, mereka dari mana? Pak Wayan menjelaskan bahwa beliau juga sedang berdoa di tempat ibadah beliau. Tepatnya di Pura seberang jalan depan Masjid. Pak Yudi juga menjelaskan kalau beliau juga melakukan doa di Gereja. Lokasinya satu gang ke Selatan dari Masjid ini. Jadi ternyata Pak Wayan beragama Hindu dan Pak Yudi beragama Kristen. Mereka menceritakan bahwa di Lombok toleransi beragama dan etnisnya cukup tinggi. Di sini biasa jikalau ada beberapa tempat ibadah saling berdampingan atau bersebelahan. Misalnya Masjid ini berhadapan dengan Pura dan di sebelahnya ada Gereja. Terkadang ada aktivitas keagamaan yang bersamaan waktunya pun kami tidak mempermasalahkan dan tidak saling mengganggu.

Tidak seperti pulau dan kota kota lain di Indonesia yang pernah saya kunjungi untuk kegiatan pemetaan, pulau ini memiliki keunikan tersendiri. Meskipun hanya beberapa hari namun ada kesan yang cukup unik dan menarik dari sisi masyarakatnya. Pulau ini termasuk pulau kecil, namun Pulau Lombok diisi oleh penghuni yang tidak seragam tapi beragam. Keberagaman ini terutama dapat dilihat dari keyakinan yang dianut penduduknya. Toleransi ini sangat perlu karena perbedaan yang mendasar terutama pada masalah keyakinan tidak dapat diganggu gugat. Misalnya saya, beragama Islam dan sangat yakin dengan agama saya, begitu juga dengan yang dirasakan oleh teman lain yang berbeda agama dengan saya, dia juga sangat yakin dengan agamanya. Keyakinan tidak bisa dipaksakan dan serasa mendarah daging dalam hati dan pribadi seseorang.

Masyarakat di Pulau Lombok sampai saat ini terus menjaga toleransi antar umat yang berbeda agama dan etnis. Baik masyarakat dan pemerintah terus menjaga dan mengembangkan toleransi. Pak Wayan juga menceritakan bahwa dalam kehidupan umat Hindu dan Islam di Lombok telah terbangun toleransi sejak ratusan tahun silam. Ada yang namanya Tradisi Perang Topat di Lingsar yang melibatkan umat Hindu dan Islam. Tradisi ini merupakan contoh jelas bahwa telah terbangunnya kerukunan antar dua umat yang berbeda keyakinan.

Setiap tahun pada purnama ketujuh menurut penanggalan Sasak dan purnama keenam menurut penanggalan Bali, sekitar bulan Desember diadakan Perang Topat yang diiringi Upacara Pujawali Umat Hindu di Pura Lingsar. Mungkin bagi sebagian orang kata “perang” cukup menakutkan. Namun “perang” ini bukanlah perang konvensional yang dapat menimbulkan korban harta ataupun jiwa. Perang ini adalah perang perdamaian dimana senjata yang digunakan bukan pedang, pistol, peluru, atau rudal dan senjata lain yang mematikan. Perang ini menggunakan senjata berupa ketupat berukuran kecil dan beratnya hanya seberat buah yang kecil. Sehingga, jika terkenapun tidak akan sakit dan justru yang terdengar adalah teriakan dan sorak-sorai kegembiraan dari kedua belah pihak. Wujud toleransi memang sudah terbina antara umat Hindu dan Islam sejak dahulu, selain itu terwujud pula kerjasama.

Ditambahkan pula oleh Pak Yudi bahwa ditengah rentannya isu SARA, kita perlu menjaga persatuan dalam perbedaan. Bentuk toleransi di sini, antara umat Islam dan jemaat Kristen, terbina saat menjalankan hari raya. Saat umat Islam melaksanakan Hari Raya Idul Fitri, maka beberapa pemuda Kristen akan dengan sukarela menjaga keamanan. Demikian juga saat umat Kristen merayakan Hari Natal, para pemuda Muslim bergantian menjaga keamanan. Ini merupakan suatu hal yang patut ditiru dan dikembangkan. Saya pun menambahkan bahwa di Islam kami diajarkan untuk saling menghargai. Rasulullah Muhammad SAW juga pernah memberikan jaminan kebebasan kepada kaum Kristen Najran, menjamin perlindungan terhadap jiwa, harta dan agama mereka. Sejarah Islam juga mencatat betapa orang-orang non Muslim hidup di bawah pemerintahan Islam dengan menikmati perlakuan hormat. Khalifah Umar r.a. juga pernah mengeluarkan perintah bahwa orang-orang Kristen dan Yahudi yang miskin harus dibantu.

Tak terasa percakapan kami begitu asyik. Kami melanjutkan survey ke beberapa tempat dan selanjutnya kembali meneruskan perjalanan pulang ke Jogja menggunakan maskapai penerbangan Merpati. Namun kami harus transit terlebih dahulu di Bandar Udara Ngurah Rai Bali. Lombok memang unik, alangkah indahnya toleransi keberagaman di sana. Semoga toleransi itu tetap terjaga, baik toleransi agama maupun etnis. Lombok memang manis.

 

Penulis            : Nanang Setiawan

Instansi            : SMA Negeri Gondangrejo

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment