Soloensis

Yang Paling Berbeda Bisa Jadi adalah Yang Paling Bersinar

boy-girls-kid-school_24640-45618
Gambar: Freepik

     Ona, gadis cantik berumur 14 tahun yang kepintarannya luar biasa wah!! Adalah murid teladan. Murid teladan di sekolah, di kelas, dan di angkatan kelas 8. Ona adalah murid pindahan dari sekolah lain. Gadis itu sungguh pintar, kepintarannya melebihi semua temannya. Di kelasnya, Ona yang paling aktif, aktif dalam menjawab pertanyaan guru, atau bertanya kepada guru. Ona juga paling berbeda di kelas. Dia memakai hijab setiap hari, rajin sholat di mushala sekolah. Sedangkan teman-temannya, semua tidak memakai hijab meski sebagian dari mereka adalah seorang muslim.

     Ona paling aktif berorganisasi dan mengikuti berbagai ekskul, dia anak yang ramah meski sedikit pendiam. Ona selalu menebar senyuman kepada siapa saja di sekolah. Dia juga sopan, akhlaknya baik, dan tidak pernah macam-macam. Ona selalu dijadikan contoh bagi murid-murid. Dia yang teladan, pintar, dipandang guru, selalu mendapat nilai sempurna, dan aktif mengikuti banyak kegiatan justru menjadi murid paling beda di kelas. Dan karena itu semua, Ona jadi dijauhi oleh teman-temannya, dikucilkan, dan kadang diejek secara terang-terangan. Ona yang notabenenya murid pindahan, dia sudah bisa mencuri perhatian guru dengan kepintaran dan keteladanan nya. Tentu saja teman-temannya tidak terima, ralat, hanya beberapa yang tidak terima, yang lain hanya ikut-ikutan menjauhi Ona saja.

     Tidak jarang Ona mendapat sindiran dari teman-temannya, selalu di tatap dengan tatapan sinis, tatapan tidak suka, dan tatapan permusuhan. Dia bahkan pernah di bully secara verbal. Selama ini Ona hanya diam, dia menerima semua kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut teman-temannya. Dia pernah melawan, tapi ujungnya dia juga yang kalah. Ona hanya sendirian sedangkan mereka yang membully Ona tidak hanya satu atau dua orang, jelas-jelas dia tidak akan menang kalau melawan, jadi Ona lebih memilih diam. Puncak dari semua perbuatan teman-teman Ona adalah saat dimana salah satu guru membandingkan Ona yang nilainya sempurna dengan Siska, teman Ona yang nilainya menurun. Dan itu semua mebuat Siska muak dan marah. Dia sampai berani bermain fisik dengan Ona.

     Saat itu Senin pagi, setelah upacara. Pembelajaran pertama adalah fisika, guru mapelnya bernama Ibu Lia. Saat itu adalah pembagian nilai ulangan fisika. Dan tentu saja Ona mendapat nilai sempurna, yaitu seratus. Teman-teman kelasnya sudah tidak heran lagi, sudah biasa kalau gadis itu mendapat nilai sempurna.

“Kalian sudah lihat hasil ulangan kalian? Yang mendapat nilai di atas 80 hanya tiga orang, Ona, Siska, dan Zeya. Yang lain pada kemana? Pertanyaan ulangan waktu itu mudah loh, sudah ibu beri catatannya, kenapa nilainya dibawah 70 semua?” Ucap Bu Lia. Mereka semua hanya mendengarkan yang diucapkan Ibu Lia, malas menjawab.

“Dan Siska, kenapa akhir-akhir ini nilai ulangan dan tugas sehari-hari kamu menurun? Seharusnya kalian bisa mencontoh Ona yang selalu dapat nilai bagus dan murid teladan.”Ona lagi, Ona lagi. Begitulah isi hati teman-teman Ona.

     Siska yang mendengar ucapan Ibu Lia hanya terdiam, dia muak selalu dibandingkan dengan murid baru itu. Dia menatap marah ke arah Ona. Ona diam mendengar semua yang diucapkan gurunya, dia senang sebenarnya karena dapat menjadi contoh bagi teman-temannya, tapi dia juga takut jika nanti teman-temannya tambah tidak menyukainya. Setelah bel istirahat berbunyi, Ona hendak memakan bekalnya, tapi dia dikejutkan oleh Siska, Zeya, dan Fira yang datang tiba-tiba ke bangkunya. Raut muka tiga sekawan itu tidak bersahabat.

“Kamu, ikut kita!” Ucap Siska. Dia menarik paksa lengan Ona, dibantu oleh kedua temannya.

“Mau kemana? Aku baru mau makan.” Ona mencoba melawan, tapi tidak bisa.

“Diam, gak usah banyak omong, tinggal jalan apa susahnya sih?!” Siska berucap dengan nada yang tinggi.

     Ona ditarik paksa menuju gudang sekolah yang luar biasa kotor dan pengap. Zeya dan Fira mengunci pintu gudang dari dalam. Siska menatap marah ke arah Ona. Ona yang ditatap seperti itu hanya bisa berharap, semoga dirinya hanya di ejek saja, tidak lebih.

“Heh murid baru, kamu gak usah belagu ya didepan guru, gak usah caper! Nilai bagus modal caper ke guru aja bangga,” ucap Siska tiba-tiba. Mukanya sudah merah padam, pertanda amarah sedang menguasai dirinya.

“Asal kamu tau ya, aku itu murid yang dulu mendapat gelar murid pintar, murid paling pintar. Tapi gara-gara kamu datang ke sekolah ini, posisi ku jadi tergeser. Semua guru nanya ke aku, kenapa nilai aku menurun. Nilai aku menurun itu gara-gara kamu!”

“Salah aku apa? Aku gak ngapa-ngapain, aku diam aja lho selama ini,” Ona berucap tidak terima. Enak saja dia disalahkan, dia selama ini diam saja, tidak berbuat apa-apa, tapi tiba-tiba di tuduh seperti itu. Jelas Ona tidak terima.

“Gak ngapa-ngapain gimana? Kamu itu ya, gara-gara kamu aku jadi sering dipanggil BK, cuman gara-gara aku sinisin sama ngejek kamu. Karena aku yang sering dipanggil BK, nilai ku jadi dikurangi. Pasti kamu kan yang laporin, ngaku aja!” Siska semakin marah, dia mendekat ke arah Ona, menatap tajam mata Ona.

“Enggak Siska, aku gak laporin kamu. Guru-guru yang tau sendiri. Aku gak pernah sekalipun laporin kamu ke BK. Jangan nuduh sembarangan dong!”

“Alasan.”

“Cuman murid pindahan aja belagu lo. Sok paling teladan, sok alim. Muak gue dengernya,” Fira menyahut dengan logat jakartanya. “Heh, lo gak usah banyak tingkah ya. Dapat nilai bagus cuman modal caper dan murid kesayangan guru aja bangga. Udah sok alim, sok teladan, sok pintar, caper lagi. Emang prestasi lo apasih?”

“Apa istimewanya sih cewek kayak kamu? Muka juga pas-pasan, banyak tingkah, si paling beda. Katanya sih murid paling pintar, tapi pintar modalnya caper ke guru, malu-maluin banget sih,” Zeya berucap sembari tersenyum meledek.

“Masalah kalian apa sih? Kenapa kalian gak berhenti bully aku? Aku diam aja lho selama ini. Dan denger ini ya, aku pintar itu berkat usaha ku sendiri, aku gak caper ke guru seperti yang kalian bilang. Bisa stop gak sih? Aku juga capek lama-lama kalau kalian kayak gini.” Balas Ona. Dia muak, luar biasa muak. Oh, ayolah, hanya karena dia paling beda, kenapa mereka sampai seperti ini memperlakukan Ona. Itu tidak adil.

“Emang kita peduli?” Zeya menaikkan satu alisnya, berniat mengejek Ona.

“Usaha apa? Selama ini juga kamu usahanya cuman caper ke guru, usaha buat jadi murid kesayangan guru. Tidak membanggakan banget,” ucap Siska.

“Semenjak kamu datang ke sini, aku selalu berusaha buat ngalahin kamu, buat dapat nilai sempurna kayak kamu, tapi gagal terus. Aku belajar setiap hari juga percuma, ujung-ujungnya nilai kamu yang paling bagus, paling sempurna. Aku muak sama kamu, si murid caper yang belagunya kebangetan.”

 “Jangan asal ngomong kamu!” Ona menaikkan nada suaranya, dia mulai marah. Enak saja dia dikatakan tidak ada usaha. Memangnya mereka tau apa?

“Aku itu juga usaha buat bisa dapat nilai sempurna. Bukan cuman kamu doang yang berusaha. Aku gak berniat caper ke guru, aku gak belagu, aku gak bermaksud buat ngerebut posisi kamu, aku juga gak berniat jadi murid yang paling beda. Aku cuman mau jadi murid biasa yang bisa bikin orang tua aku bangga sama pencapaian aku. Jangan seenaknya bilang kalau nilai aku bagus itu karena aku jadi murid kesayangan guru! Aku selama ini begadang buat belajar, sampai lupa makan. Belajar mati-matian sambil nangis. Aku sebenarnya juga capek ngejar nilai yang gak lari. Jadi jangan asal ngomong, jangan nuduh-nuduh sembarangan! Kalian itu gak tau apa-apa.”

     Siska dengan kasar mendorong tubuh Ona, membuat Ona jatuh. Dia semakin marah. Dia tidak terima kalau murid baru di depannya ini lebih pintar darinya.

“Gak usah sok paling berusaha! Emang kenyataan nya kamu itu modal caper ke guru, gak usah ngelak!” Siska membentak Ona.

     Perdebatan mereka tidak berkahir juga sampai bel masuk berbunyi. Sampai-sampai mereka semua dipanggil ke BK setelah teman-temannya mencari dan menemukan mereka sedang adu mulut di gudang sekolah. Siska dimintai keterangan oleh guru BK. Ibu Minda namanya. Siska menceritakan semuanya dengan jujur, tidak ada yang ditutup-tutupi. Pada dasarnya, Siska itu murid baik, tapi dia akhir-akhir ini berubah dan membuat guru-guru juga bingung kenapa Siska berubah. Ibu Minda menghela nafas kasar setelah mendengar cerita Siska. Dia tidak habis pikir dengan para murid nya ini. Hanya karena Ona paling pintar dan paling beda di antara mereka semua, Ona jadi di rundung begini.

“Siska, Zeya, dan Fira. Bukan bermaksud untuk menghakimi kalian. Tapi tindakan kalian itu sudah keterlaluan. Kalau nilai kalian lebih rendah dari Ona, kalian kan bisa berteman dengannya, belajar bersama, bertanya kepada Ona, bagaimana cara agar dapat memahami pelajaran dengan mudah. Itu seribu persen lebih baik daripada kalian merundung dan mengucilkan Ona.” Ibu Minda berhenti sejenak, dia menatap satu persatu muridnya yang sedari tadi menundukkan kepala, tidak berani menatap matanya.

“Di sekolah Ona yang dulu, dia itu juga murid teladan, murid pintar. Dia diperlakukan baik di sana, tapi kenapa setelah Ona masuk ke sekolah ini, kalian malah memperlakukannya seperti ini? Kalian semua satu sekolah, satu kelas. Kalian keluarga, seharusnya saling melindungi, dan menyayangi. Meski Ona itu paling beda dari kalian, kalian jangan mengucilkan Ona seperti itu. Justru kalian harus mengambil contoh yang baik dari Ona. Kalian bisa menjadi lebih baik, bukannya malah seperti ini. Dan apa kalian tau? Ona masuk ke sekolah ini lewat jalur prestasi, prestasinya banyak saat di sekolahnya dulu, itu sangat membanggakan, dia tidak caper ke guru-guru. Ona berbeda, bukan berarti Ona bukan teman kalian. Dia juga teman kalian.”

 “Baik, sekarang ayo minta maaf.”

     Siska maju duluan ke arah Ona. Dia jadi merasa bersalah pada Ona, meski jauh di dalam lubuk hatinya, dia masih belum bisa menerima kalau Ona lebih pintar darinya. Tapi Siska betulan menyesal telah melakukan tindakan yang keterlaluan pada Ona.

 “Maaf Ona, aku salah. Aku udah keterlaluan sama kamu, maaf. Aku sangat marah, makannya aku sampai bersikap seperti itu. Maaf Ona, aku gak akan mengulanginya lagi,” ucap Siska sembari mengulurkan tangannya dan diterima oleh Ona.

 “Kami semua minta maaf Ona. Kami banyak salah sama kamu. Maaf,” ucap Zeya.

“Gue minta maaf ya Ona. Lo pasti sakit hati banget. Maaf Ona,” Fira berkata sembari maju menghadap Ona.

“Iya, aku maafin,” jawab Ona sembari tersenyum.

“Nah, rukun begini kan bagus, budayakan toleransi. Jangan sampai hanya karena teman kalian paling berbeda, entah dari segi sikapnya, penampilannya, atau apapun itu, kalian jadi semena-mena.Yang paling berbeda bisa jadi adalah yang paling bersinar.”

SELESAI

[Note : Tulisan ini sebagian hanya fiksi belaka/dibuat-buat.]

 

Nama              : Zahra Solekhah

Sekolah           : SMPN 9 Surakarta

 

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment